Aku tak terlalu kenal banyak pejabat. Namun, ada satu pejabat yang terkenal karena kenakalannya. Sebut saja, namanya Diro. Dia biasa ngurusi tetek bengek urusan masyarakat. Mau nikah, mau sunatan, mau hajatan, mau apa saja, perizinan lewat dia.
Aku sendiri juga tak tahu, sebenarnya jabatannya itu apa. Tapi, kami menyebutkan pak pejabat yang terhormat. Semua orang di tempatku tahu bahwa banyak pejabat-pejabat yang bersih alias tak mau disuap. Namun, khusus untuk Pak Diro ini, dia doyan disuap dan doyan menyuap. Maka, dia dikenal sebagai pejabat yang nakal.
Tentu aku mengetahui label itu ya dari pembicaraan dengan banyak orang. Semua orang tahu bahwa Pak Diro adalah orang yang doyan duit. "Si Diro itu ngeri. Dia maunya disuap terus. Beda dengan pejabat lainnya yang bersih-bersih," kata Ali, seorang sahabatku. Ada cerita seperti itu, aku mengangguk saja. Mengangguk karena tidak paham.
Satu ketika, aku mendapatkan kesempatan berharga untuk berurusan dengan Pak Diro. Kala itu, anak pamanku mau nikahan. Aku yang masih bertenaga, diminta bantu sana-sini. Termasuk membantu perizinan. Perizinan untuk nikah. Tentu saja, aku akan bertemu dengan Pak Diro.
Sebelum bertemu dengannya, aku cari informasi ke banyak orang. Bagaimana bertemu dengannya, kapan waktu yang tepat, apakah sopan harus lewat telepon atau harus bertemu langsung? Aku cari tahu dari sana-sini. Kemudian, aku mendapatkan informasi bahwa Pak Diro paling tak suka bertemu di kantor. Dia suka kalau didatangi ke rumah. Pak Diro, kata orang-orang, suka didatangi di malam hari usai Isya. Biasanya di jam itu banyak orang antre di teras rumah Pak Diro.
Tak lupa aku juga bertemu dengan seorang yang masih kerabat jauhku yang juga pejabat di tempatku. Namanya Pak Diran. Aku ingin tahu bagaimana Pak Diro itu. Aku singgung soal suap dan lainnya. Tapi Pak Diran enggan berbicara soal itu. "Kalau kau atau siapapun urusan denganku tak perlu pakai uang gituan. Aku tak mau menerima itu. Risikonya sangat besar, Man," katanya padaku.
"Aku tak mau berbicara panjang lebar soal Diro. Kau cari tahu saja sama yang lain. Yang pasti, kalau kau atau siapapun berurusan denganku, tak usah pakai duit kayak gitu. Aku tak akan pernah kaya jadi pejabat dan itu sudah aku ketahui sejak mula. Tak perlu membayar kalau urusan denganku," kata Pak Diran.
Okelah. Aku akhirnya mendapatkan informasi yang cukup. Aku datang ke rumah Pak Diro. Di teras ada sekitar 10 orang yang antre bersamaku. Aku tak kenal dengan mereka yang antre itu. Tapi, basa-basi aku bertanya dan kuketahui bahwa mereka juga sedang mengajukan perizinan. Di ruang tamu Pak Diro ada satu orang yang sudah bertemu.
Setelah aku amati, ternyata bertemu Pak Diro itu tak lama. Semua bisa keluar masuk dalam waktu kurang dari 10 menit. Mungkin hanya basa-basi dan setelah itu selesai. Nah, aku adalah orang yang terakhir mendapatkan kesempatan untuk masuk dan ketemu Pak Diro.
Aku berusaha sopan dengan amat sangat, seperti petuah dari para informanku. Aku memohon izin untuk duduk. Aku ceritakan apa hajatku dan bagaimana mekanisme perizinan. Ternyata ini adalah pertemuan untuk permintaan lisan. Mereka yang telah meminta secara lisan itu dicatat oleh Pak Diro. Dicatat alamat lengkap dan kemudian nantinya perizinan bisa diambil di kantor, tanpa bertemu Pak Diro.
Tak ada yang janggal dengan Pak Diro menurutku. Dia baik-baik saja. Dia juga cukup simpatik dan menghormatiku dengan menyebutku "dik". Terlintas dalam pikiranku, jangan-jangan isu yang berkembang tentang Pak Diro selama ini adalah fitnah belaka. Â
Setelah selesai semuanya, akhirnya aku mengeluarkan amplop berisi uang. Aku dengan mohon maaf terlebih dahulu, memberikan uang itu. Sebagai ucapan terima kasih. Saat itu pula, mata Pak Diro memerah.
"Dik, kau anggap aku ini apa?" katanya langsung meninggi.
Aku tentu kaget.
"Orang banyak datang ke rumahku terkait perizinan dan kau memperlakukanku seperti ini," katanya agak mendatar.
Dugaanku bahwa Pak Diro adalah korban fitnah makin menguat. Sebab, dia tak mau menerima uang yang aku berikan. Aku melihat bagaimana Pak Diro sangat kecewa. Napasnya tersengal-sengal.
Kau tahu, aku hampir mengeluarkan air mata. Orang sebaik ini difitnah macam-macam. Aku menundukkan kepala tanda malu luar biasa. Kenapa aku mau menyuap dia? Kenapa aku dengan mudah terhasut oleh omongan orang?
Sesaat setelah terdiam, Pak Diro mengambil amplop dari tanganku. Dia kembali berbicara dengan penekanan luar biasa. "Orang-orang datang ke tempatku yang membawa dua amplop tebal aku tolak. Apalagi amplop setipis ini. Kau tahu? Aku biasa diberi minimal tiga amplop tebal. Itu harga minimal! Tanpa tiga amplop tebal, tak akan turun perizinan," katanya penuh penekanan dan membanting amplopku.
Aku lemas. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI