Sudah hampir satu dekade saya memotret sepak bola tarkam --- alias sepak bola antar kampung. Dari lapangan berumput liar sampai lapangan berdebu yang lebih mirip permukaan Mars ketimbang stadion mini.
Bayarannya? Rp350 ribu per tim. Jangan tertawa dulu. Kalau sebulan ada lima belas turnamen, cuannya lumayan buat upgrade lensa atau sekadar ngopi di kafe yang menyajikan latte dengan gambar daun berasap.
Tapi tunggu dulu, hidup saya bukan cuma soal memotret kaki-kaki berlumpur yang menendang bola ke gawang kosong.
Saya juga merangkap sebagai tukang desain grafis, konsultan statistik untuk mahasiswa yang ingin cepat lulus, dan (kadang) fotografer pernikahan dadakan --- khusus keluarga dan sahabat, bayarannya seikhlasnya.
Belum lagi warung sembako kecil di rumah, yang lahir gara-gara pandemi. Pokoknya, saya bak warteg: apa saja ada.
Semua saya kelola sendiri. Tanpa mitra. Tanpa partner. Tanpa rekan bisnis yang bisa saya ajak diskusi sambil nyeruput kopi sachet. Istilah kerennya? Solopreneur. Istilah kampungnya? "Ngapa-ngapain sendiri."
Saya sering ditanya, "Kenapa nggak cari partner bisnis?" Jawabannya sederhana: karena belum nemu yang cocok. Soal kerja sama itu seperti jodoh --- kalau salah pilih, bisa-bisa berakhir dengan saling blokir di WhatsApp dan menghapus jejak digital dari galeri.
Kalau mau jujur, jadi solopreneur itu seperti menjalin hubungan LDR dengan uang. Dekat nggak, jauh juga enggak. Tapi selalu bikin deg-degan. Kita bisa mengatur segalanya sendiri --- jam kerja, target, harga jasa, bahkan istirahat kapan pun tanpa harus kirim surat izin.Â
Tapi jangan lupakan satu hal: semua beban juga ditanggung sendiri. Kalau error, nggak bisa lempar ke siapa-siapa. Kecuali lempar badan ke kasur dan mengutuk Excel yang tidak menyimpan data otomatis.
Namun di balik semua itu, solopreneur memberi ruang untuk eksplorasi dan keautentikan. Kita bisa menulis cerita bisnis dengan gaya sendiri, sesuai irama napas kita.Â