Mohon tunggu...
Khairurrizqo .
Khairurrizqo . Mohon Tunggu... -

Biasa disapa Iko. Alumni Ilmu Politik FISIP Unsoed Purwokerto. Sedang melanjutkan studi di Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia. Aktif juga sebagai peneliti politik di Nakami Instiute.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negeri, Tanpa Negara

1 November 2011   00:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:13 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam bukunya State-Building: Governance and World Order in the 21st Century, Francis Fukuyama menganalogikan dengan gamblang mengapa negara perlu dan harus hadir dalam kehidupan sehari-hari warganya. "Di Amerika" kata Fukuyama, "Banyak pengguna jalan yang mengeluhkan ketatnya negara mengatur lalu lintas di sana". "Mereka yang mengeluh itu" jelas Fukuyama, "harus pergi ke Jakarta untuk menemukan fakta bahwa longgarnya peraturan lalu lintas justru menimbulkan situasi yang lebih mengerikan"

........................

Kita adalah bangsa yang bergegas dalam menjalankan semua order Konsensus Washington untuk mengurangi peran negara dalam kehidupan masyarakat : Pasar bebas, hak individu, swastanisasi, penghapusan subsidi, dan deregulasi. Namun, kita termasuk bangsa yang gagal dalam meningkatkan kekuatan negara dalam mengatur hak dan kewajiban hidup masyarakat. Padahal, dalam pandangan Fukuyama, Kesejahteraan, tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang kuat dan mampu menjalankan perannya secara efektif. Begitu pula sebaliknya, negara yang kuat tidak akan bertahan lama jika tidak mampu menciptakan kesejahteraan warganya. Pentingnya penguatan negara ini terutama sangat signifikan dalam konteks kebijakan sosial. Negara adalah institusi paling absah yang memiliki kewenangan menarik pajak dari rakyat, dan karenanya paling berkewajiban menyediakan pelayanan sosial dasar bagi warganya. Sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, negara memiliki kewajiban (obligation) dalam memenuhi (to fulfill), melindungi (to protect) dan menghargai (to respect) hak-hak dasar, ekonomi dan budaya warganya. Mandat negara untuk melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat daripada masyarakat atau dunia usaha. Berdasarkan konvensi internasional, mandat negara dalam pelayanan sosial bersifat "wajib". Sedangkan, mandat masyarakat dan dunia usaha dalam pelayanan sosial bersifat "tanggungjawab" (responsibility).

........................

Bersama kita menyaksikan suara-suara perubahan yang nyaring bergema pasca reformasi, perlahan-perlahan senyap, berganti menjadi suara kompromi. Negara lah yang menang. Alih-alih menuntut Negara untuk melindungi, Kita justru dipaksa untuk menyesuaikan. Maka dengan 'ikhlas' kita bisa menerima kelakuan 'oknum' Polisi yang memperkaya diri, Rakyat menahan lapar untuk harga Sembako yang naik sebelum waktunya, serta hukum yang gagah di hadapan rakyat kecil tapi lunglai di hadapan rakyat besar. Indonesia punya cara sendiri dalam membentuk 'oknum' dan -seperti biasa- di luar kewajaran. Institusi pelayan publik membentuk dengan sistematis oknum-oknum yang menghisap pendapatan negara, berbuat amoral dengan seragam negara, dan tentu saja menipu dengan mengatas-namakan negara. Dari 'oknum-oknum' itulah negara kehilangan wibawanya di mata rakyat kebanyakan, kehilangan pajaknya yang bocor, dan tergerus kedaulatannya. Oknum -dalam konteks permainan- adalah 'pemain', pion dan atau eksekutor. Sesungguhnya, mereka hanya yang bernasib 'touch-able'. Atasan sang oknum, yang berada di atas sistem bobrok yang 'integrated', nampaknya cukup dekat dengan kekuasaan, dan untungnya, ia 'untouch-able'.


........................

Saya menyebutnya Negeri, Tanpa "Negara". Suatu keadaan dimana Negara kehilangan (dan juga tentu saja 'menghilangkan') perannya dalam menangani kesejahteraan rakyat. Hampir di semua sektor publik kita kehilangan Negara; Pendidikan kita sudah (dan akan terus) dilego dalih privatisasi.  Emas, Batubara, Minyak Bumi, Gas, dan kekayaan negara lainnya sudah hampir 'sold out' terjual untuk pihak asing, dengan pembagian keuntungan yang sangat tidak rasional. Situasi demikian oleh Teryl Lyn Kaid disebutnya sebagai Paradox of Plenty (Paradoks Keberlimpahan); Negeri berlimpah kekayaan, tapi rakyatnya miskin. Kita pemilik sah Republik ini? Pikir lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun