Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Negeri Kentut

3 Agustus 2016   14:26 Diperbarui: 3 Agustus 2016   14:36 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa ada yang menyangkal kalau kentut itu bau? Gegara kentut setidaknya membuat kita berlarian mencari hawa segar atau menutup lubang hidung serapat mungkin. Kentut menjadi sesuatu yang banget!

Perihal kentut pun ternyata membuat dua kelompok bersiteru. Satu berpendapat jika kentut adalah indikasi angin yang masuk ke tubuh alias masuk angin sementara yang lain berpendapat bahwa kentut adalah angin yang keluar. Meskipun tertuduhnya sama yakni angin.

Kentut adalah sesuatu yang ada namun tiada.

Padahal jika kentut tidak rajin ber-eksistensi di dalam diri kita akan menyebabkan rasa begah tidak keruan dan perut kembung tak tertahankan. Konon dengan gagalnya kentut terjadi akan menyebabkan kematian. Korban meninggal karena banyaknya gas terkumpul di dalam perutnya. Sebagian sari makanan yang kita santap setelah melalui proses metabolisme dalam tubuh diserap melalui usus. Sebagian lagi diserap produk kerja fermentasi, kerja bakteri, atau enzim yang berbentuk gas. Gerakan peristaltik usus ini selalu mendorong segala isinya ke bawah. Gas ini tertumpuk dalam lumbung usus. ”Kalau kapasitasnya sudah banyak harus dikeluarkan. Inilah yang disebut flatus atau kentut,” ujar ahli Penyakit Dalam Prof. Nyoman Dwi Sutanegera, M.D. K

Itulah hebatnya kentut.

Di Indonesia pun kentut bisa diintepretasikan banyak macam dan ragam peristiwa. Ada KPK tapi temuan koruptornya sedikit, bahkan yang didepan hidung saja yang tinggal di ciduk masih menunggu berkah Tuhan agar nafsu dan niat jahatnya nongol dari dalam tubuh hingga bisa segera diborgol tangannya. Kentut-kentut tersebut menyesakan dada karena output atau dampaknya keliatan tanpa ditemukan biang perkaranya. Negara yang menyediakan sebuah departemen bernama Departemen Agama yang angka konflik karena pergesekan kepentingan agama masih saja terjadi. Belum ketemu kentutnya berupa apa. Kejadian di Tanjung Balai saja yang ditangkap yang misuh-misuh plus rusuh tanpa menangkap si pelaku yang kentut tidak tahu aturan.

Terakhir malah geger lagi, saat Freddy Budiman mengatakan adanya praktek bagi hasil jualan narkoba yang diimpor dari negeri Tiongkok yang saat ini menjadi teman karib pemerintahan Jokowi. Narkoba yang dia beli dari sana hanya berharga ribuan per gram menjadi ratusan ribu di Indonesia sontak menjadikan Freddy ngiler untuk menjadi pedagang. Agar lempang tentu saja pedagang minta tolong agar roda bisnisnya bisa lancar. Sintingnya terpidana yang sudah terlanjur di dor tersebut ngoceh ke penggiat LSM bahwa ada oknum-oknum aparat keamanan yang jadi mitra kerjanya.

Dimana kentutnya?

Coba tebak berapa gaji perwira tinggi sekalipun? puluhan juta? Anda salah kawan! Coba cek lagi sedemikian rupa agar tahu dimana letak kentutnya.

Kita maklum dan tahulah bahwa jika seseorang sudah memiliki minimal pangkat bunga melati di pundak sudah menjelang kaya raya bermobil mewah rumah berlimpah. Konon seorang wakapolri malahan bermoge ria keliling Indonesia dengan pensiunan gaji yang tidak seberapa. Bau kentutnya dimana-mana bukan?

Inilah negeri kentut, saat berbau tengik, bacin dan sangit akan tetapi tidak juntrungan bentuk rupanya. Menyesakkan tapi tidak kelihatan. Seperti saat resuffle kabinet kerja yang kita tahu ada invisible hand yang melarang Jokowi mengganti seorang menko yang tidak bekerja apa-apa tapi masih eksis tertawa ria atau saat Jonan di tendang karena tersirat melawan kebijakan baginda untuk kereta api cepat dari Cina. Yang kita tahu resuffle saja tanpa berhak tahu mengapa di ganti karena kalah gertak itu hak prerogatif sang Pertama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun