Ketika ADHD dan Disleksia Menyala di Tengah Sunyi
"Kamu tuh kebanyakan tidur siang, jadi malamnya melek terus."
"Kebiasaan buruk. Normalnya manusia produktif di pagi hari."
"Jangan jadi anak pemalas!"
Kalimat-kalimat itu dulu terdengar seperti palu yang menghantam harga diriku. Seolah-olah jam biologisku adalah bukti bahwa aku malas. Bahwa aku tidak disiplin. Tapi, apakah benar begitu?
Bertahun-tahun aku mencoba menyesuaikan diri dengan ritme dunia: bangun pagi, belajar pagi, berkegiatan pagi, tersenyum pagi meski otakku belum sepenuhnya 'online'. Tapi tetap saja, semua terasa berat, kabur, dan seperti hidup dalam slow motion.
Namun begitu malam datang... semuanya berubah.
Tiba-tiba aku bisa menulis dengan lancar. Merangkai ide. Membersihkan kamar. Mengatur berkas-berkas yang seharian berserakan. Bahkan bisa fokus mendesain program pelatihan untuk guru-guru yang mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus. Aneh, bukan?
Ternyata, aku tidak sendirian.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Chronobiology International menemukan bahwa 78% orang dengan ADHD mengalami keterlambatan ritme sirkadian. Ini artinya, tubuh kami memproduksi melatonin hormon tidur lebih lambat dibandingkan orang neurotipikal. Jadi ketika dunia sudah mulai mengantuk, otak kami justru baru 'panas', baru siap berlari maraton ide.
Dr. Sandra Kooij, pakar ADHD dari Belanda, menyebutkan bahwa gangguan tidur bukan sekadar efek samping ADHD, tapi bagian yang tak terpisahkan dari kondisi ini. Ritme tubuh kami memang tidak selaras dengan sistem 9-to-5 yang dirancang untuk 'mayoritas'. Bukan karena kami membangkang, tapi karena jam internal kami berdetak dengan cara yang berbeda.
Ada juga faktor genetik. Penelitian dari Harvard Medical School menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam ekspresi gen CLOCK dan PER1, dua gen yang mengatur ritme tidur-bangun tubuh pada individu dengan ADHD. Dengan kata lain: otak kami memang diprogram secara biologis untuk aktif lebih malam.