Malam perhelatan Oscar ke-97, akan diselenggarakan pada hari Minggu, 2 Maret, dengan Conan O'Brien sebagai pembawa acaranya.
Penghargaan terbesar di Hollywood ini telah memunculkan beragam prediksi dan perdebatan hangat di kalangan kritikus serta penggemar film.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh aktor pemenang Oscar, Christopher Walken, "Pada puncaknya, hidup itu benar-benar tak terduga."
Ungkapan itu seakan menggambarkan betapa dinamisnya persaingan dalam ajang penghargaan tahun ini, yang dibayangi oleh pergolakan industri, skandal di media sosial, dan gejolak politik yang memengaruhi atmosfer sinema global.
Tak dapat dipungkiri bahwa malam Oscar ini menjadi ajang pembuktian bagi film-film yang telah melalui perjalanan panjang dan penuh lika-liku.
Di antara berbagai judul yang bersaing, terdapat tiga kandidat utama yang kini mencuri perhatian publik: "Anora," "The Brutalist," dan "Conclave."
Meskipun prediksi awal menunjukkan bahwa "The Brutalist" dan "Conclave" berpotensi meraup sebagian besar piala, analisis terkini menempatkan "Anora" sebagai unggulan yang siap merebut penghargaan tertinggi pada malam yang penuh kegemilangan ini.
Perjalanan "Anora" sendiri merupakan kisah yang menarik, ditandai dengan perjalanan emosional yang penuh naik turun.
Film ini, yang sebelumnya sempat gagal di beberapa ajang penghargaan penting seperti BAFTA, Golden Globes, dan Critics Choice, baru-baru ini menunjukkan lonjakan performa melalui kemenangan di DGA, PGA, Critics Choice, dan WGA.
Kemenangan-kemenangan tersebut memberi angin segar bagi "Anora" untuk kembali bersaing ketat, meskipun masih terdapat tantangan besar, terutama dalam meraih penghargaan kategori penulisan skenario.
Seperti halnya film-film legendaris di masa lampau---mulai dari "Mutiny on the Bounty" (1935) hingga "Nomadland" (2020)---kemenangan dalam kategori ini sering kali menjadi penentu utama dalam meraih penghargaan Best Picture.
Sementara itu, "The Brutalist," karya Brady Corbet, menawarkan sebuah perjalanan sinematik yang unik dengan durasi terpanjang di antara film-film terpilih, mencapai total 24 jam 45 menit jika disaksikan secara berurutan.
Durasi yang luar biasa ini seakan mencerminkan ambiguitas prediksi bagi film tersebut, dengan proyeksi kemenangan berkisar antara nol hingga lima piala Oscar.
Meskipun demikian, kekuatan narasi dan visual yang kuat dari "The Brutalist" memberikan alasan kuat untuk optimisme, meski tetap harus menghadapi persaingan sengit dari para pesaingnya.
Di sisi lain, "Conclave" karya Edward Berger menghadirkan nuansa thriller yang kental dengan latar belakang Vatikan, sebuah setting yang jarang tersaji dalam perfilman modern.
Film ini memiliki daya tarik tersendiri bagi para pemilih yang lebih menyukai karya-karya dengan pendekatan klasik dan elegan, meskipun harus menghadapi kendala besar berupa ketiadaan nominasi untuk kategori sutradara.
Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa hal tersebut bukanlah penghalang mutlak. Dengan dukungan kemenangan di BAFTA dan SAG, "Conclave" memiliki potensi untuk melakukan terobosan ala "Argo," di mana kemenangan Best Picture bisa diraih meskipun tanpa nominasi di kategori sutradara.
Tak heran jika film ini kini muncul sebagai pesaing serius, terutama setelah berhasil mencuri perhatian para pengkritik dan pemirsa melalui pendekatan sinematik yang berani dan inovatif.
Tak kalah menarik adalah kisah "Emilia Prez," film musikal kriminal dari Netflix yang mencatat sejarah dengan 13 nominasi, menjadikannya film non-Inggris pertama yang mencetak rekor tersebut.
Namun, kampanye film ini sempat tersandung masalah akibat munculnya kembali cuitan-cuitan kontroversial dari aktris utamanya, Karla Sofa Gascn.
Kontroversi yang mengguncang publik ini secara signifikan menggerus peluang "Emilia Prez" untuk meraih penghargaan Best Picture, sehingga ekspektasi yang tersisa hanya tertuju pada potensi kemenangan untuk kategori supporting actress, melalui penampilan memukau Zoe Saldaa, serta kategori lagu orisinal dengan judul "El Mal."
Jika kedua kategori tersebut tidak berhasil diraih, "Emilia Prez" berpotensi mencatat sejarah pahit sebagai salah satu film yang, meski mendapatkan banyak nominasi, akhirnya pulang tanpa piala, setara dengan nasib "The Turning Point" (1977) dan "The Color Purple" (1985).
Prediksi akhir di ajang Oscar ini pun semakin menarik dengan daftar nominasi Best Picture yang bervariasi, mulai dari "Anora" (Neon), "The Brutalist" (A24), "A Complete Unknown" (Searchlight Pictures), "Conclave" (Focus Features), "Dune: Part Two" (Warner Bros.), "Emilia Prez" (Netflix), "I'm Still Here" (Sony Pictures Classics), "Nickel Boys" (Amazon MGM Studios), "The Substance" (Mubi), hingga "Wicked" (Universal Pictures).
Di antara deretan judul tersebut, para pengamat memprediksi "Anora" akan keluar sebagai pemenang utama, dengan tim kreatif yang dipimpin oleh Alex Coco, Samantha Quan, dan Sean Baker.
Sementara itu, "Conclave" diperkirakan memiliki peluang untuk menang jika mampu menyulap kekurangannya menjadi keunggulan, dengan dukungan dari Tessa Ross, Juliette Howell, dan Michael A. Jackman.
Tidak ketinggalan, "I'm Still Here" yang dianggap seharusnya meraih kemenangan, dinominasikan di bawah kepemimpinan Maria Carlota Bruno dan Rodrigo Teixeira, menambah bumbu ketegangan dalam persaingan malam itu.
Di balik setiap prediksi tersebut tersimpan harapan dan tantangan yang tak terelakkan. Industri perfilman yang terus berevolusi menuntut inovasi dan keberanian dalam bereksperimen dengan berbagai gaya dan cerita, sehingga setiap pemenang tidak hanya menjadi simbol prestasi, tetapi juga cerminan dinamika perubahan zaman.
Sementara para peminat dan kritikus sibuk membandingkan statistik dan hasil nominasi, satu hal tetap pasti: Oscar selalu menyuguhkan kejutan.
Seperti yang telah terbukti di masa-masa sebelumnya, bahkan film yang tampak memiliki peluang cerah sekalipun bisa saja terhenti di tengah jalan, meninggalkan jejak kontroversi dan pertanyaan mengenai apa yang seharusnya pantas mendapatkan penghargaan.
Dalam konteks ini, meskipun "Emilia Prez" sempat merajai nominasi, kontroversi yang menyelimuti sang aktris membuat kampanye film tersebut harus menanggung beban berat.
Sementara itu, "Anora" yang sempat mengalami masa-masa surut berhasil bangkit dengan penampilan gemilang di ajang penghargaan pendahulu, menegaskan posisinya sebagai favorit yang pantas meraih piala tertinggi.
Di balik kemenangan-kemenangan tersebut, tersimpan pula kisah perjuangan, kreativitas, dan kerja keras yang tidak ternilai harganya, mencerminkan betapa dunia perfilman tidak pernah berhenti menantang batas konvensi dan ekspektasi.
Pada akhirnya, malam Oscar ke-97 bukan hanya tentang siapa yang akan menang atau kalah, melainkan tentang perayaan sebuah seni yang terus bertransformasi.
Para sineas, aktor, dan seluruh tim produksi telah memberikan dedikasi tanpa batas demi menciptakan karya yang mampu menggugah emosi dan menginspirasi jutaan penonton di seluruh dunia.
Dalam gelombang prediksi dan spekulasi, kita diajak untuk menyaksikan sebuah perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian, yang pada akhirnya akan menuliskan sejarah baru dalam dunia perfilman.
Dan bagi para penikmat film, momen ini merupakan kesempatan emas untuk menyaksikan pertarungan ide, keberanian artistik, dan inovasi kreatif yang menyatu dalam satu malam penuh keajaiban.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI