Saya pernah merasa hidup hanya diukur dari berapa cepat saya membaca atau berapa banyak kesalahan saya eja. Tetapi kini saya tahu, kecepatan bukan ukuran kecerdasan. Disleksia memang membuat kode input saya rapuh, tapi di balik itu saya menemukan hal lain: kreativitas, empati, dan cara berpikir yang berbeda.
Dyslexia bukanlah kutukan. Ia adalah cara otak membaca dunia dengan pola yang lain. Dan tugas kita, sebagai orangtua, guru, dan masyarakat, bukan melabeli, tetapi memberi jembatan agar setiap anak dapat melintasi kabut bunyi menuju terang makna.
Disleksia bukan akhir, ia adalah awal dari cara baru memahami manusia. Jika kita melihatnya bukan sebagai "kecacatan," melainkan sebagai perbedaan kode, kita bisa membangun pendidikan yang lebih adil dan penuh empati.
Seperti yang saya pelajari sepanjang hidup saya:
"Keberanian anak disleksia bukan pada seberapa cepat ia membaca, tetapi pada seberapa teguh ia berdiri ketika dunia terus salah membaca dirinya." Imam Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI