Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Senyum Foto bersama Rekan Saat Bekerja Tak Selepas Saat Sekolah atau Kuliah?

22 Juli 2021   09:00 Diperbarui: 23 Juli 2021   01:25 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto saat kuliah. - Dokpri

Ketika mengakses Facebook, saya sering sekali mendapatkan memori lama atau kenangan dari foto yang sudah saya unggah bertahun-tahun sebelumnya.

Entah setahun lalu, dua tahun lalu, atau bahkan 12 tahun lalu. Kebetulan, saya memiliki akun FB sejak 2008. Tepatnya, ketika jejaring sosial my space dan Friendster tak lagi banyak diakses. Booming Facebok yang terjadi pada era 2010an membuat banyak sekali foto yang saya unggah.

Jejak hidup saya mulai sekolah, kuliah, hingga kerja pun dengan teratur terunggah sesuai linimasa. Satu per satu teman pun bergantian mengisi foto saya. Kadang, jika pada suatu tanggal memori saya tiap tahun menampilkan foto lama, maka saya pun bisa mengamati perbedaan yang cukup mencolok. Baik dari diri saya maupun teman-teman saya.

Perbedaan yang paling utama tentu saja ukuran tubuh saya yang semakin melar. Saya yang begitu kurus saat SMA dan kuliah mengalami kenaikan berat badan yang cukup drastis saat bekerja. Alasan mendapatkan penghasilan dan kerap melampiaskan stress dalam bentuk makanan adalah alasan utama. Namun rupanya, perbedaan mencolok tidak hanya pada berat badan saya yang mengalami kenaikan.

Saya melihat tawa saya tak bisa lepas dalam foto-foto yang saya unggah ketika sudah bekerja. Bahkan, saat saya mengunggah foto liburan, rasanya raut muka saya terlihat capai menanggung beban hidup yang tiada akhir. Mata saya tampak sayu meski tetap berusaha menyunggingkan senyum pada kamera.

Padahal, ketika saya sekolah dan kuliah, saya mendapat julukan si ketawa karena suka sekali tertawa akan hal lucu. Ekspresi senyum dan tawa yang saya keluarkan begitu lebar, lepas, dan tak dibuat-buat. Menurut Duchene de Boulogne, Bapak Elektroterapi, ada tipe senyum yang memang tulus dan tak terkesan dibuat.

Senyum yang tulus adalah senyum yang lebar dan terlihat intesn atau kontinyu. Jika ada beberapa potret yang diambil dalam waktu yang bedekatan, tak banyak perubahan posisi gerak bibir, dagu, pipi, dan alis ketika sedang tersenyum.

Masih menurut Duchene, ketika suatu senyuman terlihat tulus, maka hanya ada dua otot besar bekerja yang berada di pipi yang disebut otot zigmatik dan otot yang mengelilingi mata atau disebut otot orbicularis oculi. Gerakan dua otot senyum yang bergerak ini akan menginisiasi pergerakan 26 otot wajah lain.

Berkebalikan dengan senyum tulus dan menghasilkan tawa lepas saat sekolah atau kuliah, senyum kebohongan yang saya buat ketika bekerja bisa cukup jelas terlihat perbedaanya. Perbedaan ini berdasarkan literasi dari beberapa piskolog yang telah meneliti berbagai senyum palsu atau tak tulus tersebut.

Kunci untuk membedakan antara senyum tulus dan tak tulus adalah pada bagian mata. Ya, saya bisa melihat mata saya yang tak menyimpit. Padahal, mata yang menyipit adalah salah satu tanda senyum tulus terlebih saat bisa melahirkan tawa lepas.

Mata yang teramati dari foto senyuman saya yang bekerja melahirkan bentuk kaki gagak. Berupa kerutan yang khas menyerupai kaki gagak di bagian ujung mata. Senyum ini biasanya akan keluar saat harus memasang wajah bahagia padahal di dalam hati sedang kalut, cemas, atau perasaan tidak enak lain.

Beberapa foto di tempat kerja cukup jelas memperlihatkan saat saya tersenyum memaksa semacam ini. Salah satunya adalah ketika momen foto bersama Kepala Sekolah dan para guru lainnya di lapangan upcara. Ekspresi wajah saya tampak jelas jika sedang memperlihatkan fake smile.

Foto saat bekerja. - Dokpri
Foto saat bekerja. - Dokpri

Senyum palsu itu saya buat lantaran saat kondisi cuaca yang amat panas, saya harus tetap berfoto demi pembuatan kalender sekolah. Di saat yang sama, kelas saya sedang berlangsung, murid-murid saya -- dan murid kelas lainnya -- banyak yang keluar karena pelajaran sedang berlangsung. Meski hanya beberapa menit, tentu saja mengelurkan senyum di dalam tekanan tidaklah mudah.

Senyum palsu yang tergambar dalam foto tersebut jauh berbeda saat saya melakukan wisuda bersama teman-teman kuliah atau sedang menunggu jam kosong kuliah. Tak ada beban lain yang timbul saat itu yang ada hanyalah kebahagiaan merekam momen bersama teman sembari mengisi waktu. Tak ada kerutan kaki gagak dan terlihat mata saya yang mulai menyipit.

Perbedaan senyum tulus dan senyum palsu ini memang tidak bisa dijadikan patokan langsung dalam mengidentifikasi foto lama yang kerap saya unggah. Yang pasti, dari perbedaan jenis senyum yang teramati tersebut, saya hanya bisa menyimpulkan bahwa beban hidup ketika sekolah atau kuliah tidaklah sebesar saat bekerja.

Saya hanya berfokus pada belajar dan mengumpulkan tugas. Meskipun belum mendapat uang dan penghasilan, nyatanya saya bahagia ketika bertemu rekan dan berfoto bersama.

Kondisi tersebut bekebalikan saat bekerja. Ada banyak sekali beban, entah dari pekerjaan, keluarga, atau lingkungan sekitar yang membuat senyuman dan tawa jarang sekali bisa muncul. Terlebih, kerutan dalam wajah semakin banyak sehingga fake smile kerap terekam dalam foto bersama.

Beban tersebut kadang berhasil sekali tertutupi oleh fake smile yang terlihat dalam foto. Saya punya teman yang pernah berniat untuk bunuh diri dan masih menyunggingkan fake smile ketika berfoto bersama di sebuah kafe.

Kami tidak menyadari bahwa saat berada bersama di kafe tersebut, sebenarnya ia tengah menyimpang beban pikiran yang amat berat. Satu orang rekan hanya merasa ia sedang tidak baik-baik saja ketika saat berbicara, ia menatap gelas di depan kami dengan kosong dan memainkan kunci motor.

Namun, saat akan berfoto dan kami bercanda ia tertawa. Saya tidak menyadari bahwa ia sedang menyimpan masalah yang cukup pelik terkait pernikahannya yang di ujung tanduk. Barulah, saat saya melihat foto bersama rekan -- yang semuanya pria -- di kafe tersebut, saya baru menyadari matanya yang tak menyipit dan kerutan kaki gagak yang terlihat di ujung mata. Matanya pun terlihat seperti baru saja menangis yang ia sembunyikan dengan memakai kacamata gelap hampir sepanjang pertemuan tersebut.

Untung saja, niatan bunuh diri itu tak sampai dilakukannya karena ada beberapa saudara dan temannya yang berhasil menenangkannya. Sejak saat itu, saya mulai tertarik mengamati kemungkinan senyum tulus dan senyum palsu dalam berbagai kesempatan. Dan suka atau tidak, sepanjang pandemi, saya belum menemukan senyum dalam foto yang benar-benar lepas dan tulus dalam foto yang saya unggah.

Apakah Anda menyadarinya juga?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun