Mohon tunggu...
abang redi ilyasa
abang redi ilyasa Mohon Tunggu... -

saya punya motto hidup "yang paling mahal di dunia ini adalah kesederhanaan". sangat suka basket, sepakbola, musik, trekking dan travelling.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pertama & Terakhir Bersama Mbah Surip

4 Agustus 2010   10:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:19 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak terasa, 1 tahun sudah Mbah Surip meninggal dunia. Saya merasa beliau tidak wafat, seolah-olah masih saja ada di dunia ini, hanya sedang berkeliling “ngamen” ke seluruh nusantara. Begitulah memang kebiasaan beliau sedari dulu, jauh sebelum si Mbah terkenal berkat aransemen ulang lagu “Tak Gendong” yang mencatat popularitas fenomenal. Berkenaan dengan popularitasnya itu, waku saya menemuinya untuk terakhir kali saat pentas di pelataran Wisma Antara si Mbah berkata dengan serius,”Mumet aku, Ed. Dimana-mana aku dikejar-kejar wong.”

Saya mengenal si Mbah sejak tahun 1998. Waktu gerakan reformasi yang dimotori H. Amien Rais mencapai puncaknya, saya pertama bertemu dengan beliau di gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat. Saya datang bersama kawan-kawan mahasiswa dari Bandung, sementara si Mbah saya lihat waktu itu datang dengan diiringi beberapa orang yang berdandan a la penyanyi balada. Saya tadinya mengira- maaf lho Mbah- beliau sedikit gila atau stress, sebab tawanya yang khas dan jauh lebih lepas dari cara tertawa orang normal. Pada kesempatan itu, Si Mbah tampil menyanyikan beberapa lagu balada yang disamping “nyentil” tapi juga lucu. Kalau saya tidak salah, Doktor Imam Prasodjo, sosiolog terkemuka kita, ada juga hadir diantara para demonstran. Bersama para demonstran ia ikut terkekeh-kekeh menyaksikan aksi Mbah Surip bersama kawan-kawannya yang musisi jalanan. Selain menyaksikan Mbah Surip tampil untuk pertamakali, saat itu pertamakali pula saya mendengar beliau menyanyikan Tak Gendong-nya yang 10 tahun setelah reformasi malah meledak penjualannya. Saya dan kawan-kawan asyik joget dikala itu, dan sehari sesudahnya Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya.

Selepas beliau turun dari panggung dadakan di gedung MPR, tak sengaja saya berpapasan dengan beliau di lorong tempat beberapa mahasiswi membagi-bagikan konsumsi. Saya mengambil nasi rames biasa, saya perhatikan Mbah Surip membuka bungkus yang isinya Nasi Rendang. “Wah, hebat, si Bapak, dapat Nasi Rendang,”seloroh saya. Tidak diduga beliau dengan ramah malah menawarkan untuk tukar Nasi Bungkus. “Ini...”katanya dengan senyum sambil mengangsurkan Nasi Rendang yang aduhai tajam dan nikmat aromanya. Saya tolak dengan halus penawarannya itu, tapi dengan acuhnya dia menukar bungkus Nasi Rames saya dengan Nasi Rendang miliknya. Sambil tertawa terkekeh-kekeh dia pamerkan Paha Ayam Goreng lauk Nasi Rames kepada saya, lantas dia gigit dengan mantap dan nikmat. Saya tertawa menyaksikan aksi canda beliau, lalu mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri,”Saya Eddy, Pak. Orang Bandung.” Mbah Surip membalas jabatan tangan saya sambil memperkenalkan diri,”Urip,”katanya. Antik sekali Bapak ini, gumam saya dalam hati. Sambil menikmati ransum kami hari itu, sayapun mengobrol lama dengan Mbah Surip. Kawan-kawan kami memerhatikan obrolan antara tetua musisi jalanan dan tetua mahasiswa penggembira dari Kota Kembang ini.

Ternyata dibalik cara memperkenalkan diri dan pembawaannya yang “seniman abis”, sangat bohemian, perkataan beliau sangat penuh hikmah dan serius. Satu nasehat beliau yang tak lekang dari ingatan saya waktu “ngobrol ngalor ngidul” di pelataran gedung MPR itu, bahwasanya,”Kamu jadi mahasiswa harus dekat dengan rakyat kecil. Biar tidak lupa diri waktu sukses, dan banyak yang menolong waktu sulit.” Saya manggut-manggut saja mendengar nasehat beliau. Rencana saya diawal obrolan untuk bercanda habis-habisan- mengingat penampilan si Mbah yang alangkah nyentrik itu- gagal total. Yang saya hadapi malah seorang Kakek Bijak, bukan Kakek Nyentrik, yang ternyata sangat intens saat menasehati anak muda. Pasca pertemuan di Gedung MPR itu, ada beberapa kali saya bertemu lagi dengan beliau. Pernah sekali waktu di Taman Ismail Marzuki, sekali waktu di Cafe Da Costa Bandung, bahkan diluar dugaan saya bertemu dengan beliau waktu berwisata ke Pulau Lombok. Beliau masih saja seperti waktu pertamakali bertemu. Mengawali pertemuan dengan kelakar “nyeni”, tawa yang khas, tapi selalu pada pertengahannya beliau mengungkapkan pendapat-pendapat serius. Bukan masalah politik, lebih berarti dari itu, beliau selalu menyampaikan pesan-pesan bekal menjalani kehidupan pada pertengahan pembicaraannya dengan saya. Ah, saya kira beliau memandang hidup ini dengan sangat sederhana, yaitu : jadi apapun kamu jangan sampai kamu menyakiti orang lain.

Ketika si Mbah dan Tak Gendong-nya menjadi hits di Indonesia, saya sedang berada di Korea Selatan, mendampingi istri saya menjelang tugas akhir belajar di Kongju University. Sepulang dari negeri Ginseng, saya, istri dan anak pertama saya, tidak langsung pulang ke Bandung, memilih untuk bermalam-mingguan di Jakarta. Minggu paginya, Care Free Day diterapkan di seputaran Jl. Husni Thamrin. Kami bertiga berhandai-handai diseputaran Bundaran HI, sampai kemudian menyaksikan live music yang diselenggarakan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Aha, diluar dugaan kami, bintang tamunya saat itu adalah : Mbah Surip. Exciting sekali saya waktu itu, menyaksikan animo masyarakat memperlakukan si Mbah. Yang menonton kelihatannya hafal lirik Tak Gendong yang dinyanyikan Mbah Surip, dan selesai menyanyi si Mbah-pun dikejar-kejar orang untuk berfoto bersama. Saya yang mau mendekati dan sudah lama tidak bertemu- ada sekitar 4 tahunan- dengan beliau jadi ragu-ragu, jangan-jangan si Mbah sudah jadi bintang besar dan dia lupa dengan saya. Tapi anak saya memaksa, agar saya memperkenalkan Mbah Surip kepadanya. Akhirnya setelah para fans beliau berangsur-angsur pergi, saya langsung saja menyapa beliau yang ketika itu didampingi oleh Farid, anak laki-lakinya. Ragu-ragu juga saya beliau tidak mengenali lagi, mengingat rambut saya yang lebat kini sudah persis betul dengan potongan rambut, Yul Bryner, pemeran Fir’aun di film Ten Commandements.

Praduga saya lagi-lagi salah. Sebagaimana saya salah menduga beliau sebagai seniman yang urakan waktu kali pertama bertemu di gedung MPR-RI, pada pertemuan yang, sungguh sedih saya mengatakannya terakhir kali itu, si Mbah ternyata masih mengenali saya. “Kamu Edi Bandung ‘kan ?”katanya disusul tawa terkekeh-kekeh dan jabatan tangannya yang erat dan akrab. Selesai menjabat tangan saya beliau mengajak anak saya untuk melakukan cheers dengan telapak kanannya. Wah, suasana langsung mencair, dan si Mbah-pun bercerita betapa melelahkan kehidupannya, setelah lagu Tak Gendong menjadi hits. Sepulangnya ke Bandung saya menyadari bahwa, ternyata lagu Tak Gendong yang sebetulnya sudah dirilis medio 1999 atau 2000-an itu menjadi hits sebagaimana Madu & Racun-nya Bill & Brod selagi saya kecil, Isabella-nya Search waktu saya SMP, atau Ada Apa Denganmu-nya Peterpan ketika saya sudah punya anak satu.

Pasti, tak terkira melelahkannya jadi orang yang sangat-sangat populer, begitu persangkaan saya, meskipun saya belum pernah merasakan jadi bintang terkenal. Tentu waktu bertemu kawan-kawan dan bercengkerama dengan orang-orang terdekat- yang saya kira sangat disukai si Mbah- akan menjadi sangat terbatas. Untuk memenuhi undangan makan saya yang mungkin hanya 1 jam paling lama di minggu pagi itupun, Mbah Surip sampai-sampai menolaknya. “Terimakasih, Ed. Nanti saja kalau ke Bandung.”ucapnya. Entah bagaimana, waktu beliau menjawab begitu, ada sedikit kesedihan di batin ini. Saya lalu meminta istri saya untuk mengambil foto kami berdua. Saya masih sempat melambaikan tangan dan memerhatikannya waktu si Mbah dan Farid berlalu dari pelataran Wisma Antara.

“Itu yang namanya Mbah Surip, Bang.”tanya istri saya waktu kami berpisah di pelataran Wisma Antara itu.”Sepertinya dia jadi terkenal sekali ya, Bang. Tapi kasihan sampai bilang capek juga. Sudah sepuh tapi harus keliling dan manggung terus-terusan.” Saya tidak banyak menimpali perkataan istri saya, cuma satu kalimat panjang,”Beliau siap punya duit banyak, tapi orang yang baik, polos dan nyeni seperti beliau itu enggak siap nolak permintaan orang. Ya, pastilah jadinya sibuk sekali dan ketat jadwalnya.” Dan tak berapa lama setelah Mbah Surip berlalu kamipun kembali sibuk menikmati hari libur.

Sekitar dua minggu setelah pertemuan di Wisma Antara, tahulah saya bahwa itulah pertemuan terakhir saya dengan kenalan lama yang mendadak terkenal, ya Mbah Surip itu. Saya yang exciting waktu memergoki dia jadi begitu terkenal sepulang dari negeri seberang, semakin exciting sekaligus terharu waktu menyaksikan alangkah dramatiknya saat beliau meninggal ketika di puncak, dan alangkah dramatiknya ketika beliau diiringi begitu banyak pengiring saat menuju peristirahatan terakhir di pemakaman Bengkel Teater Rendra. Sungguh tidak menyangka, si Mbah yang menukarkan Nasi Rendang-nya dengan Nasi Rames saya waktu menjelang kejatuhan Orde Baru itu telah mengukir sejarah hidup yang mencengangkan bagi kebanyakan orang Indonesia. Sungguh dari pertemuan pertama, pertemuan terakhir, hingga wafatnya beliau saya menyimpulkan, baru kali itu saya punya kenalan yang unik sifat dan unik pula sejarah hidup dan ujung dari usianya. Sungguh Mbah Surip mempunyai pribadi yang tak terduga, dan Allah juga mengaruniakan sejarah hidup yang juga tak terduga kebanyakan orang kepada beliau. Beruntung saya sempat berkenalan dengan beliau, walau tentu saja tidak seakrab beliau mengenal Anto Baret dan W.S. Rendra dan tak sedekat saya mengenal Mang Ujer, penjual Bakso langganan yang rutin saya datangi setiap awal dan akhir minggu.(ae)


Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun