Ilustrasi - seorang petugas SPBU melayani pembeli (Tribunnews.com)
Sudah saya duga, bahwa ada sesuatu di harga BBM yang lebih tinggi dari harga pasar dunia. Padahal namanya 'harga pasar' bukanlah harga subsidi, dimana tentu operator/pelaku usaha sudah mengambil marjin keuntungan dari harga pasar tersebut. Dan pemerintahpun sudah lega, karena terlepas dari pemberian subsidi, sehingga tidak membebani APBN.
Bayangkan APBN terbebas dari subsidi Rp 300-an Trilyun lebih, yang 'katanya' seharusnya bisa membangun infrastruktur (termasuk pembangkit, kilang minyak) dari Sabang hingga Merauke. Tentu dengan APBN berjalan (dicicil setiap tahun anggaran APBN).
Tetapi ternyata, pemerintah menghendaki lebih dari itu. Menteri ESDM SUdirman Said mengatakan mengambil pungutan Rp 200 dan Rp 300 dari setiap liter BBM yang dikonsumsi rakyat (tergantung premium atau solar yang dipakai). Dengan alasan untuk Dana Ketahanan Energi. Dari pungutan tersebut, bisa dikumpulkan Rp 16 Trilyun - Rp 17 Trilyun. Wow, bukankah ini sama dengan pungli? Apakah rakyat ridho dengan kebijakan ini? Sudahlah harga BBM lebih tinggi dari harga pasar dunia, kini ada pungutannya pula?
Yang lebih parah, pungutan tersebut tidak ada landasan hukumnya. UU no.30 tahun 2007 tentang Energi tidak membicarakan pungutan liar dari harga BBM yang dibeli rakyat. Begitu juga roadmap Energi Nasional. Jelas, bahwa potensi penyalahgunaan dana ini sangat besar. Apalagi tidak jelas siapa yang mengelola, bagaimana transparansi penggunaannya.
Jika alasannya untuk pengembangan energi alternatif, setahu saya pemerintah juga sudah melakukan pungutan kepada perusahaan sawit, yang salah satu penggunaannya adalah untuk pengembangan biodiesel. Pengembangan biodiesel dari dana perusahaan sawit ini juga ditangani oleh Kementerian ESDM. Apa gak tumpang tindih nih dananya?
Yang jelas, Indonesia mulai mengalami harga energi yang tinggi, sehingga menjadi beban bagi pelaku usaha dan menekan daya beli masyarakat. Dan itu justru disaat harga energi dunia turun. Bahkan BBM untuk angkutan umum pun tidak disubsidi. Padahal kata-kata 'subsidi' masih ada di UU Energi no.30 tahun 2007 tersebut.
Lah ini sudah mengikuti harga pasar, masih ditambah pungutan? Jika kebijakan tanpa landasan regulasi setingkat konstitusi dan UU (bukan permen loh), berarti apa namanya ini?
Ya sudah, Salam Kompasiana!