Aku tentu enteng saja menjawabnya. "Ikutilah takdir terbaik dari kita. Ikutilah. Teruslah mengusahakan untuk keadilan tanpa kekerasan. Itu takdir kita. Menang atau kalah, itu urusan yang Maha Kuasa," kataku disambut kecut oleh Arif.
Aku paham jika dia kecewa. Tapi, mengharap  kemenangan bagi petani adalah kesalahan. Aku sudah lama kalah. Aku paham bahwa kita akan selalu kalah. Lalu? Ya sudah, jalani saja sebaik-baiknya.
"Aku tak yakin jika Tuhan pelit. Perut kita pasti terisi. Ya tentu tak berlebihan isinya. Tugas kita hanya terus mengusahakan dengan benar agar irigasi kita kembali normal. Terus seperti itu," kataku sok bijak.
*
"Kita benar-benar kalah, kang," kata Arif. Dia menyaksikan sendiri, satu per satu petani tumbang. Menjual sawahnya yang tak lagi bisa ditanam. Ada sebagian yang memutuskan mengubah tanaman. Tapi, ya percuma karena bagaimana pun tanaman butuh air. Hasil tanaman lain tak sebagus padi.
Ya Arif benar, kami tumbang. Aliran irigasi itu hanya penuh dengan kotoran, dengan air yang sedikit. Aku pun tumbang. Entah kami akan jadi apa setelah tak lagi jadi petani.
Satu per satu petani yang menjual sawahnya itu berpulang. Mereka yang memutuskan menanam selain padi, juga berpulang.
Bukan hanya petaninya, tapi juga keluarganya. Semua berpulang secara cepat. Dalam waktu 30 hari, petani di kampung kami hanya tinggal nama.
Setiap pemakaman, aku merasakan sendiri semerbak melati yang entah datang dari mana. Wangi sekali. Setiap pemakaman petani itu.
"Tuhan sayang orang-orang baik, kang," kata Arif.
Tinggal aku dan Arif yang tersisa. Aku dan Arif sementara mengandalkan uang penjualan sawah. Kami tetap makan nasi. Kata orang nasi impor.
Ya sudah biarkan saja. Aku hanya ingin menjadi orang baik. Dan kau tahu, sebulan setelah para petani itu wafat, wabah menjamur luar biasa.