Tradisi dan budaya Indonesia telah lama mengajarkan bahwa cinta tanah air tak semata-mata diukur dari kehadiran fisik, melainkan dari kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa.
Pepatah orang Kaili, "Maputi buku ratimbe, Malei ra mabubu, kana kupemate Ngataku," misalnya, menyuarakan semangat mempertahankan tanah air meskipun harus rela mengorbankan banyak hal.
Lagu legendaris "Ke Jakarta, Aku Kan Kembali" pun mengandung pesan serupa: meskipun merantau, jiwa patriotisme akan tetap membara dan kampung halaman akan selalu dipertahankan.
Ada yang pulang, ada yang ingin pergi. Di panggung politik Indonesia, Prabowo Subianto memilih kembali ke tanah air setelah tahun-tahun panjang di perantauan.
Di sisi lain, generasi muda ramai membicarakan #KaburAjaDulu---hasrat untuk merantau ke luar negeri demi pendidikan, kerja, atau sekadar mencari udara baru.
Kembalinya sosok kontroversial ke tanah air dan tren pencarian peluang di luar negeri---memunculkan pertanyaan mendasar tentang arti patriotisme di era modern. Apakah menjadi patriot berarti harus selalu berada di dalam negeri, ataukah bentuk kontribusi bisa dilakukan meskipun dari jarak jauh?
Dua fenomena ini, meski berlawanan arah, sama-sama menggambarkan dinamika respons terhadap ketidakpastian. Bukan soal benar atau salah, melainkan bagaimana pilihan individu menjadi refleksi dari harapan, kekecewaan, dan cara masing-masing mencintai Indonesia.Â
Prabowo Subianto, sang mantan perwira yang pernah menjadi tokoh kontroversial pasca-Reformasi, memutuskan pulang pada 2008. Kepulangannya bukan sekadar nostalgia. Ia mendirikan Partai Gerindra, merangkai jejaring politik, dan membangun bisnis di sektor perkebunan hingga pertambangan.
Langkahnya mungkin terlihat seperti upaya rebranding, tapi tak bisa dipungkiri: ia memilih bermain di dalam sistem. Ia tak lari dari masalah, meski jalan yang ditempuh tak lepas dari kritik.
Baginya, berkontribusi pada negeri berarti masuk ke pusaran politik, meski harus berhadapan dengan masa lalu yang kerap dipertanyakan.Â