Dalam sejarah Oscar, ada pola yang menunjukkan kecenderungan para pemilih untuk memilih film yang memiliki relevansi mendalam dengan situasi dunia pada saat itu. Ini bukan hanya tentang kualitas film secara teknis, tetapi juga tentang bagaimana sebuah karya seni dapat mencerminkan atau menangkap semangat zaman.
"Conclave" menawarkan lebih dari sekadar hiburan; ia menghadirkan refleksi atas krisis kepemimpinan, transisi spiritual, dan ketegangan dalam institusi yang berusia lebih dari dua ribu tahun. Ditambah dengan situasi nyata yang terjadi di Vatikan, film ini terasa semakin relevan dan mengena di hati banyak orang.
Di sisi lain, kesehatan Paus Fransiskus semakin menjadi sorotan setelah insiden mendadak pada Jumat sore, 28 Februari 2025. Setelah dua minggu menjalani perawatan akibat pneumonia, Paus mengalami krisis pernapasan yang menyebabkan muntah dan memperburuk kondisi paru-parunya.
Meskipun sebelumnya ia sempat menunjukkan tanda-tanda pemulihan, kejadian ini membuat tim medis Vatikan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan prognosis. Dalam 24 hingga 48 jam ke depan, mereka akan terus memantau perkembangan kondisi Paus sebelum menentukan langkah selanjutnya.
Momen ini membawa dampak emosional yang besar, bukan hanya bagi umat Katolik, tetapi juga bagi dunia secara luas. Paus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin yang membawa reformasi progresif dalam Gereja Katolik, memperjuangkan keadilan sosial, merangkul komunitas yang terpinggirkan, serta mengambil sikap terbuka terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, banyak orang dari berbagai latar belakang, baik di dalam maupun di luar Gereja, turut berdoa untuk kesembuhannya.
Namun, dengan semakin memburuknya kondisi kesehatannya, spekulasi mengenai kemungkinan konklaf berikutnya pun tak terelakkan. Terlepas dari tabu yang melekat dalam tradisi Gereja, pembahasan mengenai suksesi kepausan mulai muncul di berbagai diskusi global.
Film "Conclave" justru menjadi medium yang, secara tidak langsung, mengedukasi publik tentang kompleksitas dan keagungan proses pemilihan Paus. Dengan demikian, alih-alih dianggap tidak pantas atau blasphemous, film ini justru mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak, termasuk surat kabar Vatikan, L'Osservatore Romano, dan Avvenire yang dikelola oleh Konferensi Waligereja Italia.
Apakah "Conclave" akan memenangkan Oscar di tengah urgensi realitas yang begitu mirip dengan kisahnya? Masih sulit untuk diprediksi. "Anora" masih menjadi pesaing utama, terutama karena faktor-faktor seperti nominasi Best Director untuk Sean Baker, yang tidak dimiliki oleh Edward Berger. Namun, jika Oscar memilih untuk memberikan penghargaan pada film yang mencerminkan momen dan suasana hati dunia saat ini, "Conclave" bisa saja menjadi pemenang kejutan di malam penghargaan.
Pada akhirnya, yang lebih penting dari sekadar perlombaan Oscar adalah bagaimana seni dapat menangkap esensi kehidupan yang sebenarnya. "Conclave" bukan sekadar film tentang pemilihan Paus, tetapi juga tentang transisi, kepemimpinan, dan harapan bagi masa depan Gereja.
Sementara dunia terus berdoa untuk kesembuhan Paus Fransiskus, film ini mengingatkan kita akan keteguhan iman, intrik politik, serta peran Gereja dalam menghadapi perubahan zaman. Dalam sebuah ironi yang nyaris tak terelakkan, film dan kenyataan kini saling bercermin, mengajarkan kita bahwa kehidupan dan seni memang lebih sering beriringan daripada yang kita sadari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI