"Yang paling seru itu justru hidup sebagai perintis. Nggak ada yang nunjukin arah. Nggak ada yang ngejamin hasil. Justru itu letak asiknya."
Ryu Kintaro, 9 tahun
Kalimat itu terucap dari mulut seorang bocah yang bahkan suaranya masih terdengar lebih nyaring ketimbang serius. Tapi ironisnya, justru kalimat itu yang memicu gelombang sindiran dari netizen Indonesia. Komentar-komentar seperti "Coba kalau dia lahir miskin!" atau "Ya iyalah, modalnya banyak, anak siapa dulu"Â berseliweran tanpa jeda, seolah kemampuan anak-anak untuk bermimpi adalah sebuah bentuk penghinaan bagi mereka yang dewasa tapi belum kemana-mana
Apakah yang membuat banyak orang begitu defensif terhadap semangat anak-anak muda yang ingin melangkah lebih awal? Apakah ini hanya perkara privilege? Atau ada yang lebih dalam dari sekadar ketimpangan modal dan akses?
Privilege Itu Nyata. Tapi Rasa Takut Juga.
Kita tak bisa menafikan bahwa privilege itu nyata. Akses pendidikan, kestabilan ekonomi keluarga, bahkan jenis kelamin dan warna kulit bisa menjadi tiket masuk yang lebih cepat dalam perjalanan hidup. Namun, menjadikan privilege sebagai satu-satunya narasi atas keberhasilan seseorang adalah bentuk penyederhanaan yang malas.
Mengkritik struktur sosial yang timpang itu penting. Tapi ketika kritik itu berubah menjadi sinisme terhadap individu yang berusaha, di situlah letak kegagalan refleksi. Kita sering lupa bahwa meskipun seseorang lahir dengan privilege, keberanian untuk melangkah tetap bukan sesuatu yang diwariskan. Ia dipilih. Dan setiap langkah tetap butuh nyali, tak peduli berapa modal awal yang dimiliki.
Di sinilah letak paradoksnya: yang bikin sebagian orang panas bukan karena seseorang punya privilege, tapi karena dia berani melangkah, sementara kita masih terlalu takut untuk sekadar berdiri.
Nyinyir sebagai Bentuk Pertahanan Diri
Fenomena hate comment atau nyinyiran di media sosial bukanlah hal baru. Tapi di balik setiap sindiran, ada sesuatu yang lebih dalam: rasa tertinggal.
Kita hidup dalam masyarakat yang sangat kompetitif, di mana usia 25 dianggap sudah harus sukses, dan usia 30 tanpa rumah adalah kegagalan. Lalu muncul seorang anak 9 tahun bicara tentang hidup sebagai pionir, tentang mengambil risiko, tentang melangkah tanpa jaminan. Sontak banyak yang merasa seperti sedang bercermin dan tak semua orang siap melihat pantulan dirinya sendiri yang masih diam di tempat.