Mohon tunggu...
Ikhsan Madjido
Ikhsan Madjido Mohon Tunggu... Menulis, traveling, fotografi

Mengabadikan momen dengan kalimat, dan merangkai emosi dalam paragraf

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

STY Batal Pulang, Garuda Muda Hadapi Korsel Tanpa Guru

28 Agustus 2025   11:17 Diperbarui: 28 Agustus 2025   11:17 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
STY batal membawa Korsel di ajang Kualifikasi Piala Asia U23 (Antara foto/Rivan Awal Lingga via KOMPAS.com)

Kekecewaan itu wajar. Bagi banyak pecinta sepak bola Indonesia, kehadiran Shin bukan sekadar soal taktik atau strategi di lapangan. Lebih dari itu, ia adalah simbol perjalanan panjang yang penuh drama: dari awal yang terseok di masa pandemi, kritik tajam, hingga membawa Timnas Indonesia ke level yang lama dinanti---lolos ke Piala Asia 2023, bahkan mengukir prestasi historis di Piala Asia U-23 2024. 

Ia bukan sekadar pelatih asing, melainkan figur yang sempat membentuk identitas baru bagi Garuda. Membayangkan ia berdiri di sisi lawan tentu menimbulkan rasa getir sekaligus penasaran. 

Bagaimana rasanya melihat guru berhadapan dengan murid? Bagaimana perasaan pemain-pemain muda ketika melihat sosok yang pernah mempercayai mereka kini berada di pihak lawan?

Sayangnya, semua pertanyaan itu kini menguap, meninggalkan pertandingan yang mungkin terasa lebih "dingin" tanpa STY di pinggir lapangan. Pertandingan Indonesia melawan Korea Selatan tetap penting secara teknis, tetap akan panas karena tiket menuju Piala Asia U-23 diperebutkan, tetapi magnet emosionalnya berkurang drastis. Laga yang seharusnya menjadi kisah epik berubah menjadi sekadar duel biasa. Indonesia vs Korea Selatan, bukan Indonesia vs Shin Tae-yong.

Namun, mungkin justru di situlah pelajaran besarnya. Publik kita, sering kali, terlalu menggantungkan diri pada figur. Kita larut dalam personalisasi. Kita ingin pertandingan bukan hanya tentang skor, melainkan juga drama yang mempersonalisasi cerita: pelatih ini melawan tim lamanya, pemain itu berjumpa dengan mantan klubnya, rivalitas pribadi yang ditarik sedemikian rupa sehingga pertandingan terlihat lebih hidup. Padahal, di balik itu semua, sepak bola tetaplah tentang sebelas orang melawan sebelas orang lain, dengan bola bulat yang bisa saja bergulir ke arah yang tak diduga.

Timnas U-23 Indonesia sebenarnya punya peluang nyata di grup ini. Melawan Laos dan Makau, Garuda Muda berpeluang besar meraih poin penuh. Pertemuan pamungkas dengan Korea Selatan memang akan menjadi ujian sesungguhnya, tetapi bukan berarti mustahil. 

Apalagi, sebagian pemain muda Indonesia sudah kenyang pengalaman internasional. Nama-nama seperti Struick, Zijlstra, hingga Marselino bukan lagi wajah-wajah yang canggung menghadapi lawan besar. Ketidakhadiran Shin mungkin justru menguntungkan---tidak ada lagi strategi dari "orang dalam" yang begitu memahami detail kecil para pemain kita. Korsel tetap tim kuat, tetapi mereka datang tanpa kehadiran sosok yang bisa membaca Garuda Muda layaknya buku terbuka.

Dari perspektif lain, batalnya kedatangan STY juga memperlihatkan betapa cepat dan kerasnya dunia sepak bola bergerak. Dalam tempo hanya beberapa minggu, status seseorang bisa berubah drastis: dari calon lawan emosional di Sidoarjo menjadi pelatih klub yang sibuk mengatur jadwal padat di K-League dan Liga Champions Asia. Hal ini mengingatkan kita bahwa sepak bola bukan dongeng yang bisa kita tulis sesuka hati. Ia adalah realitas yang ditentukan oleh kontrak, tanggung jawab, dan prioritas.

Bagi publik Indonesia, kabar ini bisa terasa sebagai kehilangan momen. Tetapi, mungkin kita perlu menggeser fokus. Pertandingan nanti seharusnya bukan tentang siapa yang hadir atau absen di pinggir lapangan, melainkan tentang bagaimana Garuda Muda membuktikan diri. Justru inilah saatnya membangun narasi baru yang tak lagi bergantung pada bayang-bayang masa lalu. Gerald Vanenburg, pelatih baru, punya panggung untuk menegaskan bahwa Timnas U-23 bisa melangkah sendiri. Bahwa Indonesia tidak lagi sekadar "produk" dari tangan STY, melainkan tim dengan karakter dan identitas yang terus berkembang.

Sepak bola selalu punya ruang untuk paradoks. Batalnya kehadiran Shin bisa dianggap kehilangan bumbu, tetapi bisa juga dilihat sebagai peluang bagi Garuda Muda untuk keluar dari nostalgia. Jika pertandingan nanti dimenangkan oleh Indonesia, itu bukan lagi kemenangan "warisan" seorang STY, melainkan kemenangan murni generasi baru di bawah kepemimpinan baru. Dan jika pun kalah, publik tetap punya alasan untuk percaya bahwa proses pembelajaran berjalan, tanpa harus terus-menerus menoleh ke masa lalu.

Pada akhirnya, batalnya kedatangan STY mengajarkan kita tentang keterbatasan dalam merancang narasi. Kita boleh berandai, kita boleh meromantisasi, tetapi realitas sering kali membuyarkan skenario. Pertandingan Indonesia melawan Korea Selatan di Sidoarjo akan tetap berlangsung, dengan atau tanpa STY. Mungkin lebih sepi dari gegap gempita, tetapi justru lebih jernih. Inilah kesempatan kita untuk benar-benar menilai Garuda Muda apa adanya---bukan dalam bayang-bayang sang mantan pelatih, melainkan dalam langkah yang benar-benar milik mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun