Saya sering lupa. Bukan karena saya tidak peduli, tapi karena otak saya cepat penuh. Maka saya tuliskan semuanya: dari ide spontan, janji temu, hingga rasa kesal. Saya pakai aplikasi catatan, voice memo, bahkan kertas bekas. Menurut penelitian dari Harvard University, menuliskan tugas dan pikiran dapat membantu mengurangi beban kerja otak (working memory) dan meningkatkan produktivitas, terutama bagi individu dengan gangguan pemrosesan informasi.
5. Berani Menerima Kekacauan Sebagai Bagian dari Proses
Ini mungkin yang paling sulit. Kita hidup di dunia yang mendewakan kerapian, keteraturan, dan standar tinggi. Tapi saya belajar menerima bahwa hidup saya tidak harus rapi untuk tetap berarti. Saat saya berhenti melawan diri saya sendiri, saya mulai menemukan irama yang pas. Saya tidak lagi berusaha jadi "versi normal," saya belajar menjadi versi jujur dari diri saya.
Saya tahu rasanya dijuluki "pemalas", "ceroboh", "gak fokus" dan itu menyakitkan. Saya pernah merasa kecil, tidak mampu, tidak berguna. Tapi melalui perjalanan panjang sebagai penyandang disleksia dan ADHD, saya mulai belajar: bukan saya yang salah. Sistem saja yang belum cukup paham cara kerja otak seperti saya. Kini saya justru menggunakan "keramaian" di otak saya untuk memahami anak-anak dengan kebutuhan khusus, mendampingi mereka, dan menjadi jembatan bagi mereka yang sering disalahpahami.
Saya percaya, berantakan bukan berarti gagal. Dalam setiap kekacauan, selalu ada cara untuk menemukan arah asal kita mau mendengarkan dan menghormati cara kerja otak kita sendiri. Bagi saya, lima kebiasaan ini bukan cuma soal organisasi. Ini tentang mencintai diri sendiri dalam versi paling otentik.
"Kerapian sejati bukan tentang menyusun benda di luar, tapi tentang berdamai dengan keramaian di dalam." Â Imam Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI