Mohon tunggu...
Ikmal Trianto
Ikmal Trianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Setengah mahasiswa setengah pekerja

Tukang nulis amatiran

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahai Peran dan Hakikat Manusia sebagai Makhluk Manusiawi

16 April 2022   09:36 Diperbarui: 4 Januari 2023   22:30 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Freepik

Bagaimana menjadi seorang manusia yang manusiawi? Itulah pertanyaan yang selalu terpikirkan dalam benak saya. Suatu pertanyaan yang bersifat sederhana, tetapi tak pernah berujung pada jawaban yang menjurus dan menyertai rangkaian to the point-nya serta sulit untuk dijelaskan secara satu persatu untuk menguraikannya. Manusia sendiri merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan secara sempurna karena dibekali akal dan budi pekerti yang menjadi pembeda dengan makhluk Tuhan lainnya. Konteks manusiawi adalah bentuk kata sifat yang merepresentasikan seorang manusia itu sendiri. Akal merupakan suatu nilai yang abstrak, dan menjadi refleksi terhadap perilaku dari hasil pengamatan pada kejadian sehari-hari dan respon atas bagian kognisi.

Pada zaman modern ini, manusia berkembang menuju pola baru dengan menyinggung keterbukaan tertentu yang dikenal sebagai open minded-nya. Bentuk penerimaan pada segala kemajuan perspektif. Banyak yang berasumsi, dalam konteks ini perspektif manusia telah mengalami pergeseran pandangan yang berawal dari budi pekerti. Manusia sering mengasumsikan fitrahnya adalah kebenaran.

Persepsi kebenaran adalah bentuk ideal yang diyakini berbeda sesuai dengan kehendak masing-masing dan merupakan hemat umum. Perasaan itu sikap berdasar rasio yang mengacu pada nilai kebenaran yang beragam, akan menitikberatkan terhadap landasan pada cara berpikirnya. Setiap orang tentu memiliki landasan atas caranya berpikir. Pemikiran tersebut didasari oleh sebuah pandangan tentu akan sangat memiliki pengaruh terhadap tingkah lakunya sendiri. Tingkah laku itu kemudian akan menjadi pola yang membentuk suatu kebiasaan, hingga terdorong menjadi suatu budaya dan perlahan menjadi identitas individu dan kelompok. Teori kebenaran yang diyakini berdasarkan logika berpikir manusia didasari pada kemampuan kognitif atas penerimaan sebagai hasil dari kemampuannya.

Terkadang, manusia tidak mengerti dengan adanya perbedaan. Menyatakan pembenaran pada dirinya dan mengenggani akan suatu kekeliruan. Sikap me-wajar-kan pada tahap akhir analisa sederhana terhadap konteks pemikiran tersebut itu bagian dari salahsatu fitrah dan hukum alamiah sifat manusiawi manusia. Naluri manusia itu beragam, kebebasan berpikir untuk mengasumsikan nilai kebenaran dari apa yang ia anggap benar akan bersifat relatif. Kebenaran menurut seseorang mungkin akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak benar dan salah oleh orang lain.

Penerimaan fenomena yang dialami manusia pada tahap tertentu dengan fase-fase yang mengubah kemampuan berpikir dapat berasal dari kecerdasaan manusia. Bagaimana kecerdasaan emosional berdampak pada silsilah bagian adaptasi dengan lingkungan dan perubahan.

Bentuk perubahan sedikit banyaknya berkesinambungan dengan norma-norma yang menjadi bagian dari hakikat absolut pada konteks aturan universal manusia. Norma yang dijadikan sebagai pedoman kehidupan dari agama maupun sosial mengikat manusia sebagai makhluk yang tunduk serta patuh pada bagian nilai yang dianggap sebagai kebenaran.

Norma sebagai nilai adalah bagian dari pemikiran dari hasil berpikir melalui produk Pendidikan. Pendidikan merupakan upaya membentuk kesadaran berpikir dan menyeimbangkan kecerdasaan emosional maupun spiritual. Pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah perpaduan yang mengantarkan manusia itu sendiri pada tahap kebijaksanaan. Sehingga manusia mampu memahai apa fitrah dan hakikat manusia sebagai seorang manusia dan makhluk.

Manusia sebagai seorang makhluk ialah konteks ia sebagai hasil ciptaan Tuhan, yang memiliki kedudukan yang sama dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Namun, dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia hadir sebagai seorang pemimpin di muka bumi. Meskipun terlahir dalam garis takdir demikian, fitrah manusia dengan sifat kemanusiaannya akan mendorong pada dua hal yang berbeda. Tergantung pada bagaimana mereka memahami Pendidikan sebagai satu alat yang menguatkan fitrah tersebut ataupun sebaliknya.

Selanjutnya manusia sebagai seorang individu dalam garis takdir makhluk Tuhan akan mempertanyakan kuasa atas dirinya secara penuh. Namun, apakah diri ini milik kita seutuhnya? Jika begitu, kita tidak memerlukan makhluk lain sebagai pendamping. Maka kita hakikatnya adalah individu sebagai bagian dari sosial yang selalu membutuhkan. Manusia hanya diciptakan untuk beribadah dan Kembali pada Tuhan. Namun, untuk mencerna bagian tersebut perlu pemahaman lebih jauh lagi memaknai manusia dalam hakikatnya.

Pada proses mencerna pemahaman itu maka akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang justru mempertanyakan hakikat manusia itu. Oleh karenanya, berpikir itu mendorong pada sifat kebabasan dan menghiraukan hukum yang berlaku. Manusia tidak mempercayai Tuhan dan lebih mengedepankan logika berpikir dibandingkan norma absolut. Tetapi, apakah manusia dapat membuktikan kemampuan berpikir tersebut secara ilmiah, tentang apa yang mereka sebut sebagi logika. Jika logika yang mereka anggap ada, maka Tuhanpun ada. Agama ada sebagai pedoman bagi manusia. 'A' yang berarti tidak dan 'gama' yang berarti kacau, menghimpitkan kontekstual bahwa kehadiran agama adalah untuk membuat manusia memiliki pegangan dalam berkehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun