"Kamu malas."
"Kamu nggak cukup pintar."
"Kamu cuma cari alasan dengan bilang ADHD."
Kalimat-kalimat ini terdengar seperti hinaan kejam dari orang lain. Namun sesungguhnya, suara itu datang dari dalam diri saya sendiri.
Inilah yang disebut gaslighting internal ketika otak saya yang menyandang ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan disleksia justru memanipulasi saya untuk meragukan diri sendiri. Pada hari-hari buruk, suara itu berulang seperti kaset rusak, membuat saya merasa tidak berharga, tidak mampu, bahkan meragukan diagnosis saya sendiri.
Banyak orang masih salah kaprah memahami ADHD hanya sebagai "anak hiperaktif yang susah diam." Padahal, menurut National Institute of Mental Health (NIMH), ADHD adalah gangguan perkembangan neurobiologis yang memengaruhi fungsi eksekutif otak bagian otak yang bertugas mengatur fokus, emosi, memori kerja, hingga pengendalian diri.
Psikolog klinis Dr. Russell Barkley, pakar ADHD dunia, menegaskan:
"ADHD bukan masalah kemauan, melainkan masalah kapasitas otak untuk mengatur diri."
Artinya, ketika saya menunda pekerjaan, melupakan janji, atau sulit menyelesaikan tugas, itu bukan karena saya malas. Itu karena otak saya bekerja dengan cara yang berbeda. Namun stigma masyarakat yang sering menyamakan ADHD dengan "kemalasan" atau "kurang disiplin" akhirnya menjadi racun yang diam-diam saya telan dan berubah menjadi suara negatif internal.
Saya didiagnosis dengan disleksia dan ADHD sejak usia 9 tahun. Seharusnya itu menjadi titik terang, sebuah penjelasan mengapa saya kesulitan membaca, sering lupa, dan dianggap "anak nakal" oleh guru.
Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Di sekolah, saya tetap sering dipandang malas. Tugas yang tertunda dianggap bukti ketidakseriusan saya. Guru-guru lebih mudah memberikan stempel "tidak berusaha" ketimbang mencoba memahami. Di rumah, saya sering merasa berbeda dari saudara-saudara saya yang bisa mengikuti pelajaran dengan mudah.