Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Misteri Dana Tunggu Haji Rp 50 - Rp 70 T; Bisakah untuk Infrastruktur Sosial?

2 September 2015   12:19 Diperbarui: 2 September 2015   12:28 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada hadist yang menjadi rujukan dan suka memotivasi saya dalam melakukan sesuatu.  Hadist Rasulullan SAW itu diriwayatkan oleh Muslim, yang menyebutkan; "Ketika seorang anak Adam meninggal dunia, maka terputus amalanya kecuali 3 perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat, amal jariah dan doa anak yang soleh."(HR Muslim)

Kalau baca hadist itu, kepikiran gimana para penemu yang karyanya sudah memberikan manfaat kejutaan orang deh, atau guru-guru yang mengajar dengan riang dan ikhlas kemana-mana, bahkan hingga ke pelosok sekalipun. Kalau amal jariah, mungkin banyak orang yang berpikir itu sekedar membangun mesjid. Padahal apapun  sarana dan pra-sarana yang dipakai orang untuk kebaikan, baik fasilitas sosial, rumah yatim, sekolah, rumah sakit, jalan umum, mesti akan terus mengalir pahalanya kepada orang yang memberikan wakafnya atau bantuan kepada fasiltas tersebut.

Makanya merujuk ke hadist tersebut, saya selalu berpikir betapa kuatnya fungsi agama dalam mengangkat sosial kemanusiaan, keberadaban. Tetapi betapa kita mengabaikannya. Selalu yang menjadi fokus adalah ibadah pribadi (fardhu ain), sementara ibadah sosial (fardhu kifayah) terabaikan. Apalagi ada hadist yang menyebutkan "Bukanlah seorang disebut beriman ketika ia kenyang, sementara tetangganya kelaparan" (HR Bukhari).

Bukan berarti tidak ada ibadah sosial yang dilakukan oleh individu, atau organisasi tertentu. Banyak, banyak sekali, tetapi apakah mempunyai daya ungkit yang besar dalam mengatasi kemiskinan? Begitu banyak lembaga pengumpul ZIS (Zakat Infak Sedekah) yang bertebaran, tetapi anak jalanan, petani yang terpuruk, nelayan yang begitu miskin, masih nyaris tidak berkurang. Karena ZIS yang diberi hanya satu spot saja, habis tanpa ada 'jejak' perubahannya. Apalagi di Baznas, dana yang mengendap masih trilyunan rupiah, bingung katanya mau disalurin kemana. 

Selain Baznas, dana luarbiasa lainnya adalah dana tunggu haji. Di tahun 2013 saja, ada 2,8 juta daftar tunggu haji, yang telah membayar sekitar Rp 25 juta. Kalikan saja, itu dapatnya Rp 70 Trilyun. Sementara ril kepakai setiap tahun: 155.200 quota haji kali Rp 40 juta = Rp 6,2 Trilyun. Jadi ada sisa cashflow Rp 63,8 Trilyun. Uang ini kemana? Diapain? Rp 63 Trilyun itu akan terus bertambah setiap tahun, karena jumlah antrian akan semakin banyak, tahunnya semakin lama.

Untuk Dana Tunggu Haji, bisakah kita tahu dipakai untuk apa saja? Atau hanya mengendap di rekening Kementerian Agama? Padahal dana sebesar itu bisa dipakai untuk membuat pembangkit listrik loh! Jika pemerintah membuat rencana 35.000 MW dengan dana Rp 1200-an T, maka Rp 60 T bisa untuk membangun listrik 1750 MW. Listrik untuk desa terpencil, dipelosok. Atau kalau tidak, bisa membantu membangun jaringan internet didaerah terpencil. Karena ada data yang cukup signifikan, akses internet akan mampu mengentaskan kemiskinan. Begitu juga jaringan infrastruktur jalan, akses air bersih dst.

Tentu, banyak resistensi ketika dana tunggu haji digunakan untuk membangun infrastruktur sosial. Beberapa hal dibawah ini cara untuk mengatasi resistensi tersebut:

1. Membuat jajak pendapat kepada pemilik dana tersebut, yaitu para calon haji. Sebutkan tujuan dan maksud penggunaan dana ini untuk amal jariah, dan rincian penggunaannya untuk apa.  Dan penggunaan dana tunggu haji tersebut tidak akan mengganggu cash flow ril dana yang dikeluarkan setiap tahun untuk penyelenggaraan haji (yang 'hanya Rp 6-7 Trilyun). Dana tunggu haji digunakan sesuai dengan persentase setuju. Misalnya yang setuju 10%, ya hanya 10% yang digunakan, katakanlah 10% dari Rp 63,8 T = Rp 6,38 T, tetapi jika 50% setuju maka Rp 31,9 T bisa digunakan. Tentu kemenag memiliki data mengenai calhaj tersebut. Persetujuan tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian, sehingga ada legitimasi sahih bahwa pemilik dana telah setuju pemanfaatan dana tunggu haji tersebut.

2. Prinsip-prinsip keuangan syariah (islamic finance) dibuat dalam pengelolaan dana yang telah disetujui tersebut, sehingga calon haji semakin yakin dan tenang, bahwa dana tunggu haji tersebut digunakan dalam koridor keyakinannya.

3. Peta kondisi kemiskinan dengan kebutuhan infrastruktur tertentu, dan apa yang bisa dibuat dengan dana tunggu haji tersebut.

Itu belum termasuk Dana Abadi Umat (DAU) yak. Kalau perlu dibikin jajak pendapat gitu juga. Hanya kalau DAU mesti kontribusi dari orang yang sudah pernah haji. Agak susah mendeteksinya. DAU lebih fleksibel kali, MUI bisa saja membuat fatwa penggunaannya untuk kepentingan umat.

Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun