Menuju Mahasiswa Tingkat Akhir: Antara Pertemanan, Kepentingan, dan Simulasi Sosial
Kating kita sering bilang, di akhir masa kuliah kita akan mengalami momen kehilangan teman. Ada yang menjauh, ada yang tiba-tiba menghilang, ada pula yang hadir hanya ketika butuh. Awalnya, ku kira ini hanya sekadar mitos kampus. Nyatanya, semakin dekat menuju garis akhir, malah mulai terasa.
Dalam fakta sosial yang kian cair, konsep pertemanan mengalami reduksi makna yang mengkhawatirkan. Jika Aristoteles membedakan philia (persahabatan sejati) dari symbiosis (relasi kepentingan), zaman now melahirkan spesies baru: homo opportunis manusia yang memandang hubungan sosial sebagai portofolio investasi emosional.
Manusia, adalah zoon politikon makhluk sosial yang saling membutuhkan. Tapi, pertanyaannya: apakah "saling membutuhkan" itu lahir dari ketulusan, atau sekadar bentuk materialisme dan pragmatisme hubungan?
Persahabatan yang Mencair
Di tengah arus sosial yang kian cair, makna pertemanan mengalami reduksi yang mengkhawatirkan. Aristoteles dulu membedakan philia persahabatan sejati yang didasari penghargaan tulus dengan symbiosis yang berlandaskan kepentingan. Kini, zaman melahirkan homo opportunis: manusia yang memandang hubungan sosial sebagai portofolio investasi emosional.
 kapitalisasi relasi
Zygmunt Bauman menyebutnya liquid friendship pertemanan yang mudah dibentuk, namun cepat menguap. Nilai seseorang tidak lagi diukur dari siapa dia, melainkan seberapa besar manfaatnya bagi kita.
 kapitalisasi intersubjektivitas
 Jurgen Habermas  menyebut ini sebagai krisis intersubjektivitas. Komunikasi yang seharusnya mencari pengertian bersama (verstandigung) bergeser menjadi aksi strategis (strategisches handeln) demi kepentingan pribadi.