Mohon tunggu...
abang redi ilyasa
abang redi ilyasa Mohon Tunggu... -

saya punya motto hidup "yang paling mahal di dunia ini adalah kesederhanaan". sangat suka basket, sepakbola, musik, trekking dan travelling.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Bola Argentina & Filsuf Jerman

6 Juli 2010   17:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:03 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_187262" align="alignleft" width="240" caption="Loew by Thomas Gronle (de.toonpool.com)"][/caption] Usai kemenangan telak Der Panzer atas Albiceleste, penyair muda, Binhad Nurrohmat, menulis dalam status facebook-nya,”Jerman menang karena banyak filsuf-nya, sedangkan Argentina lebih banyak bola-nya.” Hahaha. Saya tertawa membaca status beliau, yang kendati sedikit nyeleneh namun ada benarnya juga. Ya, Jerman dikenal sebagai negara yang banyak melahirkan filsuf dari mulai abad pertengahan hingga era modernisasi. Friedrich Engels, Friedrich Nietzsche, Immanuel Kant, Martin Heidegger dan Karl Marx, adalah beberapa saja dari filsuf Jerman yang punya pengaruh internasional. Dan Argentina ? Bukan maksud melecehkan atau menganggap negara latin tersebut tidak punya tradisi pemikiran, namun sungguh sulit saya menyebutkan satu saja nama filsuf yang berasal dari negeri yang berbatasan dengan pegunungan Andes dan samudera Atlantik itu. Betul kata Binhad, Argentina “lebih banyak bola-nya”, artinya lebih dikenal sebagai negara penghasil pemain sepakbola ketimbang penghasil para pemikir. Sebagai negara penghasil atlet sepakbola, ketika sepakbola telah berkembang sebagai industri bukan hanya olahraga semata, maka Argentina menjadi salah satu negara pengekspor pemain sepakbola terbanyak. Talenta-talenta berbakat Argentina berbondong-bondong mengadu nasib di negara-negara Eropa, yang rata-rata liga sepakbolanya ditopang oleh kekuatan modal dan manajemen yang lebih menjanjikan. Mereka kemudian menjadi pahlawan bagi klubnya masing-masing, selain menjadi hartawan dan orang terkemuka di negeri sendiri. Alfredo Di Stefano (84 tahun), menjadi legenda Real Madrid (Spanyol) dan hingga saat ini merupakan satu-satunya pemain yang mampu membawa Los Blancos jadi jawara Eropa 5 kali (1956, 1957, 1958, 1959, 1960). Osvaldo Cesar Ardiles (57 tahun) menjadi legenda Tottenham Hotspurs (Inggris) setelah 10 tahun tampil gemilang membela klub tersebut, dan memberikan satu-satunya trofi Eropa (UEFA Cup 1984) yang bisa diraih The Lilywhites hingga saat ini. Berikutnya ada : Diego Armando Maradona. Siapa yang tak kenal seniman bola berjuluk El Pibo D’Oro ini ? Dia adalah pemain terbesar Argentina, kapten tim nasional mereka saat merebut Piala Dunia 1986, pemain sepakbola terbaik yang pernah terlahir di dunia, dan konon hanya seorang Pele, seniman bola asal Brazil, yang bisa menyaingi bakat dan reputasinya di dunia sepakbola. Selain nama-nama tersebut masih ada Mario Kempes, Daniel Pasarella, Gabriel Omar Batistuta, Hernan Crespo, Ariel Ortega, Javier Zanetti, hingga para pesepakbola asal negeri Tango era terkini seperti : Carlos Tevez, Ganzalo Higuain, Kun Aguero, Diego Milito dan Leonel Messi. Ah, sungguh alangkah panjang jika nama-nama para “penari” Tango- dari masa lalu hingga masa kini- yang harum dilapangan hijau itu dirunut satu per satu. Jerman sebetulnya tidak kalah banyak melahirkan nama-nama besar yang berhasil merebut perhatian para penikmat bola. Dibandingkan tim nasional Argentina, Der Panzer bahkan lebih banyak mengoleksi gelar Juara Dunia. Bergantian Fritz Walter, Franz Beckenbauer dan Lothar Matthaus- masing-masing kapten tim nasional Jerman 1954, 1974 dan 1990- mengangkat piala emas lambang supremasi sepakbola dunia itu. Sedangkan Argentina, “baru” Mario Kempes (1978) dan Diego Maradona (1986) saja, yang sempat memamerkan lambang supremasi sepakbola dunia tersebut dalam arak-arakan perayaan di Buenos Aires, ibukota Argentina. Ironisnya, nama para pesepakbola Jerman, sering kalah reputasi dari para pesepakbola negeri Tango bila mereka telah bertebaran di klub-klub liga mancanegara. Ketika Rudi Voeller berlaga di Serie A bersama AS Roma dan sang kapten, Lothar Mattahus, membela Inter Milan, klub yang diperkuat mereka tak mampu mengalahkan hegemoni Napoli yang dimotori Maradona. Dimasa-masa itu baik Voeller maupun Matthaus gagal mempersembahkan scudetto untuk Inter, sementara Maradona mampu membawa Napoli meraih 2 kali scudetto (1987 dan 1990). Masa kinipun demikian. Kiprah para punggawa Jerman di klub-klub profesional mancanegara kalah pamor dari nama-nama para punggawa Argentina, yang seolah-olah selalu identik dengan klub-klub penguasa Premiere League, Eredivisie, La Liga, Serie A,Bundesliga sendiri, atau Champions League di tingkat Eropa. Nama Philip Lahm, Mesut Ozil, Michael Ballack, Bastian Schweinistiger, Lukas Podolsi kalah seram dari nama Leonel Messi, Diego Milito, Ganzalo Higuain, Carlos Tevez ataupun Kun Aguero. Klub-klub kaya Eropa lebih suka memperebutkan pemain-pemain asal negeri Tango daripada memperebutkan para punggawa Der Panzer. Dalam industri sepakbola produk Argentina dipandang lebih memikat daripada produk asal Jerman. Argentina dianggap lebih bisa melayani supply dan demand dalam ekonomi sepakbola, yang berkembang subur di lahan-lahan kapitalis liga-liga Eropa. Namun dalam urusan membela nama negara di ajang turnamen sepakbola, runtuhlah hegemoni para seniman Tango dihadapan para punggawa Die Mannschaft. 64.000 penonton yang hadir di Green Point Stadium, Cape Town, Afrika Selatan, menjadi saksi, bagaimana bintang-bintang papan atas dari liga-liga terkemuka Eropa harus bertekuk-lutut dihadapan para “pejuang tak dikenal”. Gaya Der Panzer malam itu lebih mirip sepasukan tentara ketimbang sekumpulan atlet, yang dengan taktik blietzkrieg-nya (serangan kilat) begitu gemilang meluluhlantakkan barisan pertahanan Argentina. Saya tak bisa menyanggah, sulit memilih kata-kata sanggahan, ketika salah seorang teman nonton bareng berkata,”Inilah bedanya prajurit bayaran dengan prajurit sejati !” Ya, sebagaimana tradisi Jerman yang selalu identik dengan harga diri dan patriotisme, para punggawa tim nasionalnya memasuki lapangan tanpa rasa gentar dan melupakan, bahwa yang akan mereka hadapi adalah Argentina yang diperkuat peraih Ballon D’Or 2009, Leonel Messi. Cukup dengan satu serbuan kilat diawal babak pertama saja, penyerang muda Der Panzer, Thomas Mueller, sudah berhasil membuat runtuh moral tim Tango yang diperkuat 5 pencetak gol terbanyak di liga-liga terkemuka Eropa. Semenjak gol dini diawal babak pertama itu, tim Tango yang penuh semangat dan superior disaat menggulung “Elang Afrika”, “Ksatria Taeguk”, “Piratikos” dan “Laskar Aztec”, berubah menjadi sekumpulan anak ayam kehilangan induk. Dan ketika “sekumpulan anak ayam” ini mulai didera kelelahan dan hilang akalnya, tiga buah serbuan kilat berikutnya segera memusnahkan harapan mereka untuk meraih lambang supremasi sepakbola dunia. Apakah “hanya” sepasukan tentara haus kemenangan saja yang semata-mata menjadi sebab kemenangan gemilang Der Panzer pada hari itu ? Seperti bunyi status facebook Binhad Nurrohmat pasca perempat-final antara Jerman versus Argentina, dibalik kemenangan Der Panzer tentu saja ada seorang “filsuf”, yang berpikir keras dan menentukan strategi apa yang perlu diterapkan Philip Lahm dan kawan-kawan demi melewati talenta-talenta berbakat asuhan Diego Armando Maradona. Jika pada 1954 “filsuf” tim nasional Jerman bernama : Sepp Herberger, jika pada 1974 “filsuf” mereka bernama : Helmut Schonn, jika pada 1990 “filsuf” mereka adalah : Franz Beckenbauer, maka pada Piala Dunia 2010 ini “filsuf” mereka ialah : Joachim Loew. Sebagaimana Herberger, Schonn dan Beckenbauer, Loew dikenal sebagai seorang pelatih pemikir, yang amat dalam pertimbangannya disaat menggagas sebuah strategi untuk memenangkan pertandingan. Loew menyerap dan meleburkan premis dari para pendahulunya dan mengaplikasikan premisnya sendiri disaat menyusun kekuatan tim nasional Jerman di Piala Dunia 2010. Dari Herberger ia menyerap premis tentang organisasi permainan, dari Schonn ia menyerap premis tentang fleksibilitas sebuah taktik, sedang dari Beckenbauer ia menyerap premis tentang ofensifitas dan azas menikmati permainan. Hal itu mengemuka terutama disaat tim nasional Jerman membekuk Inggris di 16-besar dan Argentina di 8-besar. Der Panzer tampil penuh disiplin, masing-masing pemainnya melakukan tugas dengan teratur, seolah-olah tim mereka adalah sebuah organisasi modern yang tengah bergerak mencapai tujuan. Tim berjuluk Spesialis Turnamen ini juga fleksibel dalam taktik dan adaptif dengan perubahan, sehingga ketika sang kapten, Michael Ballack, tak bisa bergabung, permainan yang disuguhkan Der Panzer tetap saja sama berbahaya, sama kompaknya, dan juga sama menggigit. Sebagai tim paling produktif di Piala Dunia 2010, setidaknya sampai perhelatan 8-besar usai, Der Panzer juga menunjukkan bahwa mereka merupakan tim dengan daya dan hasrat ofensifitas yang tinggi.  Tidak salah kalau legenda Jerman dan libero dunia sepanjang masa, Franz Beckenbauer, sampai mengatakan,”Setelah melihat permainan yang mereka peragakan disaat melawan Inggris dan Argentina, saya kira hanya tim nasional Jerman 1974 dan 1990 saja yang setara dengan mereka.” Tapi, tetap saja, kesimpulan yang disampaikan Beckenbauer masih membutuhkan pembuktian, mengingat kejuaraan Piala Dunia 2010 ini belum mencapai puncaknya. Loew masih perlu berpikir keras demi meraih lambang supremasi sepakbola dunia, yang pernah diboyong ke Jerman pada 1954, 1974 dan 1990 itu. Spanyol yang sebetulnya lebih merata kekuatannya dibandingkan Inggris maupun Argentina, telah menanti Der Panzer dan siap menguji keampuhan tradisi pemikiran yang telah dikembangkan oleh para “filsuf” sepakbola Jerman sejak berpuluh-puluh tahun lampau. Pengalaman di Euro 2008 menunjukkan, nasionalisme Spanyol yang pernah menjadi kendala bagi kesuksesan tim nasional kini tak bisa dipandang sebagai ancaman, seperti jaman-jaman etnis Basque dan Catalan bersengketa pada era Carlos Alonso Gonzalez hingga Fernando Hierro menyandang ban kapten La Furia Roja. Bila dalam nasionalisme, kedisiplinan dan ofensifitas tim Matador realitasnya seimbang dengan Der Panzer, maka tinggal filosofi bermain yang diterapkan dalam strategi tim yang akan sangat menentukan : apakah Jerman, apakah Spanyol, yang kelak bakal melaju ke final. Dibalik filosofi permainan dan strategi inilah, nama Joachim Loew dan tradisi pemikiran para filsuf sepakbola Jerman dipertaruhkan. (aea)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun