"Berantakan Tapi Bermakna: 5 Cara Sederhana Menata Hidup ala Disleksia-ADHD"
Saya harus jujur pada Anda semua. Saya benci mengorganisasi.
Bukan karena saya malas, bukan karena saya cuek tapi karena otak saya bekerja dengan cara yang berbeda. Saya adalah seorang penyandang Disleksia dan ADHD, dan bagi saya, kekacauan bukan sekadar tumpukan barang atau jadwal yang berantakan. Kekacauan adalah suara-suara yang berisik dalam kepala saya, ide-ide yang menabrak satu sama lain, emosi yang berlomba-lomba ingin didengar. Dulu saya merasa semua itu adalah kekurangan. Tapi kini, saya sadar: saya hanya butuh cara yang berbeda untuk merapikan dunia saya.
Dalam perjalanan saya, saya menemukan lima kebiasaan kecil yang membantu saya merasa sedikit lebih "tenang" di tengah badai dalam kepala saya. Mungkin tidak terlihat seperti sistem manajemen waktu ala para motivator hebat, tapi justru karena sederhana dan bersahabat, lima hal ini bekerja untuk saya dan mungkin juga untuk Anda yang punya otak "ramai" seperti saya. Mari saya ceritakan.
1. Gunakan Warna Sebagai Bahasa Kedua
Saya kesulitan membaca teks panjang atau mengikuti instruksi satu per satu. Tapi warna? Warna berbicara lebih cepat dari kata-kata. Saya menempelkan post-it warna-warni, membedakan kategori tugas dengan stabilo, dan membuat daftar dengan ikon lucu. Otak ADHD saya suka visual, dan warna membantu saya melihat struktur di balik kekacauan.
Menurut Dr. Thomas Brown (2005), otak dengan ADHD sangat responsif terhadap visual cues, dan hal ini bisa digunakan untuk memperkuat fokus dan memori kerja.
2. Gunakan Timer Seperti Teman, Bukan Musuh
Saya dulu membenci jam. Rasanya waktu adalah musuh. Tapi sekarang, saya pakai timer seperti saya pakai sahabat. Saya set waktu 15-20 menit untuk satu tugas, lalu break 5 menit. Metode ini dikenal dengan Teknik Pomodoro dan terbukti efektif meningkatkan fokus, terutama untuk individu dengan ADHD (Cirillo, 2006). Dengan begini, tugas besar terasa lebih ringan karena saya tahu, saya hanya perlu fokus sebentar saja.
3. Satu Tugas, Satu Tempat
Saya pernah mencoba multi-tasking dan berakhir frustasi. Otak saya meloncat-loncat. Maka saya belajar: satu tugas, satu tempat. Saat menulis, saya hanya membuka aplikasi menulis. Saat membaca, saya matikan notifikasi. Dr. Russell Barkley, pakar ADHD, menyebut ini sebagai "environmental structuring" cara untuk meminimalkan distraksi eksternal agar otak bisa tetap berada di jalur.
4. Tuliskan Segalanya, Bahkan Hal Kecil
Saya sering lupa. Bukan karena saya tidak peduli, tapi karena otak saya cepat penuh. Maka saya tuliskan semuanya: dari ide spontan, janji temu, hingga rasa kesal. Saya pakai aplikasi catatan, voice memo, bahkan kertas bekas. Menurut penelitian dari Harvard University, menuliskan tugas dan pikiran dapat membantu mengurangi beban kerja otak (working memory) dan meningkatkan produktivitas, terutama bagi individu dengan gangguan pemrosesan informasi.
5. Berani Menerima Kekacauan Sebagai Bagian dari Proses
Ini mungkin yang paling sulit. Kita hidup di dunia yang mendewakan kerapian, keteraturan, dan standar tinggi. Tapi saya belajar menerima bahwa hidup saya tidak harus rapi untuk tetap berarti. Saat saya berhenti melawan diri saya sendiri, saya mulai menemukan irama yang pas. Saya tidak lagi berusaha jadi "versi normal," saya belajar menjadi versi jujur dari diri saya.
Saya tahu rasanya dijuluki "pemalas", "ceroboh", "gak fokus" dan itu menyakitkan. Saya pernah merasa kecil, tidak mampu, tidak berguna. Tapi melalui perjalanan panjang sebagai penyandang disleksia dan ADHD, saya mulai belajar: bukan saya yang salah. Sistem saja yang belum cukup paham cara kerja otak seperti saya. Kini saya justru menggunakan "keramaian" di otak saya untuk memahami anak-anak dengan kebutuhan khusus, mendampingi mereka, dan menjadi jembatan bagi mereka yang sering disalahpahami.
Saya percaya, berantakan bukan berarti gagal. Dalam setiap kekacauan, selalu ada cara untuk menemukan arah asal kita mau mendengarkan dan menghormati cara kerja otak kita sendiri. Bagi saya, lima kebiasaan ini bukan cuma soal organisasi. Ini tentang mencintai diri sendiri dalam versi paling otentik.
"Kerapian sejati bukan tentang menyusun benda di luar, tapi tentang berdamai dengan keramaian di dalam." Â Imam Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI