Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Ini Proses Adopsi di Indonesia

14 Mei 2015   14:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:03 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1431588937501439956

Proses adopsi sebenarnya untuk memastikan bahwa hak-hak legal seorang anak sebagai warga negara bisa diakui. Terutama sekali bagi bayi terlantar yang ditemukan, tidak diketahui orangtuanya. Otomatis bayi tersebut menjadi 'anak negara'. Negara wajib mengasuhnya, hingga ada yang berminat untuk mengasuh. Jika tidak, hingga dewasa (batas usia 18 tahun) dia tetap jadi asuhan negara.

Ini yang saya lihat polanya di panti asuhan balita milik pemprov dki, panti balita hingga SD, panti remaja (SMP-SMK) dimana di SMK mereka dibekali keterampilan. Sayang, pengasuhan negara sampai disini saja, padahal seharusnya bisa sampai selesai sarjana donk. Apalagi untuk DKI yang APBD nya gede.

Kemudian, acuan hukum untuk proses adopsi ada di PP no.54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, dilanjutkan secara khusus di Peraturan Menteri Sosial no. 110 /HUK/2009. Didalam proses ini, orangtua yang berminat disebut calon orangtua angkat (COTA), anak yang hendak diadopsi disebut calon anak adopsi/angkat (CAA).

Ketika seorang bayi ditemukan oleh masyarakat, maka ketentuannya bayi harus dibawa langsung ke puskesmas untuk pemeriksaan kesehatan. Kemudian pihak puskesmas/kepolisian/masyarakat yang menemukan menyerahkan bayi tersebut ke panti. Atau jika ada masyarakat yang bersedia mengasuh sementara, misalnya bisa menyediakan ASI, maka rumah warga masyarakat tersebut bisa menjadi rumah transit bagi bayi tersebut.

Proses selanjutnya, bayi itu wajib diiklankan oleh pihak panti sebagai wakil negara sebanyak 3 kali. Untuk menggugah pihak yang seharusnya memang bertanggung jawab atas bayi ini. Jarak antara ketiga iklan itu seharusnya 2 minggu. Tetapi karena proses birokrasi, bisa jadi lebih lama.

Setelah iklan 3 kali, status bayi dianggap aman untuk dimulai proses adopsi,  tidak ada yang bisa mengklaim lagi. Agama bayi ikut agama orangtua kandungnya, jika bayi temuan tergantung agama mayoritas dimana bayi ditemukan.

Sementara bagi COTA, harus melengkapi dokumen sebagai berikut: KTP, kartu keluarga, buku nikah (minimal sudah nikah 5 tahun),  usia minimal 30 tahun, surat keterangan kesehatan secara umum, keterangan kesehatan jiwa, kelakuan baik, kemampuan finansial. Termasuk yang terpenting adalah adanya surat pernyataan dukungan pihak keluarga, baik dari isteri maupun suami.

[caption id="attachment_417404" align="aligncenter" width="500" caption="Alur Proses Adopsi. Sumber: Panti Tunas Bangsa"][/caption]

Jika pasutri beragama Islam, maka ada lagi dokumen yang harus ditanda tangani, yaitu pernyataan hibah 1/3 dari harta COTA untuk sang anak (maks ketentuan hibah dalam Islam). Ini sebagai perlindungan finansial bagi sang anak, karena banyak kejadian begitu ortunya meninggal, pihak keluarga tidak memberikan apapun pada sang anak. Apalagi jika anak belum dewasa.

Setelah berkas semua dimasukkan, pihak panti akan melakukan home visit untuk melihat kondisi tempat tinggal COTA. Setelah itu bayi bisa diserahkan ke COTA, selama proses pengadilan berlangsung. Nanti pihak pengawas dan penilai dari panti akan diminta keterangan oleh pengadilan. Setelah ketuk palu pengadilan, maka secara legal bayi itu sudah berstatus anak adopsi. Seperti disebutkan sebelumnya, anak adopsi bukanlah anak kandung. Jika perempuan dan nanti menikah, tentu walinya wali hakim. Kemudian pemberitahuan bahwa sang anak adalah anak adopsi wajib didalam ketentuan PP 54 diatas.

Apakah ortu tunggal atau single bisa mengadopsi? Bisa, selain dokumen diatas juga harus mengirim surat langsung ke menteri. Kemudian orang asing, juga bisa, tetapi dengan syarat yang lebih ketat, termasuk syarat minimal 2 tahun tinggal di Indonesia. Dan syarat agama, sebagaimana ketentuan dalam PP, yaitu mengikut agama sang anak, atau agama mayoritas ketika bayi ditemukan. Yang dilarang mengasuh di PP ini adalah pasangan gaya atau lesbian.

Ya sudah, gitu deh infonya. Salam Kompasiana!

-Ilyani Sudadjat -

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun