Mohon tunggu...
ilmiyatun
ilmiyatun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Si Tikus Berdasi Kudu Diapakan?

24 April 2019   19:42 Diperbarui: 25 April 2019   10:25 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari argumen di atas, korupsi dapat dikategorikan sebagai tindakan yang merusak atau mengancam al-kulliya>t al-khams. Di dalam al-Quran dinyatakan bahwa membunuh satu manusia sama dengan membunuh seluruh manusia di muka bumi. Sebaliknya, menolong nyawa satu manusia sama dengan menolong seluruh manusia di bumi. Di ayat lain juga dinyatakan bahwa Allah memuliakan anak-anak Adam (manusia), memberikan rizki, dan menjadikan manusia makhluk yang lebih utama daripada makhluk Allah lainnya. Juga larangan membunuh manusia dengan cara yang tidak hak, dan lain-lain. Ayat-ayat itu merupakan sumber dasar ajaran Islam tentang cara menghargai martabat dan harkat manusia. Harkat dan martabat tersebut tidak boleh dilanggar dan kewajiban manusia untuk merawatnya.

Dari perspektif ajaran Islam di atas, fikih sangat tegas bahwa hukuman bagi koruptor haruslah berat jika tindakan korupsi sama dengan menghancurkan hak-hak anak manusia untuk hidup layak, aman, terjaga dari kelaparan, akses pendidikan, dan lainnya. Dengan demikian, meniadakan korupsi sama dengan memelihara al-kulliyat alkhams dalam arti yang sebenarnya.

 Munculnya fakta-fakta tentang dampak korupsi, maka hukuman mati bagi koruptor bisa dipertimbangkan oleh sistem hukum di sini. Bukan saja untuk membuat jera para pelaku korupsi, juga untuk membuat pencegahan secara efektif perilaku korup dan atau budaya korupsi yang telah berurat-berakar di negeri ini. Adopsi atas hukum China tentang hukuman mati bagi koruptor perlu dicoba dan diterapkan di sini. Terobosan hukum perlu dilakukan karena tindakan korupsi sudah melampaui batas toleransi dan dilakukan secara kolektif antara penegak hukum, pemerintah, dan politisi. Dalam perspektif fikih, pencegahan itu lebih utama ketimbang kebaikan itu sendiri.

 Selanjutnya, selain sanksi fisik (denda dan kurungan), sanksi moral dan sosial harus dilakukan. Misalnya, bekas koruptor yang dibebaskan setelah menjalani hukuman tidak boleh dipilih dalam jabatan apa pun. Juga tidak boleh menjadi wali bagi anak-anak perempuannya yang menikah. Pelaku korupsi itu lebih jahat dari orang-orang yang murtad, karena murtad hanya berkaitan dengan hak-hak Allah (huququllah/vertikal) dan tidak menimbulkan kerusakan-kerusakan sosio-budaya-politik.

 Intinya, sanksi tindak pidana korupsi harus lebih berat. Ini didukung oleh argumen-argumen moral, sosial, hukum, budaya, agama, maupun filsafat. Menegakkan tata tertib dan keadilan di muka bumi adalah tujuan Islam diturunkan kepada manusia. Sikap amanah adalah sikap terpenting dalam kehidupan sosial. Menjalankan amanah juga merupakan tugas utama manusia sebagai khali>fatulla>h fil-'ardh. Kegagalan menjalankan amanah maka juga merupakan kegagalan menjalankan peran atau fungsi manusia sebagai khali>fatulla>h fil-'ardh.

 Tugas manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi bukan dalam makna wakil yang mengkorupsi amanah-Nya, tetapi wakil Tuhan yang dengan penuh amanah dan akhlak menjaga al-kulliya>t al-khams. Dalam kerangka argumen ini, harus ada titik ekuilibrium antara manusia sebagai khalifatulla>h dan 'abdulla>h (hamba Allah). Keseimbangan fungsi manusia dalam pengertian dua dimensi tersebut akan menentukan berhasil tidaknya perwujudan amanah dengan segenap percabangannya di muka bumi, termasuk pemberantasan korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun