Ini hanya cermin. Bahkan juga cermin untuk diri sendiri. Ini soal niat, yang tak semua orang tahu. Yang tahu hanya diri kita masing-masing.
Jangan-jangan semangat kita pada orang yang melakukan kesalahan yang tak diniati bukan dalam rangka memperbaiki. Jangan-jangan semangat kita pada orang yang lalai, bukan untuk memberi hukuman.
Jangan-jangan kita memang suka untuk mengolok-olok orang yang tak sengaja melakukan kesalahan. Jangan-jangan semangat kita adalah untuk merendahkan martabatnya.
Aku tak sedang berbicara tentang bajingan yang memang berniat melakukan kesalahan. Aku bicara tentang orang yang sedang apes. Tak berniat melakukan kesalahan, tapi malah melakukan kesalahan.
Aku sedang berbicara soal orang yang tak paham. Kemudian, karena tak pahamnya, dia melakukan kesalahan. Jangan-jangan kita memang punya semangat untuk merendahkan orang-orang itu.
Pada cerita lain, jangan-jangan semangat kita bukan kompetisi untuk mendapatkan kemenangan. Jangan-jangan kompetisi bukan hanya untuk mengalahkan.
Jangan-jangan semangat kita adalah menyakiti yang kalah. Menyakit sesakit-sakitnya, setelah itu membunuhnya. Jangan-jangan, kita adalah kumpulan orang-orang tak sportif.
Â
Aku sangat ingat bahwa pada orang yang sudah kalah, kita tak boleh menyerangnya. Aku sangat ingat dalam sepak bola dilarang selebrasi gol dengan merendahkan mereka yang dibobol.
Kenapa kita tak boleh merendahkan yang kalah? Aku tak tahu jawaban yang pasti. Tapi rabaanku, karena ada yang kalah, maka kita disebut pemenang. Karena ada pihak lain, kita disebut pahlawan.
Tanpa ada yang kalah, maka tak ada pemenang. Tanpa ada yang kalah, maka tak ada pahlawan. Pahlawan ada karena ada yang dimusuhi.
Tanpa musuh, maka stempel kehebatan sebagai pemenang dan pahlawan itu tak ada. Maka, menghormati mereka yang kalah itu sangat perlu.