Mohon tunggu...
Ilham Moehammad
Ilham Moehammad Mohon Tunggu... -

mahasiswa jurusan fisika Universitas Negeri Makassar (UNM). Menyukai menulis dan ingin salalu menulis. blog: http://www.ilham-moehammad.blogspot.com, http://www.facebook.com/ilham moehammad,http://www.twitter.com/ilhamarsyam.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bocah-bocah Pantai Losari

17 April 2012   22:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:30 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13347001511302893471

[caption id="attachment_172325" align="aligncenter" width="405" caption="Pantai Losari diserbu pengunjung (panyingkul.com)"][/caption] Ini pengalaman saya beserta tiga teman sekampus ketika menikmati bubur ayam pada minggu pagi di pinggir Pantai Losari Makassar. Bermaksud menikmati udara pagi. Kami memarkir kendaraan sejauh 500 meter dari bibir pantai, berjalan santai menyusuri lapak-lapak pisang epek. Kami duduk dan memesan bubur ayam. Sambil menunggu pesanan kami mengobrol. Sungguh, ini pengalaman pertama saya menikmati pagi di tempat ini meski sudah kurang lebih 4 tahun bermukim di Makassar. "Kenapa baru sekarang yah?". Biasanya saya datang sore hari menikmati sun set atau acara-acara seperti konser musik dan pagelelaran seni. Kami banyak membahas tentang tempat ini, meskipun tak satu diantara kami punya pengetahuan tentang seluk-beluknya.Hehehe... Ketika sedang asyik berdiskusi yang tak jelas benar tidaknya apa yang kami bahas, tiba-tiba datang tiga bocah. Salah satu memegang kecrek (kami menyebutnya rinci-rinci, sejenis alat musik yag diayungkan), yang lain datang dengan tangan kosong. Tanpa diminta mereka menyanyi. Berisik. Pembicaraan kami sedikit terhenti lalu dilanjutkan lagi, meski kini ujung pangkalnya semakin kabur. Satu dua menit bocah-bocah itu menyanyi. Saya sendiri tak tahu judul dan jenis lagunya. Sejurus kemudian mereka menjulurkan tangan. Kami berempat saling memandang. Kemudian salah satu diantara kami menyodorkan selembar uang Rp 2 ribuan. Mereka pergi. Obrolan kami lanjutkan. Belum lagi kami menemukan tema pembicaraan yang bagus, tiba-tiba meja makan kami kembali kedatangan empat bocah berbeda yang kami tak tahu asal-usulnya. Seperti bocah sebelumnya tanpa permisi mereka memainkan musik rinci-rinci. Lagu tak jelas. Mereka meminta dan kali ini kami bergeming. Tanpa diduga mereka mengeluarkan kata-kata kotor, "Sundala," katanya. Kami terdiam seperti disambar petir. "Siapa yang kau andalkan disini?" sekali lagi mereka menggertak. Bayangkan, bocah 7 tahunan menyemprot kami dengan kata-kata seperti itu. "Sial," gumanku dalam hati. "Siapa yang mengajari mereka berperilaku begini?". Kami menyodorkan uang seribuan lalu bergegas pergi. Kami duduk tak lebih 15 menit. Diteror dua kali. Makanan terasa hambar. Kesan pertama yang buruk. *** Di sebuah koran lokal saya membaca sebuah berita tentang keresahan warga ketika berada di tempat ini. Pantai losari, yang disebut ikon kota angin mamiri dan salah satu jualan visit to Makassar, kini menjelma menjadi daerah "Texas". Bermacam-macam, entah itu ulah pencopet, pengamen yang kerap meneror ataukah preman berkedok tukang parkir. Pemerintah kota yang mengandalkan polisi pamong praja sebenarnya disebar di sekitar Pantai Losari. "Jumlahnya 10-15 orang," kata Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Makassar, Alham Arifin. Namun Alham tampaknya lupa bahwa jumlah preman ditempat ini kian hari kian bertambah. Dari gelagak para bocah itu, saya menerka ada orang di belakang mereka. Apakah itu perorangan atau kelompok. Mereka menggunakan bocah sebagai umpan. Para bocah-bocah itu kemudian menyetor setoran hasil ngamen, nyopet atau neror. Jika bocah itu punya masalah di lapangan barulah bos mereka muncul bak "pahlawan". Wajah para bocah itu juga dibuat seram seperti prajurit yang baru dari medan perang. Tampang mereka sama sekali tak lucu seperti bocah pada umumnya. Bocah-bocah itu tak seharusnya ada dan bekerja di sini. Mereka harus sekolah!  Pemerintah harus berpikir apakah bocah-bocah itu akan dicetak sebagai generasi cerdas layaknya B.J Habibie, ataukah membiarkannya menjadi generasi pelanjut para preman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun