(Oh iya, Pak. Terima kasih banyak ya, Pak).
(P): "Injih, Mas. Sami-sami,"
(Iya, Mas. Sama-sama).Â
Hmmm, membaca percakapan tadi, mungkin Anda sudah bisa menebak ke mana arah bahasan tulisan kali ini. Percakapan nyata ini terjadi ketika saya ingin memesan vandel untuk kenang-kenangan seorang rekan di sebuah ruko di daerah Tempel, Sleman, Jogja. Nah, jika diamati lebih dalam, ada satu poin percakapan yang memiliki perbedaan sangat mencolok.
Apalagi, kalau bukan adanya kata "inggih" dan "injih". Dalam percakapan tersebut, saya selalu menggunakan kata "inggih" sedangkan bapak penjal vandel konsisten menggunakan kata "injih". Setiap percakapan yang saya lakukan, sebenarnya sih tidak masalah dengan perbedaan tersebut.Â
Namun, ada seorang rekan yang bukan orang Jawa bertanya kepada saya. Ia begitu bingung ketika ingin mencoba berbahasa Jawa Krama dengan baik dan menemukan kata yang artinya sama namun berbeda pengucapannya.
Lantas, mana yang benar, "inggih" atau "injih"?
Sebelum saya meneruskan, saya jawab dulu. Keduanya, baik "inggih" maupun "injih" adalah benar. Keduanya merepresentasikan dari kata "ya" dalam bahasa Indonesia.Â
Keduanya juga menunjukkan sikap akomodatif dan merefleksikan sikap hidup orang Jawa yang menjaga harmoni dan prinsip rukun. Menjunjung tinggi perasaan lawan bicaranya sehingga merasa dihormati, baik tua maupun muda. Makanya, sang bapak penjual selalu menggunakan kata "injih" pada setiap kalimat yang keluar meskipun saya jauh lebih muda dari beliau.
Beliau akan memastikan saya tetap nyaman berkomunikasi dengannya begitupun saya meskipun ada sedikit perbedaan paham dari tujuan percakapan kami.Â
Saya terus mencoba menghormati beliau agar tetap menjalin komunikasi dengan saya lantaran saya sangat membutuhkan jasa beliau. Di sini, peran "inggih" dan "injih" sangat sentral.