Mohon tunggu...
Willy Illuminatoz
Willy Illuminatoz Mohon Tunggu... wiraswasta -

Easy going, always smile, and enjoying life

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Iman Kristen dan Alam Filsafat

21 Juli 2013   21:26 Diperbarui: 4 April 2017   18:22 5165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

A.Perspektif yang dipaparkan dalam Alkitab

Baik dahulu maupun sekarang agama Kristen berpengaruh besar terhadap filsafat, entah sebagai sumber filsafat kristiani entah sebagai suatu tantangan yang dibantah oleh sistem-sistem filsafat. Dalam perkembangan sejarah dewasa ini kelihatan tapal-tapal batas baru. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa refleksi filsafat dan religius, bila berhadapan dengan agama Kristen, diajak menentukan sikap, lain dari agama Hindu modern yang bersifat sinkretistis, sanggup merangkul segala macam sistem yang saling bertentangan. Maka ada gunanya kita lebih dahulu memusatkan perhatian kita kepada naskah yang merupakan jantung agama Kristen, yaitu serangkaian tulisan yang terjadi dalam kurun waktu kurang lebih 1000 tahun: Alkitab (dalam bahasa Inggris The Bible; kitab Injil sebetulnya hanya merupakan sebagian dari Alkitab).



Bila kita berusaha untuk memahami Alkitab itu berdasarkan teksnya sendiri, maka kentaralah, bahwa tulisan-tulisan ini tidak dapat dan tidak boleh dimengerti di dalam kerangka suatu filsafat tertentu dan sebaliknya, bahwa Alkitab ini tidak mengandaikan salah satu sistem filsafat tertentu, tetapi justru ingin membebaskan manusia dari sistem itu.

B.Pandangan Iman Kristen terhadap Tema-Tema Filosofis

Agar semuanya ini dapat dimengerti dengan lebih baik, ada gunanya bila secara singkat disinggung beberapa aspek dari amanat yang terkandung di dalam Alkitab itu. Tema-tema filosofis yang akan ditinjau ialah: pengetahuan – ada yang menopang kita – dunia – manusia.

B.1.Tentang Pengetahuan

Menurut logat Alkitab istilah “mengetahui, mengenal” baik dalam bagian-bagian yang ditulis dalam bahasa Ibrani maupun dalam bahasa Yunani, tidak pertama-tama berarti pengetahuan kognitif belaka (yang diarahkan kepada pengetahuan teoritis dan obyektif). “Mengetahui”, “pengetahuan” mengandung unsur pertemuan, “bergaul dengan”. Demikian misalnya istilah Ibrani dapat juga berarti mengadakan hubungan seksual; bila seseorang mengetahui penyakit maka maksudnya bukan pengetahuan seperti dimiliki oleh seorang dokter, melainkan dia pernah mengalami dan menderita penyakit itu sendiri. Bila manusia mengenal Tuhan, ini bukan pertama-tama pengetahuan yang obyektif belaka, bahkan bukan pula pengetahuan spekulatif, melainkan: menjalin suatu relasi dengan Tuhan; “mengetahui” lalu berarti “mengakui”.

Dalam Alkitab yang disebut Perjanjian Baru pengertian “pengetahuan” sering diterjemahkan dengan istilah Yunani gnosis, selaras dengan lingkup pengertian istilah Ibrani yang dipakai di dalam Perjanjian Lama. Kesukaran yang timbul ialah: pada abad pertama Masehi istilah “gnosis” juga dipakai dalam semacam aliran kebatinan. Yang dimaksudkan [oleh] kalangan tersebut dengan istilah “gnosis” ialah suatu pengetahuan supra-rasional, suatu pengetahuan mistik (bandingkan dengan kata ngelmu). Segelintir orang yang dapat menangkap “pengetahuan” itu lalu turut ambil bagian dalam “dzat” ilahi. Di sini pun kita berjumpa dengan suatu pengertian non-kognitif mengenai pengetahuan, tetapi juga yang mengandung unsur-unsur irrasional (yang tidak hanya mengatasi pengertian akal budi, melainkan melawannya).

Tafsiran serupa itu ditolak dalam kitab-kitab Perjanjian Baru. Yang dipentingkan ialah keyakinan, bahwa sungguhlah Tuhan yang bersabda. Konsep yang dipaparkan dalam Alkitab bukan mengenai suatu Tuhan yang tersembunyi dan yang hanya dapat dicapai oleh segelintir orang lewat suatu penalaran dialektik yang rumit. Dalam pandangan Alkitab, manusia berdiam diri; menurut ucapan seorang nabi, manusia menutup mulutnya dengan tangan. Tuhan adalah subyek, bukan obyek spekulasi-spekulasi manusiawi. Alkitab tidak pernah berbicara tentang Tuhan, melainkan lewat mulut Tuhan berbicara tentang manusia dan dunia. Alkitab hendaknya jangan dibaca sebagai suatu textbook, melainkan sebagai sepucuk surat yang ditujukan kepada pembaca yang kongkret ini (demikian Kierkegaard)

B.2.Ada yang Menopang Kita

“Ada” yang dibahas dalam Alkitab tak pernah merupakan suatu konsep tertinggi, semacam mahkota bagi ontologinya, apalagi suatu spekulasi metafisik. Secara kongkret “ada” yang dibahas dalam Alkitab ialah sabda Tuhan: “Aku ada”. Pengertian dasar yang terkandung dalam bentuk-bentuk kata kerja “ada” itu (seperti ditegaskan kembali oleh telaah-telaah filologis mutakhir) bukanlah semacam tingkat keadaan tertinggi melainkan “berarti bagi orang lain”, “ada dengan atau bagi orang lain”. Adanya Tuhan, menurut pandangan Alkitab, merupakan suatu penegasan, khusus mengenai kesetiaan-Nya, yang mencapai puncaknya dalam perjanjian yang diadakan Tuhan dengan umat pilihan-Nya.

Alkitab tidak menyajikan suatu uraian mengenai “ada yang tertinggi”, bahkan tidak pula mengenai “adanya Tuhan”, melainkan mewartakan, bahwa hakekat dasar-Nya Tuhan itu ialah: membina kebersamaan, mengajak manusia untuk berelasi dengan Dia. Alkitab tidak ingin berbicara tentang Tuhan diluar amanat tersebut, yakni amanat bahwa Tuhan ingin berhubungan dengan manusia. Apakah dengan demikian konsep Tuhan semata-mata disamakan dengan “serba berhubungan dengan manusia”? Pertanyaan ini sudah merupakan spekulasi yang melampaui batas. Tuhan adalah Yang Mahakudus dan dalam kitab-kitab Alkitab Ia dilukiskan sebagai Tuhan yang sama sekali tidak tergantung dari manusia; Yang Mahasempurna. Tetapi di dalam Diri-Nya sudah terkandung unsur-unsur kebersamaan. Keyakinan ini kemudian hari oleh umat kristiani diungkapkan dengan dogma (ajaran) tentang Trinitas.

Dengan demikian dua hal menjadi jelas. Pertama, bahwa wahyu Tuhan (Alkitab mengandung suatu wahyu) langsung berkaitan dengan pernyataan Tuhan: “Aku ada bagimu”. Wahyu itu bukanlah suatu embel-embel, tidak terjadi secara kebetulan, Tuhan tidak dipancing untuk menampakkan diri. Bukan demikian. Wahyu itu adalah inti kehendak Tuhan untuk berhubungan dengan makhluk-makhluk-Nya, ingin berada bersama dengan mereka. Kepercayaan orang Kristen akan Inkarnasi (Tuhan menjelma menjadi manusia) berarti bahwa Tuhan secara langsung memperlihatkan rahasia hakekat kodrat-Nya: ada-Nya Tuhan ialah “ada-yang-terarah-kepada-yang-lain”, secara konkret (dalam inkarnasi) ingin mengadakan kontak dengan manusia. Jadi, berlainan dengan gambaran yang kita jumpai dalam agama Hindu misalnya, inkarnasi itu tidak berarti, bahwa Tuhan memakai sebuah topeng, asal topeng itu memperlihatkan wajah manusia, atau bahwa Tuhan untuk menghindari suatu situasi tertentu lalu menyamar sebagai seorang manusia.

Kesimpulan kedua: ada-bagi-manusia berarti bahwa Tuhan ingin mengadakan kontak dengan manusia seperti adanya, jadi dengan manusia dan bahasanya, dengan lingkungan sosialnya, dengan gambaran dunianya. Itulah sebabnya mengapa Alkitab sekaligus merupakan suatu kitab yang khas manusiawi. Kata-kata dan gambaran yang dipakai secara langsung berkaitan dengan gambaran dunia yang berlaku pada suatu abad tertentu. Tetapi bila gambaran-gambaran tersebut kita bandingkan dengan gambaran-gambaran serupa yang berlaku dalam lingkungan kebudayaan sekitarnya (Mesir, Babilonia bagi Perjanjian Lama, Hellenisme, sekte-sekte Yahudi bagi Perjanjian Baru), maka ternyatalah bahwa gambaran yang dipakai dalam Alkitab memperlihatkan aksen-aksen yang berlainan, sehingga pendekatannya juga lain sama sekali. Misalnya mengenai terjadinya dunia, mengenai adanya Tuhan dan sebagainya tidak disajikan spekulasi-spekulasi, tetapi dengan bertitik pangkal dari Tuhan bagi manusia yang ada di dalam dunia itu dibuka suatu pandangan yang membebaskan.

B.3.Tentang Dunia

Dunia pun turut diangkat dalam pandangan tersebut [yaitu pandangan akan Tuhan yang ada bagi manusia]. Kenyataan dunia ini bukanlah kenyataan yang terakhir (the ultimate reality), dan sama sekali bukan sesuatu yang tersembunyi di belakang dunia yang nampak dan yang dapat ditelusuri atau dilacak dengan bantuan filsafat atau metafisika. Bukan, adanya dunia ini ialah ada yang mempunyai wajah dan kiblatnya; hakekat dasar atau esensi dunia ini nampak bila kita bertanya: untuk apa? Creatio atau Penciptaan berarti bahwa Tuhan memanggil dunia untuk berada dan ada[-nya] dunia itu [mempunyai] arah. Terciptanya dunia ini tidak hanya terjadi dahulu kala, tetapi bertalian erat dengan masa kini dan hari depan. Kenyataan dunia ini ialah serba ketergantungan sampai akar-akarnya, tidak berdaulat. Makin terarah kepada Tuhan, makin dunia mencapai identitasnya.

Barang-barang dan makhluk-makhluk hidup muncul, karena Tuhan mengucapkan nama mereka. Dunia ini ialah sebuah sajak buatan Tuhan: Ia memandang hasil karya-Nya dan melihat bahwa nilainya baik. Di dalam alam kebudayaan Timur Tengah terdapat kisah-kisah penciptaan lain yang juga melukiskan sabda yang diucapkan oleh seorang dewa sebagai sebuah sabda yang penuh daya cipta. Tetapi yang ditekankan ialah sebuah kejadian metafisis atau alamiah, sedangkan dalam Alkitab kisah ciptaan itu sudah berwarna etis, kasih Tuhan sudah terpancar lewat perbuatan-Nya. Alkitab tidak melukiskan suatu proses di dalam alam raya (evolusi misalnya), juga tidak menyajikan suatu inventarisasi ontologis (adanya materi, kehidupan, atau roh), melainkan menunjukkan tujuan dunia ciptaan ini, maknanya, yaitu arahnya kepada Tuhan.

Status dunia ciptaan ini memang suatu ketergantungan radikal, tetapi keadaan yang tidak niscaya ini diangkat ke dalam penilaian Tuhan: dunia ini baik adanya. Nilai ini bukanlah suatu tambahan, melainkan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari maknanya, yaitu arahnya kepada Tuhan: itulah hakekat kodratnya. Pandangan ini antara lain diungkapkan dalam Kitab Mazmur: langit mewartakan keagungan Tuhan, sungai-sungai bertepuk tangan, bukit-bukit menari-nari kegirangan; itu bukan pandangan seorang penyair terhadap kenyataan yang sebetulnya netral, melainkan pandangan seorang nabi yang mengungkapkan hakekat kenyataan.

