Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Catatan Guru Milenial, Media Sosial, dan Citra Sang Guru

25 November 2018   03:00 Diperbarui: 25 November 2018   09:53 1169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagai guru milenial, tantangan yang menghadapinya kian banyak. - Dokumen Pribadi.

Semakin hari, semakin banyak guru senior yang telah purna tugas.

Di sekolah-sekolah, baik negeri maupu swasta, guru-guru tersebut harus ada penggantinya. Sang pengganti bisa merupakan guru yang telah menempuh Pendidikan Profesi Guru (PPG) maupun bukan. Para pengganti tersebut tentu para guru muda yang rata-rata masih berusia 20-an awal. Penuh energi, kreativitas, dan tentunya masih memiliki jalan panjang dalam mendidik siswa-siswinya.

Guru-guru muda tersebut rata-rata mendapat sematan "melek IT" dari guru senior. Mereka paling tidak bisa dengan baik mengolah perangkat lunak Microsoft Office. Baik hanya sekedar untuk melakukan pengetikan dan pencetakan dokumen, mengolah nilai siswa dalam aplikasi rapor, dan sederet kegiatan yang menurut guru senior adalah kegiatan yang sangat sulit untuk mereka lakukan.

Di dalam pembelajaran, guru-guru muda, atau bisa disebut guru milenial ini juga memiliki aneka ide yang mungkin tak dimiliki oleh guru senior. Mereka memiliki banyak cara agar siswa di kelasnya betah belajar dengan maksimal. Berbagai permainan, cara mengajar, hingga model pembelajaran pun bisa dimiliki oleh guru milenial.

Salah satu contohnya adalah ketika saya meminta siswa-siswi untuk mencari kosa kata baku dalam KBBI. Beberapa dari mereka saya minta untuk mencarinya dalam notebook dan gawai yang saya punya. Namun, kelas sebelah yang masih diampu oleh guru senior cukup gaduh karena harus berebut buku KBBI di perpustakaan dengan jumlah terbatas.

Kala saya menengok ke sana dan berbincang dengan Bu Guru yang sudah senior, saya menyarankan untuk menggunakan KBBI daring saja. Dan beliau pun cukup antusias dan berujar," Kok gak kepikiran ya?"

Satu contoh tersebut memang menjadikan guru milenial selangkah lebih maju dibandingkan guru senior. Meski begitu, ada banyak catatan mengenai keberadaan guru milenial di sekolah-sekolah.

Ada kalanya, guru milenial memiliki hubungan cukup dekat dengan murid. Tak seperti guru senior yang masih cukup menjaga jarak dengan murid, banyak di antara mereka yang tak segan berbincang banyak hingga bersenda gurau dengan muridnya terutama di jam-jam sekolah.

Sebenarnya, tak salah mereka bersikap dekat dan tidak terlalu kaku kepada sang murid. Tapi, jika kedekatan tersebut berlebihan, maka akan menjadi bumerang bagi sang guru. Murid-muridnya tak akan menaruh rasa hormat lagi.

Citranya sebagai guru akan berubah menjadi "teman". Kala sudah menjadi teman, apapun sah-sah saja dilakukan, termasuk mengolok-ngolok sang guru yang seharusnya tak boleh terjadi.

Tak hanya itu, dengan kedekatan tersebut, mereka akan sulit mengontrol muridnya ketika berada di dalam kelas. Murid-muridnya akan banyak yang tak takut terhadap aturan yang seharusnya terjadi di dalam kelas.

Dan malangnya, ketika tak satupun murid bisa tertib, maka sang guru akan mencari cara agar muridnya bisa tenang kembali. Termasuk memukul meja, papan tulis, bahkan memukul murid yang sudah dianggap keterlaluan. Teriakan keras untuk diam pun kerap terdengar. Meski, jika diruntut lebih lanjut tentu semuanya ada sebab dan akibatnya.

Tak hanya dekat di dunia nyata, seringkali kedekatan antara guru milenial dengan para muridnya berlanjut ke dunia maya. Walau tak menjurus kepada hal-hal yang tidak diinginkan, kedekatan tersebut juga bisa menjadi masalah tersendiri di dalam kegiatan pembelajaran.

Bukan rahasia umum, murid-murid sekarang telah memiliki akun jejaring sosial. Dan mereka banyak yang menjadi teman atau mengikuti sang guru. Segala aktivitas sang guru, baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah akan menjadi konsumsi publik. Murid-murid akan tahu tindak-tanduk sang guru.

Mereka akan tahu kapan sang guru memili jadwal nge-mall, touring ke luar kota, pergi ke salon, nongkrong di kafe, hingga sederet aktivitas lainnya. Omongan, gunjingan, dan segala hal lain yang mengikuti akan muncul.

Kala dulu saat saya sekolah sang guru benar-benar menjadi sosok misterius dan sangat disegani ketika di kelas, sosok itu perlahan kini milai menyusut. Bergeser menjadi seperti publik figur yang privasinya tak bisa terlindungi lagi.

Aktivitas guru milenial di luar sekolah sebaiknya tidak diketahui dan menjadi konsumsi siswa. - Dokumen pribadi
Aktivitas guru milenial di luar sekolah sebaiknya tidak diketahui dan menjadi konsumsi siswa. - Dokumen pribadi
Itulah alasan saya kenapa langsung memblokir akun-akun jejaring sosial milik murid-murid saya dan mengunci akun Instagram serta Twitter saya. Sembari, saya membuat akun media sosial abal-abal untuk memantau aktivitas mereka yang saya anggap mencurigakan dan harus diketahui oleh orang tuanya.

Kunci itu baru saya buka setelah resign dan tak lagi mengajar. Saya sadar, banyak sekali foto-foto pribadi yang menurut saya "tak pantas" jika diketahui oleh murid-murid saya. Terdengar munafik memang, tapi saya harus melakukannya daripada citra dan kredibilitas saya dipertaruhkan. Apalagi, kalau pada suatu ketika ada murid saya bisa berceloteh, "Wah, Pak Ikrom habis bertengkar dengan pacarnya, ya!"

Sungguh, sesuatu yang sangat tidak pantas disandang sebagai seorang guru. Bagaimanapun, hingga sekarang sosok guru masih dianggap sebagai saint, sosok suci yang jauh dari dosa dan sifat buruk. Meski, namanya saja manusia ya ada saja kelemahannya.

Beberapa kali, sang Kepala Sekolah dalam rapat guru kerap mengingatkan bagi para guru, terutama guru milenial agar tetap menjaga privasi, tata kelakuan, dan media sosial yang dimilikinya dari jangkauan anak-anak. Meski, bukan berarti tak boleh ada kedekatan antara guru dan murid. Yang penting, kedekatan tersebut masih bersifat wajar.

Selain mengenai kedekatan antara guru dan murid, satu hal lagi yang perlu menjadi catatan guru milenial adalah masalah kedisipinan dan cara mengajar. Sebagai milenial, tentu bukan hal yang asing lagi jika mereka tidak terlalu tahan dengan aturan yang mengikat. Saya pun juga mengalaminya.

Jadwal mengajar yang padat dan aneka tugas yang mengiringinya sempat membuat stres. Ditambah, jika jadwal supervisi dari Kepala Sekolah yang akan masuk ke kelas dan melihat saya mengajar telah datang, rasanya hati ingin segera merasakan liburan semester.

Banyak guru milenial yang akhirnya tak bisa fokus dengan tuntutan sebanyak itu. Terlebih, jika ada persepsi dalam diri mereka dengan gaji kecil yang mereka dapat. Semangat untuk memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya sering kali sirna. Keluhan ini sempat diungkapkan oleh salah satu guru senior ketika ia mendapati partner kelasnya asal-asalan membuat kisi-kisi dan soal Penilaian Tengah Semester (PTS).

Sebagai guru yang baik, ia harus mengerti materi dan kemampuan siswa-siswinya yang bisa dilihat dari Ulangan Harian maupun tugas-tugas harian para murid. Namun, dengan alasan efisiensi waktu, ia tak mau lebih keras lagi berusaha dan membuat soal dengan tingkat kesulitan cukup tinggi atau berbeda dengan materi yang diajarkan. Tentu, potret ini membuat miris.

Belum lagi, ada juga guru milenial yang benar-benar berorientasi pada layar LCD dalam kegiatan pembelajaran. Hampir setiap hari, dari jam pertama hingga jam terakhir, layar LCD selalu menyala dan semua muridnya harus menatap layar tersebut.

Yang membuat semakin mengelus dada, ada juga guru yang melakukan penilaian harian dari layar LCD. Mereka tak mau barang sebentar memfotokopi soal ulangan dan membagikannya kepada muridnya.

Murid-muridnya harus menatap layar LCD untuk mengerjakan soal demi soal. Jika sudah begini, tentu harus ada pemberitahuan kepada guru tersebut. Belum lagi, jika ada pula guru yang memutar video yang tak ada hubungannya dengan pelajaran dengan murid-muridnya. Fasilitas layar LCD yang ada di semua kelas akan membuat masalah baru.

Saya sendiri dulu memiliki prinsip tak menggunakan layar LCD jika tidak benar-benar dibutuhkan. Terlebih, untuk pelajaran matematika yang harus menggunakan papan tulis. Dengan tulisan yang jelas dan suara yang lantang serta tempo yang pas. Kecuali, jika ada materi yang harus melalui LCD, semisal materi bangun ruang atau mengamati cerita rakyat.

Sebagai guru milenial dan jam terbang yang minim, tentu semangat untuk belajar dan memperbaiki diri haruslah terus terpatri. Jangan menutup telinga, apalagi jika ada masukan dari guru senior.

Guru milenial harus terus belajar agar asahannya semakin tajam. - Dokumen pribadi
Guru milenial harus terus belajar agar asahannya semakin tajam. - Dokumen pribadi
Di kala saya mengikuti perlombaan presentasi video pembelajaran di Dinas Pendidikan, ternyata masih banyak kelemahan saya dalam mengajar. Kelemahan tersebut banyak yang baru saya ketahui setelah adanya umpan balik dari para pengawas maupun orang-orang Diknas.

Dari sini saya semakin sadar, sebagai guru, ia harus terus mengasah pisaunya yang tajam agar asahannya kepada muridnya bisa semakin tajam. Jika guru tak mau belajar lagi, rasanya ia tak pantas disebut sebagai seorang guru.

Selamat Hari Guru, pundak pendidikian sekarang banyak tersemat pada guru milenial. Semangat baru dalam mendidik putra-putri bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun