Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Dianggap

2 Maret 2021   10:26 Diperbarui: 2 Maret 2021   10:38 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Foto:splendens dipublikasikan kompas.com

Bagaimana rasanya menjadi orang yang tidak dianggap? Ada enaknya dan ada tak enaknya. Enaknya? Kau bisa melakukan hal baik yang kau yakini, tanpa mengharap sanjungan orang lain. Karena tak dianggap, kau dengan mudah bisa bersedekah. Kau dengan mudah bisa ke tempat ibadah. Kau tak diselimuti sedikit pun keinginan untuk disorot.

Tak muncul sedikit pun hasrat bahwa kau bersedekah dan beribadah agar dilihat orang lain. Kenapa? Ya karena selama ini kau tak pernah dianggap. Sudah sering tak dianggap, saya pikir mudah saja melakukan hal-hal baik tanpa beban.

Menjadi orang yang tak dianggap, membuatmu bisa mancing di tepi sungai. Kamu bisa mampir ke warung pinggir jalan, tanpa gengsi. Menjadi orang yang tak dianggap itu membuatmu bisa merdeka.

Tak dianggap beda dengan dianggap. Dianggap itu ada dua, dianggap dalam hal positif dan dianggap dalam hal negatif. Dianggap positif adalah sebagai seseorang kau selalu diistimewakan. Bahkan, kau kadang menjadi risih karena terus diperhatikan.

Dianggap dalam hal negatif ya contohnya orang gila itu. Dia selalu dianggap orang dalam perspektif negatif. Orang yang dianggap dalam hal negatif itu kecenderungannya ingin dihindari. Bahkan, disuruh pergi. Orang gila masuk ke pasar swalayan, kemungkinan diusir.

Nah, sekali lagi, tidak dianggap itu tak masuk kategori keduanya. Tak dianggap itu tak masuk sebagai "dianggap dalam konteks positif" dan "dianggap dalam konteks negatif". Ketika tak dianggap, ketika itu pula kamu memiliki kemerdekaan.

Namun, menjadi tak enak juga kalau selalu tak dianggap. Kau membutuhkan kanal untuk menyuarakan aspirasimu. Tapi setiap itu pula aspirasimu tak pernah nyampai. Setiap kamu mengungkapkan sesuatu, tak pernah dinilai.

Menjadi tak dianggap alias tak ada, kadang bisa membuatmu tersiksa. Kamu butuh trotoar untuk jalan, tapi trotoar itu dihancurkan untuk jalan. Ketika kami menyuarakan pendapatmu tentanh perlunya trotoar, suaramu seperti nol volume alias diabaikan

Atau, kamu butuh lampu lalu lintas yang memadai agar orang dan juga dirimu bisa lebih selamat di perempatan, tapi keinginanmu tak pernah didengarkan. Tak pernah juga direalisasikan.

Apalagi, tak dianggap oleh orang yang kau taksir. Ah itu menyakitkan sekali. Sudah pakai parfum, rambut belah tengah, pakai deodorant, topi merah bertuliskan "Tut Wuri Handayani", sudah berdoa macam-macam, tapi tak diperhatikan. Saat nongkrong di sono tuh, tak sedikit pun kamu diperhatikan. Ah nyesek sekali rasanya. Pernah seperti itu? Ya Begitulah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun