Mohon tunggu...
Ilham Suheri Situmorang
Ilham Suheri Situmorang Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pedagang kecil di sebuah gubuk rentah nan beralaskan tanah

Manusia kecil yang sedang mengajarkan kepada pikirannya untuk melahap kosmik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Drama Politik 2019 yang Tidak Diregistrasi

15 November 2019   04:25 Diperbarui: 4 September 2020   02:53 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Jokowi (Joko Widodo) sebagai petahana diusung kembali menjadi kandidat presiden oleh PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dengan di dukung beberapa partai yang tergabung dalam koalisi yaitu Partai Golkar (Golongan Karya), PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), Partai Nasdem (Nasional Demokrat), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat), Partai Perindo (Persatuan Indonesia), PSI (Partai Solidaritas Indonesia), dan PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia). Koalisi besar yang menghimpun jajaran partai besar, menengah hingga partai kecil dan partai baru. Dengan besarnya koalisi, seharusnya petahan hanya cukup menjaga kondusifitas sehingga tidak menimbulkan sentimen negatif masyarakat terhadap pemerintah. Walapun, masih bisa dikatakan perlu untuk menghimpun partai lainnya untuk bergabung, sehingga dapat menciptakan peluang yang sempit untuk pihak penantang membentuk koalisi yang kokoh dan menjanjikan.

Pihak penantang terpolar menjadi satu kubu, berhubung syarat Presidential Threshold yng termuat dalam UU Nomor 7 tahun 2017, Pasal 222 dengan petikan sebagai berikut:

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 2O% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoLeh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Dengan ketentuan tersebut, sulit untuk membentuk poros ketiga, karena Presidential Threshold pilpres 2019 merujuk pada pemilihan legislatif (pileg) 2014 dengan perolehan sebagai berikut:

A.   Poros petahana/ pemerintah dengan koalisi bernama Koalisi Indonesia Kerja meraup 60,4% (enam puluh koma empat persen) kursi di DPR

  • Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (109 kursi atau 19,5% kursi DPR)
  • Partai Golkar (91 kursi atau 16,2% kursi DPR)
  • Partai Kebangkitan Bangsa (47 kursi atau 8,4% kursi DPR)
  • Partai Persatuan Pembangunan (39 kursi atau 7% kursi DPR)
  • Partai NasDem (36 kursi atau 6,4% kursi DPR)
  • Partai Hanura 6.579.498 (16 kursi atau 2,9% kursi DPR)

B.   Poros penantang/ oposisi dengan koalisi bernama Koalisi Indonesia Adil Makmur meraup 28,7 (dua puluh delapan koma tujuh persen) kursi di DPR

  • Partai Gerindra (73 kursi atau 13% kursi DPR)
  • Partai Amanat Nasional (48 kursi atau 8,6% kursi DPR)
  • Partai Keadilan Sejahtera (40 kursi 7,1% kursi DPR)

C.   Poros yang tidak terbentuk Partai Demokrat (61 kursi atau 10,9% kursi DPR)

Sisanya, sebagai partai yang tidak dapat membentuk poros, Demokrat memutuskan bergabung dengan Poros oposisi di tandai dengan bertemunya ketua umum partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dengan ketua umum partai Gerindra Prabowo Subianto di kediaman Prabowo pada tanggal 30 Juli 2018. Dengan demikian, poros oposisi meraup kursi DPR sebesar 39,6 (tiga puluh sembilan koma enam) kursi di DPR.

Demokrat terkesan lama dalam bergabung ke salah satu poros, karena ada harapan melalui demokrat diharapkan menjadi inisiator pembentuk poros tengah, namun karena semua partai telah membentuk poros masing-masing, upaya demokrat tersebut tentu juga berakhir. Tidak memiliki poros, dan hanya ikut bergabung dalam poros oposisi dengan hanya membawa partainya saja, (tidak memiliki rekan partai lain untuk bertawar dengan poros oposisi), demokrat semakin tidak memiliki posisi tawar yang baik. Terlihat dengan ambisi demokrat untuk mendapatkan posisi calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo dengan mengajukan nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), namun tidak terealisasi. Demokrat merespon sikap poros oposisi yang tidak mengabulkan harapan partainya, dengan melakukan manuver-manuver yang terlihat di mata masyarakat sebagai tindakan yang mencerminkan ketidaksolidan koalisi oposisi. Salah satunya, ketika wakil sekretaris jenderal partai Demokrat, Andi Arief, melontarkan perkataan jenderal kardus, sehari sebelum deklarasi pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Dalam perjalanannya, koalisi oposisi sering mengalami perselisihan paham antara elit partai Demokrat dan elit partai Gerindra, sehingga yang terlihat adanya bara perpecahan di dalam tubuh koalisi. Jalinan komunikasi Demokrat kepada pemerintah menjadi salah satu yang di sinyalir oleh Gerindra sebagai upayah melemahkan koalisi. Dalam perjalanannya Gerindra merasa Demokrat tidak maksimal, ditandai banyaknya fungsionaris partai Gerindra yang memberikan pernyataan negatif ke partai Demokrat maupun sebaliknya.

Pasca perhitungan resmi KPU, Partai Demokrat dianggap pihak yang paling bertanggung jawab atas kekalahan kubu Prabowo-Sandi (andai saja partai Demokrat tidak ikut dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur, tentu penilaiannya akan berbeda). Buruknya hubungan ini membawa konsekuensi percaturan politik di pilpres 2019 di luar perkiraan masyarakat Indonesia bahkan partai koalisi masing masing poros. Banyak yang mengira Gerindra akan bertahan sebagai poros oposisi bersama mitranya.

Gerindra melihat, upaya Demokrat untuk merapat ke poros pemerintah adalah bagian manuver politik demokrat yang harus dihentikan. Upaya Gerindra ini sebagai balasan terhadap demokrat, sekaligus melihat peluang keuntungan partainya pasca keputusan mahkamah konstitusi. Jika gerindra bertahan pada posisi oposisi, tentu poros pemerintah akan mempertimbangkan keutamaan meminang partai Demokrat ke dalam pemerintah. Namun, Gerindra melihat peluang yang strategis untuk mematahkan manuver Demokrat, dengan cara memangkas Demokrat ke pemerintah dengan mengajukan diri (Gerindra) ke poros pemerintah. Ketika Gerindra menawarkan diri untuk bergabung memperkuat poros pemerintah, tentu ia tidak ingin Demokrat ada di dalam poros tersebut.

Wacana bergabungnya  Gerindra ke poros pemerintah, banyak mendapat penolakan dari partai mitra PDIP, diantaranya Nasdem, PKB dan Golkar. Nasdem terbilang partai yang paling keras menyuarakan penolakan. Nasdem melihat koalisi gendut dalam poros pemerintah memastikan menjadi suara terbanyak di DPR. bagi Nasdem, tidak ada alasan logis untuk poros pemerintah menerima bergabungnya partai apapun itu termasuk gerindra. Nasdem melihat bahwa akan masuknya Gerindra ke dalam poros pemerintah, hanya menambah beban kabinet dan menggerus kepentingan partai koalisi pemenang.

bersikerasnya PDIP membuka pintu masuk bagi Gerindra ke dalam poros pemerintah, juga dianggap oleh Nasdem sebagai ketidaksetiakawanan. Nasdem dengan berbagai manuvernya ini, menjadikan PDIP selaku partai terbesar di dalam koalisi mulai resah dan olehnya Nasdem dianggap melakukan upaya pelemahan dan atau perpecahan di koalisi. Untuk memadamkan pertikaian ini, PDIP mulai menyikapi tindakan partai-partai mitranya dengan mulai melangkah pada pembicaraan serius mengenai pembagian kursi kabinet dan turunannya. Hal ini diupayakan oleh PDIP agar tidak melebar pada perpecahan koalisi yang ada, namun Nasdem sepertinya tidak juga terhentikan oleh upaya tersebut. Manuvernya semakin tajam ditandai dengan bertemunya Surya Paloh dengan gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan yang dalam pusaran politik nasional, dianggap sebagai entitas rival dari poros pemerintah.

Pemberian ruang kepada Anis, dianggap masyarakat dan elit politik sebagai strategi Nasdem menuju pilpres 2024. Namun, pertemuan itu cenderung tidak akan terjadi jika, PDIP tidak bersikeras membuka pintu masuk kepada Gerindra. Pertemuan ini bisa saja dianggap sebagai langkah strategis Nasdem ke depan, namun yang perlu di lihat adalah motivasi (dorongan) Nasdem dalam menjalankan strateginya tersebut. Hal apa yang sebenarnya menjadi latar belakang Nasdem dalam menjalankan misi mendapatkan kekuasaan di pilpres 2024, sementara terlalu dini untuk memutuskan pencalonan presiden tahun 2024 di tahun 2019. Jika berkaca terhadap tindakan Nasdem pada pilgub Sumatera Utara dalam mengusung kadernya yang sekaligus petahana yaitu Tengku Erry Nuradi yang gagal dalam pencalonan, maka Nasdem akan keliru karena terlihat gegabah dan terlalu percaya diri jika ingin mengusung Anis sebagai kandidat presiden ke depan. Jika dilihat dari motovasinya, Nasdem tidak benar-benar melakukan penjaringan kandidat calon presiden untuk pilpres 2024, namun lebih tepatnya, memberikan sinyal ketidakpuasan kepada PDIP atas masih diteruskannya upaya pemberian ruang kepada Gerindra untuk masuk ke poros pemerintah. Nasdem harusnya tidak perlu membendung hasrat PDI Perjuangan untuk berkoalisi kepada siapapun atau bahkan memberikan sinyal ancaman hendak hengkang dari koalisi pemenang, karena setiap partai koalisi pada umumnya memiliki kebijakan internal yang diutamakan daripada kebijakan koalisi. Kondisi itu hanya akan dapat berlaku, jika kekuatan Nasdem sama atau bahkan lebih dari kekuatan Gerindra.

Di lain pihak, PDIP justru menganggap sikap Nasdem, sebagai sikap yang tidak patuh atau liar di dalam koalisi. Sikap tersebut, justru yang menjadikan bara semangat bagi PDIP dalam memberi ruang kepada Gerindra untuk bergabung. Melihat keadaan keamanan yang kian memburuk menjelang pelantikan DPR dan pelantikan presiden, sangat strategis kiranya menggandeng Gerindra. Sikap yang kelihatan tidak harmonis tersebut, menghadirkan rasa yang tidak nyaman bagi PDIP dalam membentuk format kekuatan koalisi. Sehingga menambah keyakinan baginya untuk segera berkoalisi dengan Gerindra, dengan kondisi, kesepakatan tidak memberatkan PDIP apalagi dengan melihat kondisi keamanan yang semakin memburuk.

Terjadi pergolakan dari berbagai elemen mahasiswa dengan tuntutan di antaranya menolak RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan dan RUU Ketenegakerjaan. 

Menyerukan pembatalan segera UU KPK dan UU SDA dan kemudian, mendesak agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga segera disahkan. 

Menolak pimpinan KPK terpilih karena dianggap bermasalah. Juga menuntut pihak TNI dan Polri agar tidak menduduki jabatan sipil. Desakan penghentian kriminalisasi aktivis dan tuntutan mengenai pencabutan izin pembakar hutan dan penegakan hukum kepada mereka. Menuntaskan pelanggaran HAM.

Tidak saja dari kalangan mahasiswa, namun juga dari kalangan petani yang menolak RUU Pertanahan yang dianggap bertolak belakang dengan Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan), dan putusan Mahkamah Konstitusi.  Juga mengkritisi UU perlintan sendiri yang menurut mereka masih mengandung dilema bagi petani, seperti kepemilikan tanah, hak guna pakai yang tidak dijelaskan secara rinci dalam UU tersebut dan masih banyak lagi permasalahan yang menjadi tututan petani kepada pemerintah untuk segera di tuntaskan. Juga datang dari kelompok buruh yang menolak revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan, dan revisi PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Banyaknya pergerakan kritis terhadap pemerintah, sebelum pelantikan Presiden, menjadi hemat tersendiri bagi PDIP dalam mengawal kekuasaaan yang sedang diperoleh dan hendak mengalami transisi meraih legitimasi kekuasaan yang sudah dimenangkan. Hemat mereka tergerus untuk mencari solusi bagaimana mengendalikan keadaan dan menciptakan kondusifitas ditengah kekuasaan yang hendak dilegitimasi dan akan didistribusikan. Dihadapkan oleh dilema, yaitu PDIP menolak Gerindra dan akan mendapati koalisi yang kondusif, Namun oposisi akan semakin besar di bawah panji Gerindra atau menerima Gerindra dalam poros pemerintah dengan mendapati koalisi yang tidak kondusif namun akan lebih strategis dalam stabilitas politik nasional, yang jelas akan berdampak pada keamanan nasional dan stabilitas ekonomi kedepannya. Menakar keuntungan dari semuanya, adalah putusan yang tepat, PDIP menerima Gerindra ke dalam poros pemerintahan. Setidaknya, berkoalisi dengan Gerindra, PDIP jauh lebih mampu menciptakan stabilitas politik nasional yang kondusif. Juga dapat membuka peta koalisi 2024, berhubung PDIP harus menghadirkan "jagoan" baru untuk dikandidasi untuk menggantikan Jokowi yang telah dua priode nantinya. Kemudian, keuntungan lainya bagi PDIP dengan menerima bergabungnya Gerindra adalah, pecahnya kekuatan poros oposisi, selain pada partai-partainya, juga pada kekuatan besar yang ada di dalamnya yaitu kekuatan "Ulama Indonesia bagian Barat".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun