Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Peron yang Nyaman Harus Jadi Prioritas Layanan Transportasi Kereta Api

5 Desember 2019   08:59 Diperbarui: 6 Desember 2019   23:27 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peron Stasiun Malang Kota Lama yang dibuat tinggi. - Dokumen Pribadi.

Ada yang baru dari Stasiun Malang Kota Lama (MLK) beberapa waktu terakhir. Stasiun terdekat dengan rumah saya ini rupanya telah berubah. Bukan pada fasad yang masih mempertahankan arsitektur lamanya, melainkan peron stasiun yang telah dibangun menjadi peron tinggi.

Maklum saja, Stasiun Malang Kota Lama sebelumnya dikenal sebagai stasiun berperon rendah. Dengan keadaan peron sebelumnya, kegiatan naik turun penumpang pun terasa lebih ribet. Petugas stasiun harus berjibaku menggeret tangga menuju pintu-pintu kereta yang terbuka.

Kadangkala, sebelum kereta berhenti, kondektur kereta mengumumkan terlebih dahulu agar penumpang bergeser ke kereta yang mendapatkan peron. Semisal, kereta 3 dan 4 yang seringkali berada di tengah rangkaian. 

Maka, dengan susah payah beberapa penumpang yang berada di kereta depan atau belakang menggotong barang bawaannya untuk sampai di kereta yang dimaksud.

Dengan susahnya untuk melakukan kegiatan turun di stasiun ini, parktis saya jarang sekali untuk memutuskan turun di sana. Saya lebih memilih Stasiun Malang Kotabaru yang memiliki peron cukup tinggi. 

Walau saya harus menuruni lorong untuk berpindah ke jalur lain atau ke pintu keluar. Ini bagi saya lebih aman daripada terburu-buru menuruni kereta mengingat waktu berhenti di Stasiun Malang Kota Lama yang cukup singkat.

Dulu, di awal-awal penataan transportasi kereta api yang lebih baik lagi sekitar tahun 2013, saya kerap menyaksikan insiden hampir jatuhnya penumpang di stasiun ini saat turun. 

Uniknya, pernah suatu ketika ada samba yang berasal dari Wlingi, Blitar dan membawa barang dagangan yang sangat banyak, barang bawaan tersebut hampir tertinggal di kereta. Untungnya, beberapa petugas dengan sigap langsung mengelurakan barang dagangan itu.

Sebuah pesan pun saya kirimkan kepada PT KAI yang langsung direspon baik. Mereka akan menjadikan laporan saya sebagai bahan evakuasi. Sejak saat itu, saya merasa bahwa waktu berhenti di stasiun ini lebih lama. Dan akhirnya, pihak PT KAI malah membangun peron stasiun ini dengan peron yang tinggi dan cukup panjang.

Jika di Stasiun Malang Kota Lama memiliki peron yang rendah, maka tidak demikian halnya dengan Stasiun Gubeng Surabaya. Stasiun ini memiliki peron yang pendek. Hampir setiap kereta yang saya naiki tak bisa mendapat peron di semua nomor keretanya. 

Pengumuman untuk bergeser ke kereta dengan nomor tengah pun kerap diumumkan kondektur. Dan, lagi-lagi, meski harus terpaksa dengan membawa barang bawaan yang cukup berat, para penumpang pun mengikuti instruksi tersebut.

Makanya, jika transit di Surabaya, saya lebih memilih untuk turun di Stasiun Wonokromo. Peron di stasiun ini cukup tinggi. Jikalau mendapat peron rendah, maka ada petugas yang siap untuk memberikan tangga dan tak perlu bergeser ke kereta dengan nomor tengah.

Masalah peron yang pendek dan rendah ini juga menyebabkan beberapa stasiun baru memperbolehkan penumpang untuk masuk peron beberapa saat sebelum kereta tiba. 

Saya yakin alasan ini lebih kepada menjaga keamanan penumpang. Mengingat, peron yang sempit dan pendek seperti di Stasiun Malang Kota Lama ini cukup berbahaya. Terutama, jika ada penumpang yang membawa anak kecil dan sangat berbahaya jika orang tuanya tidak mengawasi mereka dengan seksama.

