Mohon tunggu...
ikhsan aziz fajariyanto
ikhsan aziz fajariyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa Kehutanan dari Universitas Gadjah Mada

Saya adalah seorang mahasiswa yang ingin membagikan sebuah berita yang mungkin sudah agak lama beredar namun masih perlu perhatian dari masyarakat luas karena berita yang saya angkat tidak hanya merusak alam namun juga mengancam keselamatan penduduk

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Tambang Emas yang Tak Seindah Namanya

14 Oktober 2025   23:00 Diperbarui: 14 Oktober 2025   00:21 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Di Banyuwangi terdapat sebuah tambang emas yang dikelola oleh PT Bumi Suksesindo (BSI), anak perusahaan dari PT Merdeka Copper Gold Tbk. Tambang ini  terletak di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur. Tambang emas tersebut sudah berdiri sejak tahun 1997 hingga sekarang. namun tambang tersebut mengeluarkan program perluasan wilayah yang dimulai pada tahun 2020 dan direncanakan akan selesai pada tahun 2026, yang mana hal ini mengancam kelestarian lingkungan sekitar dan keselamatan warga sekitar Tentunya banyak masyarakat yang resah akan hal ini karena banyak limbah akibat tambang tersebut bisa saja merusak tempat wisata yang ada di dekatnya

Gunung Tumpang Pitu di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, sejak 2012–2013 berubah wajah: dari kawasan hutan lindung menjadi wilayah konsesi tambang emas. Alih fungsi ini memicu gelombang penolakan warga dan konflik berkepanjangan antara masyarakat, perusahaan tambang, dan negara.

WALHI Jawa Timur mencatat lokasi IUP PT BSI dan PT DSI terletak di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Provinsi Jawa Timur, dengan IUP OP BSI seluas 4.998 ha. Sedangkan DSI memiliki izin IUP eksplorasi DSI seluas 6.623 ha. PT BSI menyebut 992 ha dari 4.998 ha akan digunakan perusahaan untuk operasi tambang.[1]

 

Izin Kontroversial dan Status Obyek Vital Nasional

Tambang emas ini mendapatkan izin kosesi semenjak alih fungsi lahan pada tahun 2013, dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan bernomor 826/Menhut –II/2013, terkait pengalihan fungsi hutan lindung ke hutan produksi.  Dan izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP)-nya sendiri didasari pada Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/547/KEP/429.011/2012.

Lalu, pertanggal 16 Februari 2016 area sekitar Tumpang Pitu yang akan ditambang dalam status Objek Vital Nasional (OBVITNAS) oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui surat keputusan nomor 651 K/30/MEM/2016. yang membuat tambang ini berada dalam pengawasan khusus negara dengan membatasi campur tangan warga sekitar untuk melakukan pengawasan langsung.[2]

Dari keputusan, tentunya hal ini banyak ditentang warga sekitar. Karena peralihan guna lahan ini sangat merugikan dari berbagai pihak yaitu warga, wisata, hutan dan lingkungan sekitar.

Kehidupan Warga Yang Terancam

Kegiatan tambang Tumpang Pitu sangat berdampak negatif bagi kehidupan warga. Bahkan bisa menyebabkan bencana alam. Seperti yang dikutip dari Mongabay (7/6/2024) meleporkan bahwa terjadinya banjir lumpur dan sedimentasi lahan sawah akibat bobolnya tanggul pada 2016 memicu aliran lumpur ke sawah warga dan bahkan pantai Pulau Merah, menyebabkan gagal panen dan erosi. [3]

Banjir lumpur tersebut juga menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan. Dari data yang dicatat oleh warga sekitar menyebut bahwa sebelum tambang, total tangkapan ikan di wilayah pesisir Sumberagung sekitar 10.280 ton, yang kemudian terkontraksi menjadi ± 8.106 ton pasca banjir lumpur 2016. [4]

Banjir lumput juga menyebakan rusaknya ekosistem pesisir dan pariwisata. Akibat sedimentasi dan pencemaran menyebabkan hilangnya habitat biota laut yang membuat populasi mereka menipis, mengganggu aktivitas wisata di Pulau Merah dan menurunkan minat wisatawan karena merusak pemandangan indah dari wisata Pulau Merah.[5]

Warga khawatir dengan keselamatan mereka akibat pembukaan tambang karena selama ini mereka menggunakan Kawasan perbukitan Tumpang Pitu sebagai penahan alam dari banjir dan tsunami. [6]

Konflik dan Kriminalisasi Warga Penolak

Konflik sering kali terjadi diantara masyarakat sekitar dengan pihak tambang, yang mana hal ini seringkali berakhir dengan tindakan represif. Seperti yang dilaporkan WALHI JAWA TIMUR (28/3/2023) Sejak tahun 2015 hingga 2017, ada setidaknya 15 orang dalam 5 kasus berbeda menjadi korban kriminalisasi, dengan tuduhan mulai dari merusak  fasilitas, menyebarkan “Komunisme”, hingga membuat spanduk penolakan yang berbau politik, padahal tidak satupun dari tuduhan tersebut dilakukan oleh warga sekitar.

Salah satu kasus tersebut adalah aksi pemasangan spanduk yang berisi tolakan pembangunan tambang pada 4 April 2017, yang mana hal ini memicu 4 warga ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan tuduhan adanya logo “palu dan arit” pada spanduk yang mereka buat, dan tentunya tuduhan tersebut selalu dibantah oleh warga.

Dalam pertemuan warga dengan Komnas HAM di Universitas Jember (Maret 2018), warga menyampaikan bahwa mereka mengalami intimidadi dari aparat keamanan, tekanan ormas, dan kriminalisasi sebagai balasan atas penolakan mereka terhadap tambang yang merusak lingkungan tempat hidup mereka.[7]

Tuntutan Warga dan Sikap Pemerintah 

  • Warga penolak mengajukan berbagai tuntutan:
  • Pencabutan izin tambang (IUP) PT BSI dan DSI
  • Dialog publik yang jujur dan keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan
  • Perlindungan hukum bagi warga yang menolak
  • Pemulihan lingkungan dan kompensasi yang adil 

Pada Februari 2020, massa aksi warga Banyuwangi pergi ke Surabaya dan berjalan menuju kantor Gubernur Jawa Timur, lalu mereka menyerahkan berkas permohonan penyabutan izin tambang. Namun, Gubernur jatim saat itu belum memberikan keputusan yang tegas, sehingga masyarakat memberi waktu 30 hari untuk memberi respon terhadap tuntutan warga. Namun hingga 2 minggu setelah tenggat yang disepakati, warga masih belum diberi kepastian.

“Tujuan utama kita adalah menuntup tambang, jika pemerintah disini kita minta baik-baik tidak bersedia atau mungkin masih tidak ada keputusan, maka kita yang akan menutup tambang disana.” Tutur Nur Hidayat saat ditemui ketika masa sudah mulai membubarkan diri.

Tambang emas Tumpang Pitu bukan sekadar persoalan izin atau lingkungan; ia adalah peta konflik kekuasaan: negara, korporasi, dan rakyat lokal saling tarik menarik. Dengan izin yang bermasalah, dampak ekologis nyata, dan upaya kriminalisasi warga penolak, upaya penyelesaian harus bertumpu pada keadilan dan bukan sekadar kompensasi teknis. Tanpa dialog terbuka dan kekuatan hukum yang adil, tambang ini bisa makin memecah masyarakat dan mengikis ruang hidup rakyat.[8]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun