Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Murid Tiri : Bapak kepala Sekolah, Dengarkan Sekali Saja

14 Juli 2025   12:26 Diperbarui: 14 Juli 2025   12:26 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Murid Tiri: Bapak Kepala Sekolah, Dengarkan Sekali Saja

"Saya dikeluarkan karena anak saya terlalu aktif dan katanya mengganggu teman-teman."
"Guru bilang anak saya tidak bisa mengikuti pelajaran dan menyarankan pindah ke SLB."
"Sudah daftar ke tiga sekolah, semua menolak begitu tahu anak saya autis."

Ini bukan kisah fiktif. Ini suara-suara nyata dari para orang tua yang datang kepada saya selama 8 tahun terakhir melalui program Dyslexia Keliling Nusantara. Dari pelosok NTT, desa-desa di Kalimantan, hingga jantung kota Jakarta  keluhan yang sama terus berulang: anak-anak dengan kebutuhan khusus dianggap murid tiri di rumah yang bernama sekolah.

Dalam rumah tangga, murid tiri sering kali menjadi metafora untuk anak yang diabaikan, disingkirkan, bahkan disalahkan atas hal-hal yang bukan salahnya. Begitu pula yang terjadi di banyak sekolah kita: siswa dengan disleksia, ADHD, autisme, atau gangguan pemrosesan sensori seringkali tak mendapatkan tempat yang setara.

Padahal, data dari Kementerian Sosial RI menyebutkan bahwa pada 2022 terdapat lebih dari 1,6 juta anak penyandang disabilitas di Indonesia. Dari jumlah itu, hanya 18% yang bisa mengakses pendidikan formal. Artinya, mayoritas anak-anak ini kehilangan hak dasarnya: belajar di sekolah.

Sementara itu, studi dari UNICEF (2021) menegaskan bahwa stigma dan kurangnya pelatihan guru menjadi penghalang utama inklusi pendidikan. Banyak guru dan kepala sekolah yang bahkan belum memahami istilah dasar seperti dyslexia, ADHD, atau autism spectrum disorder. Maka tidak heran bila mereka dengan mudahnya menolak siswa yang "tidak seperti biasanya".

Menurut Lev Vygotsky, seorang psikolog pendidikan asal Rusia, setiap anak belajar dengan cara dan kecepatan yang berbeda-beda. Ia memperkenalkan konsep Zone of Proximal Development  di mana anak dapat berkembang optimal jika didampingi dengan tepat. Maka tugas kita sebagai pendidik bukan menyeragamkan murid, melainkan mendampingi mereka sesuai kebutuhannya.

Howard Gardner, dengan teorinya tentang Multiple Intelligences, menyebut bahwa kecerdasan itu tidak hanya soal angka dan kata. Ada kecerdasan visual, musikal, kinestetik, interpersonal, dan lainnya. Tapi sayangnya, sekolah masih mengukur kecerdasan dengan satu penggaris: nilai rapor.

Bapak Kepala Sekolah,
Pernahkah Bapak duduk mendengarkan cerita orangtua yang anaknya berkebutuhan khusus? Bukan hanya untuk memberi keputusan, tapi sungguh-sungguh mendengarkan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun