Kita membeku pada sebuah titik temu, yang menjeda detak tiap detiknya. Hingga kita tersengal dalam gigil paling bebal. Konstelasi visual yang sesak dengan haru-biru kerinduan. Semakin memperkuat gangguan respirasi yang mencoba siuman dari ciuman masa lalu.
Kulihat pipimu telah basah oleh air mata, yang pecah dari kaca-kacanya. Lalu sebagian air mata memilih untuk mengalir landas dan jatuh ke bumi hingga tandas.
Aku sedang sibuk mengumpulkan sajian pembuka. Entah itu senampan kata-kata dalam meja aksara. Atau hanya semangkuk senyum yang menyungging tanpa bicara.
Ah, ternyata kau lebih siap dari yang kukira. Sambil menyapu air mata kau berkata, "Hai, Lelaki! Apa yang kau pikirkan? aku tak mau melewatkan pertemuan ini hanya dengan kediaman."
Aku terkejut dan tak sengaja menumpahkan semua hidangan yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan matang. Akhirnya, aku hanya tersungging malu. Tak tahu harus berkata apa, aku tergugu.
Tetiba kau menghambur peluk. "Meski senja yang lalu memisahkan kita, tapi sebelumnya kita telah sering bertemu. Mengapa kau masih saja kaku? dasar ...," katamu lagi, diiringi gelak tawa dengan pukulan kecil mendarat di pundakku.
Kucoba menarik napas yang semakin berat. Kemudian menyusun kata tanya yang paling mendasar tentang status perempuan yang sedang dalam pelukan ini. Bagaimana tidak, sejak perpisahan yang janggal itu, hari demi hati kulewati dengan kebimbangan. Kau pergi tanpa sepatah kata pasti. Hanya ciuman terakhir yang bisa dipegang sebagai pertaruhan harap.
"Kau tahu, Lelaki? aku masih sendiri dan selalu menantikan pertemuan ini kembali." katamu seraya melepas pelukan.
Pertanyaan belum terucap, kau selalu tahu apa yang mesti dijawab. Kuteguk saliva kasar yang mengganjal di tenggorokan. Meski tergagap, dengan yakin aku berucap, "A ... aku tak akan membiarkanmu pergi lagi. Izinkan aku melamarmu, maukah kau menjadi istriku?"
Suasa kembali mendadak haru.
"Ya ... ya, itulah yang kumau," katamu tersedu dengan pancaran bahagia di raut wajahmu.
Kini, senja telah melingkari kita dalam pelukannya. Rona jingganya bias dalam pendar 4 bola mata yang saling pandang. Dalam harap yang semakin kuat, dalam dekap yang semakin erat. Dengan niat yang mantap, mari kita habiskan waktu bersama, merajut asa dalam ikatannya nyata.
Angsana, 22 Mei 2019