Selepas turun dari Kereta Api Batara Kresna di Stasiun Sukoharjo, saya dan rekan memutuskan untuk mencari makan. Melihat Google Maps, ternyata letak stasiun ini tidak jauh dari Alun-Alun Sukoharjo yang bernama Alun-Alun Satya Negara. Saya menduga, jika kami sejenak melepas penat di sana, kami bisa sekalian mencari makan. Seperti yang kami lakukan di alun-alun kota lain.
Keluar dari stasiun, saya dikejutkan dengan angkutan kota dengan kondisi yang tidak terlalu baik. Saya tidak tahu angkutan tersebut jurusan apa dan akan mengantarkan penumpang ke mana. Yang jelas, angkutan itu berjejer begitu saja di ujung jalan keluar stasiun menuju jalan raya.
Tak perlu waktu lama, kami pun segera menyeberang dengan kondisi teman saya tanpa alas kaki. Cukup menyiksa juga berjalan tanpa alas kaki dalam cuaca panas seperti itu. Tapi bagaimana lagi. Kami tidak menemukan satu pun toko yang buka untuk mencari sandal jepit sebagai cadangan.
Semenit dua menit penjahit sandal tersebut menjahit sandal gunung rekan saya. Saat membayar, saya kaget karena harganya hanya 2000 rupiah. Sungguh, saya tidak bisa membayangkan berapa ya kira-kira penghasilan penjahit sandal itu. Apalagi, saya lihat jalan di sekitar situ tidak terlalu ramai meski dekat dengan pasar.Â
Ah sudahlah, rezeki urusan Tuhan. Rekan saya pun dengan senang hati menambah ongkos jahitan sebesar 5.000 rupiah. Harga yang sama jika jasa ini dilakukan di Kota Malang.
Sempat tak percaya, saya sampai mengucek mata dan memastikan di manakah letak Alun-Alun Sukoharjo itu. Kata penjahit sandal tadi, alun-alun ini tidak jauh kok dari perempatan dan gedung besar yang baru dibangun. Saya juga mengecek posisi saya dan memang benar saya berada di alun-alun itu. Tapi, yang ada di depan saya kok pasar malam?
Dan yang membuat saya kaget, alun-alun tersebut tampak kumuh. Sampah berceceran di mana-mana. Bau pesing sangat menyengat bahkan untuk sekadar duduk-duduk pun rasanya saya enggan melakukannya. Alun-alun di kota lain pun bisa jadi juga kotor tapi masih ada tempat untuk sejenak menikmati suasana. Namun, saya tak mendapatkan fasilitas itu dengan baik di sini.
Di dalam peta tersebut, sebenarnya termuat cukup banyak tempat wisata, baik alam maupun sejarah budaya. Â Ada makam Ki Ageng Sutawijaya dan tentunya bekas keraton Kartasura di Kecamatan Kartasura.Â
Oh ya, saya dulu pernah berpikir kalau Kartasura itu kota sendiri. Ternyata, daerah ini masih masuk wilayah Kabupaten Sukoharjo meski keramaiannya cukup siginfikan. Papan tersebut terlihat miris lantaran sepetinya tidak pernah mendapat perhatian. Padahal, potensi wisata di daerah ini sangatlah besar.
Tak jauh dari papan infromasi tadi, akhirnya kami menemukan tulisan ikon alun-alun ini. Berwarna merah dan berlambang Kabupaten Sukoharjo, satu dua jepretan pun kami ambil. Kami sengaja tidak memperlihatkan kondisi alun-alun agar kenangan indahlah yang bisa kami bagi di Instagram. Memang, agar tampilan foto lebih cantik layaknya di alun-alun lain, kami seharusnya mengambilnya dari sisi tengah alun-alun yang hijau dengan rumput. Namun, lantaran sisi tersebut nampak gersang dan penuh dengan mainan pasar malam, ya apa boleh buat.
Selepas menambil foto, kami semakin lapar dan jam keberangkatan kereta api Batara Kresna telah kian dekat. Akhirnya, saya memutuskan kembali lagi ke stasiun karena di alun-alun ini memang tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ya, hanya satu dua orang saja yang berlalu lalang.
Alun-alun sebagai tempat bagi warga kota untuk melangsungkan kehidupannya. Bagi para tamu seperti saya, alun-alun menjadi etalase sebuah kota untuk dijadikan patokan apakah kota itu layak dikunjungi atau tidak. Meski, apa yang saya harapkan tidak bisa saya dapatkan di Alun-alun Sukoharjo ini.
Kami pun akhirnya menemukan warung kecil di dekat stasiun dengan menu nasi kucing seharga 1.500 rupiah. Tak apalah untuk sekadar mengganjal perut dan menunggu kedatangan kereta.Â
Obrolan dengan warga lokal pun kami buka dan ternyata memang alun-alun tersebut sering digunakan untuk pasar malam. Di tengah obrolan itu, rekan saya tiba-tiba tertawa. Saat saya bertanya apa yang terjadi, ternyata ia menertawai hasil jepretannya.
Sepasang sepatu terletak begitu saja di atas ikon alun-alun yang saya potret tadi. Oh baiklah. Ini kenangan yang tak terlupakan. Lantas, sepatu milik siapa itu?
PS: Bisa jadi apa yang saya alami karena saya datang tepat tengah hari. Jadi, semoga pada kunjungan mendatang saya bisa lebih menikmati alun-alun ini.Â