Kehidupan sering kali meniru seni, dan dalam momen yang terasa hampir metaforis ini, dunia menyaksikan realitas yang tampak seperti kisah dalam film. Di tengah ketegangan menjelang Academy Awards, film "Conclave" mengalami lonjakan popularitas yang tidak terduga.
Yang lebih mencengangkan adalah bagaimana momen ini bertepatan dengan kondisi kesehatan Paus Fransiskus yang memburuk akibat pneumonia. Fenomena ini seakan menjadi cerminan tak terduga antara seni dan kenyataan, menambah bobot emosional serta relevansi film tersebut dalam konteks dunia nyata.
Di dalam Vatikan, berbicara tentang konklaf ketika seorang Paus masih hidup dan tengah berjuang melawan penyakit adalah sebuah tabu. Tradisi ini mencerminkan penghormatan mendalam terhadap pemimpin Gereja Katolik, yang masih menjalankan tugasnya meskipun dalam keadaan sakit.
Namun, popularitas film "Conclave" justru menempatkan pembahasan mengenai pemilihan Paus baru dalam sorotan global, menciptakan dilema yang kompleks bagi hierarki Gereja. Di satu sisi, mereka mendoakan kesembuhan Paus Fransiskus, tetapi di sisi lain, mereka tak dapat mengabaikan bagaimana film ini mengangkat wacana seputar masa depan kepemimpinan Gereja Katolik.
"Conclave" adalah adaptasi dari novel karya Robert Harris dan disutradarai oleh Edward Berger. Film ini mengisahkan Kardinal Thomas Lawrence, yang diperankan oleh Ralph Fiennes, dalam perannya memimpin pemilihan Paus baru setelah kematian mendadak pemimpin Gereja sebelumnya. Dengan alur cerita yang dipenuhi intrik, perdebatan politik, dan perbedaan pandangan mengenai arah Gereja di masa depan, film ini bukan sekadar kisah tentang iman, tetapi juga tentang dinamika kekuasaan di dalam Vatikan.
Keterkaitan antara situasi nyata yang tengah dihadapi Paus Fransiskus dengan plot "Conclave" menambah kesan bahwa film ini hadir dalam momentum yang begitu tepat, hampir seperti ramalan yang menjadi kenyataan.
Ralph Fiennes, yang memerankan Kardinal Thomas Lawrence memberikan monolog penutup yang mungkin akan terngiang di benak para pemilih Oscar: "Kita tidak pernah bisa mengontrol takdir, tetapi kita bisa memilih untuk meresponsnya dengan keberanian."
Kalimat itu, secara tidak langsung, menyentuh inti dari pergulatan Paus Fransiskus saat ini. Di usia 88 tahun, ia bukan hanya melawan penyakit, tetapi juga simbol ketahanan manusia di tengah keterbatasan.
Sejak dirilis di Festival Film Telluride pada Agustus tahun lalu, "Conclave" telah mendapat pujian luas. Namun, baru belakangan ini, film tersebut mengalami lonjakan signifikan dalam perbincangan Oscar.
Dengan delapan nominasi, "Conclave" menjadi salah satu pesaing terkuat di ajang Academy Awards tahun ini. Pada awalnya, film "Anora" sempat menjadi favorit utama, terutama setelah memenangkan Palme d'Or dan tiga penghargaan di Independent Spirit Awards. Namun, kemenangan "Conclave" dalam kategori Best Cast di Screen Actors Guild Awards serta keberhasilannya di BAFTAs semakin memperkuat posisinya sebagai kandidat utama.
Dalam sejarah Oscar, ada pola yang menunjukkan kecenderungan para pemilih untuk memilih film yang memiliki relevansi mendalam dengan situasi dunia pada saat itu. Ini bukan hanya tentang kualitas film secara teknis, tetapi juga tentang bagaimana sebuah karya seni dapat mencerminkan atau menangkap semangat zaman.
"Conclave" menawarkan lebih dari sekadar hiburan; ia menghadirkan refleksi atas krisis kepemimpinan, transisi spiritual, dan ketegangan dalam institusi yang berusia lebih dari dua ribu tahun. Ditambah dengan situasi nyata yang terjadi di Vatikan, film ini terasa semakin relevan dan mengena di hati banyak orang.
Di sisi lain, kesehatan Paus Fransiskus semakin menjadi sorotan setelah insiden mendadak pada Jumat sore, 28 Februari 2025. Setelah dua minggu menjalani perawatan akibat pneumonia, Paus mengalami krisis pernapasan yang menyebabkan muntah dan memperburuk kondisi paru-parunya.
Meskipun sebelumnya ia sempat menunjukkan tanda-tanda pemulihan, kejadian ini membuat tim medis Vatikan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan prognosis. Dalam 24 hingga 48 jam ke depan, mereka akan terus memantau perkembangan kondisi Paus sebelum menentukan langkah selanjutnya.
Momen ini membawa dampak emosional yang besar, bukan hanya bagi umat Katolik, tetapi juga bagi dunia secara luas. Paus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin yang membawa reformasi progresif dalam Gereja Katolik, memperjuangkan keadilan sosial, merangkul komunitas yang terpinggirkan, serta mengambil sikap terbuka terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, banyak orang dari berbagai latar belakang, baik di dalam maupun di luar Gereja, turut berdoa untuk kesembuhannya.
Namun, dengan semakin memburuknya kondisi kesehatannya, spekulasi mengenai kemungkinan konklaf berikutnya pun tak terelakkan. Terlepas dari tabu yang melekat dalam tradisi Gereja, pembahasan mengenai suksesi kepausan mulai muncul di berbagai diskusi global.
Film "Conclave" justru menjadi medium yang, secara tidak langsung, mengedukasi publik tentang kompleksitas dan keagungan proses pemilihan Paus. Dengan demikian, alih-alih dianggap tidak pantas atau blasphemous, film ini justru mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak, termasuk surat kabar Vatikan, L'Osservatore Romano, dan Avvenire yang dikelola oleh Konferensi Waligereja Italia.
Apakah "Conclave" akan memenangkan Oscar di tengah urgensi realitas yang begitu mirip dengan kisahnya? Masih sulit untuk diprediksi. "Anora" masih menjadi pesaing utama, terutama karena faktor-faktor seperti nominasi Best Director untuk Sean Baker, yang tidak dimiliki oleh Edward Berger. Namun, jika Oscar memilih untuk memberikan penghargaan pada film yang mencerminkan momen dan suasana hati dunia saat ini, "Conclave" bisa saja menjadi pemenang kejutan di malam penghargaan.
Pada akhirnya, yang lebih penting dari sekadar perlombaan Oscar adalah bagaimana seni dapat menangkap esensi kehidupan yang sebenarnya. "Conclave" bukan sekadar film tentang pemilihan Paus, tetapi juga tentang transisi, kepemimpinan, dan harapan bagi masa depan Gereja.
Sementara dunia terus berdoa untuk kesembuhan Paus Fransiskus, film ini mengingatkan kita akan keteguhan iman, intrik politik, serta peran Gereja dalam menghadapi perubahan zaman. Dalam sebuah ironi yang nyaris tak terelakkan, film dan kenyataan kini saling bercermin, mengajarkan kita bahwa kehidupan dan seni memang lebih sering beriringan daripada yang kita sadari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI