Pemilu 2009, aku masih di Jakarta, membanting tulang. Ke sana ke mari aku menunggang sepeda motor.
JelangPelat sepeda motorku berawalan huruf G. G adalah pelat motor untuk daerah eks Karesidenan Pekalongan, meliputi Pekalongan, Tegal, Brebes, Pemalang, Batang.
Jadi sekalipun keliling Jakarta, pelat motorku kala itu G. Nah, satu hari, jelang petang aku ada di tepi jalan berhenti sebentar. Aku lupa kenapa waktu itu berhenti sebentar.
Kala itu, gerimis tipis tipis. Tiba-tiba, ada pesepeda motor berboncengan mendatangiku. Keduanya turun dari sepeda motor.
Yang satunya bicara pakai bahasa Tegal padaku, tapi aku translete saja. Kira-kira dia bilang begini padaku.
 "Nah ini dia saudara kita orang Tegal (karena lihat pelat nomor kendaraanku G). Begini, saudara kita (sesama Tegal) akan nyaleg di DPRD Jakarta. Kamu aku beri gambar, stiker, kalender. Silakan bagi ke saudaramu, jangan lupa ya. Ini calonnya (sembari menunjuk satu orang lagi yang dia boncengkan)," katanya.
Yang ditunjuk alias si caleg, langsung berdiri tegap coba berwibawa, memakai peci. Wajahnya yang tadi cengengesan tiba-tiba dibuat seberwibawa mungkin. Aku mau ketawa tapi takut dosa.
Aku belum sempat berbicara apapun. Keduanya langsung pamit pergi. Memberiku tumpukan stiker, poster, dan kalender yang dimasukkan plastik besar.
Aku hanya bisa melongo. Tak kenal, tak tahu, apalagi KTP ku bukan KTP Jakarta. Hanya modal lihat pelat motorku G, langsung mengatakan aku sebagai orang Tegal. Lalu aku langsung diberi stiker, kalender, poster.
"Kampanye macam apa ini," batinku.
Sebenarnya aku bisa saja membuang semuanya di jalan. Tapi, tak enak hati juga. Lagipula terlalu banyak kertasnya jika dibuang di jalan.