Di dalam lingkup kenyataan itu manusialah yang merupakan pusatnya. Dalam diri manusia dunia merekah, dalam diri manusia alam semesta bersuara, manusialah yang merupakan juru tafsir segala sesuatu yang ada, dialah yang harus mengungkapkan makna dunia ini, ialah terarahnya dunia ini kepada Tuhan. Maka dari itu dunia berubah sekadar sikap religius manusia yang menghuninya. Bila manusia memberontak terhadap Tuhan, pandangannya terhadap dunia dikeruhkan dan ia membuat kesalahan dalam penafsirannya. Dapat terjadi bahwa manusia terserap oleh dunia ini, melekat pada dunia ini seperti dilukiskan oleh Yohanes; istilah “kosmos”(alam raya yang indah) lalu tidak lagi menunjukkan suatu ruang, melainkan cara hidup manusia dan cara ia menghayati dunia. Pembebasan atau penebusan manusia sekaligus merupakan pembebasan alam raya ciptaan Tuhan. Oleh Alkitab dibukalah dalam diri manusia suatu perspektif yang kosmis, yaitu yang meliputi semesta alam.

B.4.Tentang Manusia

Adapun manusia itu mempunyai relasi tersendiri dengan Tuhan. Ia mulai berada karena nafas, roh Tuhan (ruach dalam bahasa Ibranis, pneuma dalam bahasa Yunani). Cerita dalam Alkitab yang mengisahkan bagaimana manusia diciptakan Tuhan bukanlah suatu kenyataan yang secara biologis dapat dicek atau dikonstantir, melainkan menunjukkan cakrawala religius dalam kesadaran dan tutur kata manusia. Manusia baru mengenal dirinya sendiri bila ia bertitik tolak dari Tuhan.

Di dalam Alkitab manusia tidak dilukiskan sebagai suatu makhluk yang lewat penalarannya atau perasaan religiusnya menemukan Tuhan, melainkan sebagai seorang yang baru mulai mengenal dirinya sendiri bila ia disapa oleh pertanyaan Tuhan: “Adam, di manakah engkau?” Pertanyaan itu sekaligus bersifat dakwaan dan vonis yang membebaskan. Dakwaan: manusia itu, biarpun lemah dan serba tergantung (“daging” menurut logat Alkitab) jatuh dalam dosa, melekat pada dunia yang tidak lagi menunjukkan ke arah Tuhan. Bahkan otonomi manusia yang luhur, sikap seorang penganut Stoa yang selalu seimbang dan kearifan alam pikiran Timur tidak luput dari dakwaan ilahi itu: semuanya itu ditelanjangi dan nampaklah terbelenggu oleh dosa. Tetapi pertanyaan itu sekaligus membebaskan: manusia, setelah dipergoki oleh Tuhan dan sesudah kebulatan sistem pikirannya retak, lalu mencapai identitasnya yang asli karena ia menyadari, bahwa eksistensinya [adanya] bersifat ada-yang-terarah-kepada-Tuhan.

Dengan demikian manusia ditarik kembali ke dalam orbit kenyataan yang diresapi oleh Roh Tuhan, segala sesuatu dengan penuh arti terarah kepada Tuhan. Manusia menjadi “rohani”, dengan jiwa dan raganya, dengan darah dan dagingnya. Kiblatnya menjadi lain, ia “berjalan menurut Roh Tuhan”, dan terbukalah suatu pemandangan baru terhadap dunia sekitarnya. Karena ia bersahabat dengan Tuhan ia didorong untuk mengadakan persahabatan yang konkret dengan sesama manusia. Bagi manusia lain ia sungguh menjadi sesama, ia membuka diri untuk sesama sambil membuka komunikasi yang selalu membangun. Sistem-sistem pikirannya yang bila dipandang menurut dirinya sendiri kehilangan makna, lalu memperoleh suatu gairah baru, yaitu sebagai kemungkinan untuk mengadakan komunikasi.

Penutup

Alkitab tidak menyajikan suatu sistem yang bulat, tetapi lewat gambaran-gambaran dunia yang selalu berubah (Alkitab sebagai buku dari dan untuk manusia) memberikan kesaksian bahwa Tuhan bersabda (Alkitab sebagai wahyu); demikian pula filsafat sebagai suatu sistem yang bulat dijadikan persoalan, disangsikan kebenarannya, tetapi berkat cakrawala wahyu Tuhan, dialog antara manusia dengan manusia selalu dimulai kembali; itulah sistematik yang makin memperdalam pandangan filsafat.

Sumber:

Peursen, C.A. Van, "Filosofische Orientatie", diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko, 1980, PT. Gramedia, Jakarta.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun