Konflik sering kali terjadi diantara masyarakat sekitar dengan pihak tambang, yang mana hal ini seringkali berakhir dengan tindakan represif. Seperti yang dilaporkan WALHI JAWA TIMUR (28/3/2023) Sejak tahun 2015 hingga 2017, ada setidaknya 15 orang dalam 5 kasus berbeda menjadi korban kriminalisasi, dengan tuduhan mulai dari merusak  fasilitas, menyebarkan "Komunisme", hingga membuat spanduk penolakan yang berbau politik, padahal tidak satupun dari tuduhan tersebut dilakukan oleh warga sekitar.
Salah satu kasus tersebut adalah aksi pemasangan spanduk yang berisi tolakan pembangunan tambang pada 4 April 2017, yang mana hal ini memicu 4 warga ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan tuduhan adanya logo "palu dan arit" pada spanduk yang mereka buat, dan tentunya tuduhan tersebut selalu dibantah oleh warga.
Dalam pertemuan warga dengan Komnas HAM di Universitas Jember (Maret 2018), warga menyampaikan bahwa mereka mengalami intimidadi dari aparat keamanan, tekanan ormas, dan kriminalisasi sebagai balasan atas penolakan mereka terhadap tambang yang merusak lingkungan tempat hidup mereka.
Tuntutan Warga dan Sikap PemerintahÂ
- Warga penolak mengajukan berbagai tuntutan:
- Pencabutan izin tambang (IUP) PT BSI dan DSI
- Dialog publik yang jujur dan keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan
- Perlindungan hukum bagi warga yang menolak
- Pemulihan lingkungan dan kompensasi yang adilÂ
Pada Februari 2020, massa aksi warga Banyuwangi pergi ke Surabaya dan berjalan menuju kantor Gubernur Jawa Timur, lalu mereka menyerahkan berkas permohonan penyabutan izin tambang. Namun, Gubernur jatim saat itu belum memberikan keputusan yang tegas, sehingga masyarakat memberi waktu 30 hari untuk memberi respon terhadap tuntutan warga. Namun hingga 2 minggu setelah tenggat yang disepakati, warga masih belum diberi kepastian.
"Tujuan utama kita adalah menuntup tambang, jika pemerintah disini kita minta baik-baik tidak bersedia atau mungkin masih tidak ada keputusan, maka kita yang akan menutup tambang disana." Tutur Nur Hidayat saat ditemui ketika masa sudah mulai membubarkan diri.
Tambang emas Tumpang Pitu bukan sekadar persoalan izin atau lingkungan; ia adalah peta konflik kekuasaan: negara, korporasi, dan rakyat lokal saling tarik menarik. Dengan izin yang bermasalah, dampak ekologis nyata, dan upaya kriminalisasi warga penolak, upaya penyelesaian harus bertumpu pada keadilan dan bukan sekadar kompensasi teknis. Tanpa dialog terbuka dan kekuatan hukum yang adil, tambang ini bisa makin memecah masyarakat dan mengikis ruang hidup rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI