Saya juga heran mengapa drama kehidupan riil, juga terjadi di timnas Indonesia. Dulu ketika tak ada pemain Indonesia yang main di luar negeri, banyak yang nyinyir.
Kemudian tidak adanya pemain yang main di luar negeri, dijadikan alasan timnas tak maju. Eh ketika pemain main di luar negeri, dijadikan alasan pula.
Alasannya, karena pemain main di luar negeri, waktu berkumpul di timnas tak serentak dan mempengaruhi cemistri. Waduhhh, timnas lain kumpul juga sebentar. Di belahan dunia manapun yang namanya kualifikasi Piala Dunia, waktu berkumpulnya singkat.
Kini ketika banyak pemain yang main di luar negeri, dibilang kelasnya level B. Terus karena level B, dijadikan pembenaran tak apa-apa jika tak lolos ke Piala Dunia 2026.
Persoalannya, memang Arab Saudi dan Irak yang jadi lawan kita terakhir ini, ada pemain level A mereka di Eropa? Artinya ya sama saja Indonesia dengan Arab Saudi dan Irak.
Sudah seperti itu, ada juga jurus ngaco starting. Dari mulai cerita di China sampai di Jeddah. Ah entahlah.
Kita sudah sangat dekat dengan Piala Dunia 2026. Tapi kegagalan itu seperti karena diri sendiri. Sangat mengecewakan. Sejak pagi ini, sepertinya saya akan menutup buku menonton pertandingan timnas.
Saatnya istirahat dari drama sepak bola timnas sejak 1991. Ini pilihanku. Dan aku tidak mengajak siapa-siapa. Kalau soal doa, ya tentu saja sebagai warga Indonesia, aku mendoakan yang terbaik untuk timnas. Tapi untuk kembali menonton dan secara heroik mendukung, seperti aku sudahi.
Aku pamit tak lagi menonton timnas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI