Di sebuah serambi pesantren yang sepi, seorang santri muda duduk memandangi langit malam. Ia baru saja selesai mengaji Nashaihul 'Ibad, kitab adab yang sering dibaca menjelang tidur. Tapi malam ini pikirannya tak bisa tenang. Ia resah. Bukan karena belum hafal bait-bait Imrithi, tapi karena ia melihat ketidakadilan terjadi di luar pagar pondok: tanah rakyat dirampas atas nama pembangunan, suara petani dibungkam, dan penguasa makin pongah menindas dengan dalih "kemaslahatan umum".
Di tengah renungannya, ia teringat kata-kata Kiai-nya, "Santri itu tugasnya khidmah, ngawula, bukan melawan." Tapi batinnya bertanya: apakah diam itu khidmah? Apakah patuh itu bagian dari adab, atau justru bentuk lain dari ketakutan yang dibungkus dengan kalimat-kalimat agamis?
Santri kini berada di simpang jalan. Di satu sisi, ia diajarkan untuk tunduk, taat, dan menjaga tradisi. Di sisi lain, ia hidup di tengah dunia yang porak-poranda oleh ketimpangan, kebohongan, dan kerakusan. Maka, pertanyaan yang tak bisa ia hindari adalah: apakah santri hanya boleh mengabdi, atau juga harus berani melawan?
Khidmah: Jalan Sunyi Penuh Keikhlasan
Pesantren selalu menanamkan khidmah sebagai nilai utama. Seorang santri belajar untuk tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga lembut hatinya. Ia membersihkan kamar kiai, mencuci sajadah, mengurus kebersihan masjid, dan mengasah kepekaan sosial melalui pengabdian-pengabdian kecil. Khidmah di pesantren bukan sekadar pekerjaan---ia adalah jalan menuju keberkahan ilmu.
Dalam konteks ini, santri dibentuk menjadi pribadi yang sabar, rendah hati, dan tidak gila panggung. Ia dibiasakan mendengar lebih dulu sebelum berbicara, melayani sebelum dilayani, dan bersujud sebelum menuntut. Semua ini adalah nilai-nilai luhur yang membedakan santri dari produk pendidikan modern yang kerap menjadikan ijazah sebagai tujuan utama.
Namun, dalam dunia yang kini dihuni oleh ketimpangan struktural dan wajah-wajah kekuasaan yang tak segan mencederai kemanusiaan, khidmah yang hanya dimaknai sebagai diam dan patuh menjadi pertanyaan besar. Apakah khidmah berarti tidak boleh bersuara terhadap ketidakadilan?
Perlawanan: Tafsir Baru atas Keberanian Santri
Sejarah membuktikan bahwa santri tidak melulu jinak. Perlawanan terhadap penjajah adalah bukti bagaimana pesantren tidak pernah steril dari dunia pergerakan. Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy'ari adalah deklarasi berani bahwa perlawanan bisa menjadi bagian dari keimanan. Gus Dur dengan segala kontroversinya juga adalah sosok santri yang tak segan melawan arus demi kemanusiaan.
Dalam ruang sejarah ini, kita melihat bahwa perlawanan adalah bagian dari tradisi intelektual dan spiritual pesantren. Santri tidak hanya mencetak faqih, tetapi juga mujahid---bukan dalam pengertian fisik semata, tapi juga dalam medan pikiran, tulisan, dan wacana.