Apesnya, kadang hasrat untuk buang air kecil di dalam diri kadang timbul saat menunggu kereta. Masalahnya, toilet di dalam stasiun banyak yang berada di dalam area peron. 

Untungnya, petugas stasiun cukup baik dengan memperbolehkan untuk masuk dulu ke peron stasiun dengan meninggalkan identitas diri. Setelah kegiatan buang hajat rampung, maka penumpang tersebut harus kembali ke ruang tunggu stasiun dan hanya diperbolehkan kembali masuk ke peron jika kereta akan tiba.

Peraturan ini juga berlaku di Stasiun Surabaya Gubeng Lama yang hanya memperbolehkan penumpang masuk ke peron beberapa saat sebelum kereta tiba atau jika rangkaian kereta sudah tersedia di jalurnya. Jadi, biasanya saya menunggu dulu di musala luar stasiun dan baru masuk beberapa saat sebelum pintu peron dibuka.

Selain Stasiun Wonokromo, peron favorit saya adalah Stasiun Lempuyangan. Stasiun yang saya anggap sebagai saudara jauhnya Stasiun Wonokromo karena sama-sama melayani penumpang kereta kelas ekonomi. 

Panjangnya peron stasiun ini membuat saya tak memerlukan banyak energi untuk menuju pintu keluar stasiun dan menunggu bus TransJogja di haltenya atau berjalan sebentar ke arah flyover untuk memesan ojek online.

Peron Stasiun Lempuyangan yang tinggi dan panjang memudahkan penumpang untuk naik dan turun kereta. - Dokumen pribadi
Peron Stasiun Lempuyangan yang tinggi dan panjang memudahkan penumpang untuk naik dan turun kereta. - Dokumen pribadi

Berbeda halnya dengan Stasiun Yogyakarta Tugu yang memiliki banyak sekali peron sehingga kereta yang saya naiki kerap mendapat jalur tengah. Walau peronnya tinggi, saya harus masuk dan keluar kereta lain yang sedang berhenti. 

Dan, dengan barang bawaan yang cukup banyak, meski dengan susah payah kegiatan ini harus dilakukan untuk mencapai pintu keluar. Mengingat, Stasiun Yogyakarta Tugu tidak memiliki terowongan antar peron seperti Stasiun Malang Kota Baru. 

Stasiun ini juga memiliki jadwal kerberangkatan kereta yang cukup padat sehingga ada saja kereta berhenti dan harus dilewati penumpang kereta lain yang baru saja tiba.

Masalah peron ini memang terlihat sepele. Namun, sebagai bentuk layanan terhadap transportasi kereta api, masalah peron ini harus menjadi prioritas selain aspek-aspek lain. Saya hanya tak bisa membayangkan jika membawa penumpang disabilitas dengan peron tinggi dan pendek harus bersusah payah menuju kereta dengan nomor tengah.

 Atau, melewati kereta yang sedang berhenti sambil membawa barang bawaan yang banyak. Terlebih, beberapa waktu lalu terjadi kejadian tidak menyenangkan yang dialami oleh seorang penyandang disabilitas sata naik KRL di Stasiun Cikini. 

Ia hampir terperosok peron stasiun dan petugas stasiun yang kurang tanggap terhadap kejadian itu. Kejadian seperti ini semakin membuktikan bahwa peron stasiun adalah tempat vital dan harus mendapatkan perhatian serius.

Semoga dengan pembangunan dan perbaikan yang dilakukan oleh PT KAI dapat memprioritaskan masalah peron ini. Jangan sampai kejadian yang kurang menyenangkan dialami penumpang saat menggunakan peron. 

Tapi saya yakin, PT KAI sudah mulai memperhatikannya. Pembangunan peron di Stasiun Malang Kota Lama adalah buktinya. Saya semakin yakin untuk turun dan naik dari stasiun ini lagi karena lebih dekat dengan rumah saya dibandingkan Stasiun Malang Kota Baru.

Sumber: (1) (2)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun