Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Ada Sepatu Tak Bertuan di Ikon Alun-alun Sukoharjo

17 Juli 2019   10:18 Diperbarui: 20 Juli 2019   19:35 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alun-alun Satya Negara Sukoharjo. - Dokumentasi pribadi

Selepas turun dari Kereta Api Batara Kresna di Stasiun Sukoharjo, saya dan rekan memutuskan untuk mencari makan. Melihat Google Maps, ternyata letak stasiun ini tidak jauh dari Alun-Alun Sukoharjo yang bernama Alun-Alun Satya Negara. Saya menduga, jika kami sejenak melepas penat di sana, kami bisa sekalian mencari makan. Seperti yang kami lakukan di alun-alun kota lain.

Keluar dari stasiun, saya dikejutkan dengan angkutan kota dengan kondisi yang tidak terlalu baik. Saya tidak tahu angkutan tersebut jurusan apa dan akan mengantarkan penumpang ke mana. Yang jelas, angkutan itu berjejer begitu saja di ujung jalan keluar stasiun menuju jalan raya.

Angkutan kota di dekat Stasiun Sukoharjo. - Dokumentasi pribadi
Angkutan kota di dekat Stasiun Sukoharjo. - Dokumentasi pribadi
Baru beberapa meter kami berjalan, tali sandal gunung rekan saya tiba-tiba saja lepas. Tentu, ia kesulitan berjalan dan sangat riskan untuk melanjutkan perjalanan. Untunglah, tak jauh dari situ, saya menemukan seorang penjahit sandal dan sepatu yang membuka lapaknya di dekat sebuah toko.

Tak perlu waktu lama, kami pun segera menyeberang dengan kondisi teman saya tanpa alas kaki. Cukup menyiksa juga berjalan tanpa alas kaki dalam cuaca panas seperti itu. Tapi bagaimana lagi. Kami tidak menemukan satu pun toko yang buka untuk mencari sandal jepit sebagai cadangan.

Semenit dua menit penjahit sandal tersebut menjahit sandal gunung rekan saya. Saat membayar, saya kaget karena harganya hanya 2000 rupiah. Sungguh, saya tidak bisa membayangkan berapa ya kira-kira penghasilan penjahit sandal itu. Apalagi, saya lihat jalan di sekitar situ tidak terlalu ramai meski dekat dengan pasar. 

Ah sudahlah, rezeki urusan Tuhan. Rekan saya pun dengan senang hati menambah ongkos jahitan sebesar 5.000 rupiah. Harga yang sama jika jasa ini dilakukan di Kota Malang.


Penjahit sandal di dekat Stasiun Sukoharjo. - Dokumentasi pribadi
Penjahit sandal di dekat Stasiun Sukoharjo. - Dokumentasi pribadi
Kami pun berjalan hingga menemukan sebuah Tugu Adipura yang saya yakini pernah diraih kota ini lantaran konsistensinya dalam upaya menjaga dan menata kebersihan kota. Pasti, di alun-alunnya nanti, saya akan mendapatkan fasilitas umum yang bersih dan terawat sesuai ganjaran piala kebersihan yang telah diraihnya.

Tugu Adipura Kabupaten Sukoharjo. - Dokumentasi pribadi
Tugu Adipura Kabupaten Sukoharjo. - Dokumentasi pribadi
Apalagi, di dekat perempatan itu, saya melihat sebuah gedung megah yang sepertinya baru diresmikan. Gedung tersebut bernama Gedung Graha Wijaya. Berdiri kokoh sekitar 3 lantai, gedung ini ternyata milik Pemkab Sukoharjo. Di dalam gedung tersebut, tertera tulisan Pusat Layanan usaha Terpadu Koperasi dan UMKM. Saya semakin semangat untuk sekadar menjelajahi kota ini.

Alun-alun Satya Negara Sukoharjo. - Dokumentasi pribadi
Alun-alun Satya Negara Sukoharjo. - Dokumentasi pribadi
Setapak demi setapak jalan pun kami jalani. Gedung megah tadi pun berlalu dan kini muncul di hadapan kami sebuah lapangan besar yang penuh dengan mainan pasar malam. Mainan yang pasti hanya bekerja di waktu malam. Lapangan itu dari kejauhan tampak gersang.

Sempat tak percaya, saya sampai mengucek mata dan memastikan di manakah letak Alun-Alun Sukoharjo itu. Kata penjahit sandal tadi, alun-alun ini tidak jauh kok dari perempatan dan gedung besar yang baru dibangun. Saya juga mengecek posisi saya dan memang benar saya berada di alun-alun itu. Tapi, yang ada di depan saya kok pasar malam?

Lho kok jadi Pasar Malam? - Dokumentasi pribadi
Lho kok jadi Pasar Malam? - Dokumentasi pribadi
Saya sempat berdiskusi dengan rekan saya. Masak sih, alun-alun dijadikan pasar malam? Iya sih, saya tahu Alun-Alun Utara di Kota Jogja juga dijadikan pasar malam saat perayaan Sekaten. Tapi baru kali ini lho saya menemukan alun-alun yang dekat dengan gedung pemerintahan dijadikan pasar malam.

Dan yang membuat saya kaget, alun-alun tersebut tampak kumuh. Sampah berceceran di mana-mana. Bau pesing sangat menyengat bahkan untuk sekadar duduk-duduk pun rasanya saya enggan melakukannya. Alun-alun di kota lain pun bisa jadi juga kotor tapi masih ada tempat untuk sejenak menikmati suasana. Namun, saya tak mendapatkan fasilitas itu dengan baik di sini.

Sampah yang berceceran. - Dokpri
Sampah yang berceceran. - Dokpri
Berhubung tidak ada yang bisa kami nikmati, kami pun memutuskan untuk berkeliling saja sambil mencari warung atau rumah makan yang ada. Sesekali, saya melihat peta wisata Kabupaten Sukoharjo yang sudah tampak rusak dan penuh dengan coretan.

Di dalam peta tersebut, sebenarnya termuat cukup banyak tempat wisata, baik alam maupun sejarah budaya.  Ada makam Ki Ageng Sutawijaya dan tentunya bekas keraton Kartasura di Kecamatan Kartasura. 

Oh ya, saya dulu pernah berpikir kalau Kartasura itu kota sendiri. Ternyata, daerah ini masih masuk wilayah Kabupaten Sukoharjo meski keramaiannya cukup siginfikan. Papan tersebut terlihat miris lantaran sepetinya tidak pernah mendapat perhatian. Padahal, potensi wisata di daerah ini sangatlah besar.

Papan informaso wisata Kabupaten Sukoharjo. - Dokumentasi pribadi
Papan informaso wisata Kabupaten Sukoharjo. - Dokumentasi pribadi
Semenit dua menit tak jua kami temukan pedagang makanan barang satupun. Kalaupun ada warung, sepertinya baru buka sore atau malam hari. Di dekat alun-alun itu, malah ramai dengan anak-anak muda yang nongkrong di sebuah rental PS dan toko seluler.

Tak jauh dari papan infromasi tadi, akhirnya kami menemukan tulisan ikon alun-alun ini. Berwarna merah dan berlambang Kabupaten Sukoharjo, satu dua jepretan pun kami ambil. Kami sengaja tidak memperlihatkan kondisi alun-alun agar kenangan indahlah yang bisa kami bagi di Instagram. Memang, agar tampilan foto lebih cantik layaknya di alun-alun lain, kami seharusnya mengambilnya dari sisi tengah alun-alun yang hijau dengan rumput. Namun, lantaran sisi tersebut nampak gersang dan penuh dengan mainan pasar malam, ya apa boleh buat.

Selepas menambil foto, kami semakin lapar dan jam keberangkatan kereta api Batara Kresna telah kian dekat. Akhirnya, saya memutuskan kembali lagi ke stasiun karena di alun-alun ini memang tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ya, hanya satu dua orang saja yang berlalu lalang.

Kami lapar pemirsah heheheh. - Dokumentasi pribadi
Kami lapar pemirsah heheheh. - Dokumentasi pribadi
Saat kami berjalan menuju stasiun, kami melewati gedung megah yang baru dibangun tadi. Ternyata, di sana terdapat sebuah kafe dan puajsera di lantai atas. Kami tertawa terbahak-bahak. Tahu gitu kami langsung saja datang ke gedung itu. Yah apa boleh buat. Informasi yang minim membuat kami tetap berpikir bahwa alun-alun adalah tempat terbaik untuk menikmati sebuah kota.

Ternyata di Gedung UMKM tadi ada kafe dan pujaseranya. - Dokumentasi pribadi
Ternyata di Gedung UMKM tadi ada kafe dan pujaseranya. - Dokumentasi pribadi
Saya masih sependapat dengan Jo Santoso dalam Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa (2008) yang menyatakan bahwa alun-alun sebagai ruang publik terbuka di mana rakyat saling bertemu. 

Alun-alun sebagai tempat bagi warga kota untuk melangsungkan kehidupannya. Bagi para tamu seperti saya, alun-alun menjadi etalase sebuah kota untuk dijadikan patokan apakah kota itu layak dikunjungi atau tidak. Meski, apa yang saya harapkan tidak bisa saya dapatkan di Alun-alun Sukoharjo ini.

Kami pun akhirnya menemukan warung kecil di dekat stasiun dengan menu nasi kucing seharga 1.500 rupiah. Tak apalah untuk sekadar mengganjal perut dan menunggu kedatangan kereta. 

Obrolan dengan warga lokal pun kami buka dan ternyata memang alun-alun tersebut sering digunakan untuk pasar malam. Di tengah obrolan itu, rekan saya tiba-tiba tertawa. Saat saya bertanya apa yang terjadi, ternyata ia menertawai hasil jepretannya.

Sepasang sepatu terletak begitu saja di atas ikon alun-alun yang saya potret tadi. Oh baiklah. Ini kenangan yang tak terlupakan. Lantas, sepatu milik siapa itu?

Lah, ini sepatu siapa? - Dokumentasi pribadi
Lah, ini sepatu siapa? - Dokumentasi pribadi
Sekian, salam.

PS: Bisa jadi apa yang saya alami karena saya datang tepat tengah hari. Jadi, semoga pada kunjungan mendatang saya bisa lebih menikmati alun-alun ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun