Mohon tunggu...
Ikbal Maulana
Ikbal Maulana Mohon Tunggu... Jurnalis - Pekerjaan saya adalah seorang jurnalis dan content creator

Jurnalis|| Pegiat seni pertunjukan|| Sutradara, Aktor, Penulis Naskah Teater|| Penggiat literasi||Alumni Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung||

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pementasan Teater Daerah (Randai) di Tengah Kebakaran Kampus

20 Maret 2014   23:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:41 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PEMENTASAN TEATER DAERAH (RANDAI) DI TENGAH KEBAKARAN KAMPUS

*Oleh : M. Ikbal Maulana Sarief

Gladi Bersih pertunjukan dengan judul “Buron Nomor Nol” akan dimulai pada pukul 19.00 WIB. Persiapan gladi untuk pertunjukan teater daerah (Randai) yang akan dilaksanakan oleh mahasiswa teater angkatan 2011 STSI Bandung pada Senin (17/3/2014) tiba-tiba batal. Alhasil, mereka harus merancang kembali strategi jitu untuk mengatasi insiden tersebut. Pada sebelumnya sekitar pukul 18.00 WIB Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung dikejutkan oleh kebakaran gardu listrik yang berada di belakang Gedung kesenian Sunan Ambu. Insiden bermula dari padamnya listrik bergilir di daerah BuahBatu dan sekitarnya. Namun, beberapa menit kemudian kepulan asap tebal dengan bau menyengat menyelimuti seluruh STSI Bandung. Hal ini membuat panik seluruh civitas akademik – sebagian besar mahasiswa yang sedang beraktivitas di kampus – melihat asap tebal semakin menyebar luas. Setelah asap tebal menyelimuti seluruh STSI, gardu yang sebelumnya hanya asap seketika mengeluarkan api yang berkobar-kobar. Beruntung insiden ini dapat cepat diatasi oleh tim pemadam kebakaran yang diterjunkan sebanyak 4 truk pemadam. Dengan insiden tersebut kampus seni yang utama di Jawa Barat ini lumpuh (Pemadaman listrik selama 4 hari) dan seluruh mahasiswa diliburkan dengan alasan perbaikan sarana (gardu listrik utama).

Apapun peristiwa dan resiko yang terjadi, teater harus tetap berjalan. Ia harus tetap hadir sebagai sebuah tanggung jawab publik. Hal inilah yang terlihat dari semangat mahasiswa angkatan 2011. Peristiwa kebakaran yang terjadi hari sebelumnya tidak menyurutkan keinginan mereka untuk tetap menggelar pentas pada hari Selasa (18/3/2014). Segala persiapan mereka lakukan mulai dari membuat obor (terbuat dari gelas) hingga urusan peminjaman jenset untuk menyalakan lampu panggung. Suasana gelap mulai menyelimuti STSI ketika matahari mulai terbenam. Kampus seni tersebut seketika berhenti beraktivitas dan hujan yang mengguyur Bandung semakin membuat suasana menambah sunyi. Situasi ini berbeda dengan persiapan pementasan Randai yang memanfaatkan suasana tersebut sebagai bentuk meditasi dalam membangun atmosfer ruang. Penonton dibawa masuk dalam keheningan yang dibangun oleh para pemain. Obor yang mengitari panggung merupakan cahaya satu-satunya penerangan ketika para penonton memasuki panggung. Gimmick dimulai ketika para pemain membentuk dua barisan di kedua sisi, mereka berjalan beiringan dari sisi masing-masing. Hentakan kaki dan suara kerincing seketika memecah keheningan, tidak ada musik lain selain suara tersebut. Para pemain mengitari panggung membentuk lingkaran yang diakhiri oleh tepuk tangan sebagai sebuah penanda akan dimualinya pertunjukan. Sebuah koreografi randai konvensional dengan sedikit eksplorasi tubuh oleh para pemain, sehingga menghasilkan komposisi bentuk yang menarik pada permulaan adegan. “persembahan para aktor untuk penonton telah usai, tanda keramaian akan segera berlangsung” tutur seorang pemain sekaligus sutradara Patuh Aminin yang sedari tadi diam di antara para pemain lainnya. Ia membacakan beberapa peraturan yang harus ditaati oleh semua penonton.

Nomor Nol dan Angka 0

Randai adalah salah satu pertunjukan tradisional daerah Minangkabau. Secara bentuk pertunjukan ia dimainkan berkelompok dalam pola melingkar dengan Janang (pimpinan) grup yang memberi aba-aba. Artinya, randai tidak dapat dimainkan oleh satu dua orang saja jika mengikuti konvensi sebenarnya. Pada dasarnya ia di bentuk dari penggabungan seni lagu (pantun), musik, tari, drama, dan silat. Selain sebagai media hiburan masyarakat pertunjukan randai ini pun digunakan untuk menyampaikan kaba (cerita) melalui syair yang didendangkan dan galombang (tari) dari gerakan silat Minangkabau. Pertunjukan “Buron Nomor Nol” sebagai sebuah lakon satire, mengajak penonton untuk mencoba membaca adegan demi adegan yang berlangsung. Adegan berlangsung cepat dengan dominasi tarian, silat, dan selingan musik namun tanpa dialog. Emphasis pentas ditujukan pada pola komposisi teatrikalitas yang beragam, mereka menggabungkan unsur randai dengan gerak-kreatif sebagai sebuah kalimat yang menjuntai pada setiap peristiwa adegan. Seluruh tim artistik (Sutradara, aktor, penata artistik, koreografer, dan lain-lain) membaca kemungkinan randai dengan beragam pula. Hal ini ditunjukan dengan tidak memasukannya unsur pantun yang menjadi salah satu unsur utama dalam randai. Selain itu, mereka mencoba lepas dari gerakan melingkar yang dominan pada randai, mengisi setiap ruang yang disediakan oleh penata artistik baik ruang kanan belakang (penjara), kiri belakang (kantor polisi), kanan depan (penjara), kiri depan (tempat musik dan penjara), maupun tengah (ruang eksekusi). Dengan demikian, pertunjukan randai “Buron Nomor Nol” penuh dengan lintasan gerak-tarian baik melingkar, horizontal, vertikal, maupun diagonal. Walaupun demikian, pertunjukan ini tidak melepaskan begitu saja unsur vital dalam randai, nyawa randai masih terlihat terutama sekali pada vocal aktor dan penanda lainnya seperti silat dan tarian.

Proses pertunjukan tradisional dengan menerapkan struktur dramatik teater modern memang susah-gampang, artinya ia memerlukan alat panggang ide-gagasan dan eksplorasi bentuk yang memadai. Struktur dramatik randai pada umumnya ialah Pembukaan-Rakyat-Penghulu-Rakyat-Penutup, sehingga peristiwa dramatik akan berakhir di rakyat. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya sebuah penjelajahan estetik sang penggarap untuk menampilkan pertunjukan yang berbeda.

Unsur yang berbeda salah satunya ialah tampilan kostum para pemain, baju putih dengan lingkaran hitam besar tepat di dekat dada, sehingga menjadi aksentuasi “Nol” yang hendak disampaikan oleh para pemain. Di sisi lain sekelompok orang memakai baret hitam sebagai representasi pihak keamanan yang kontras dengan para pemain lainnya. Mereka digambarakan sebagai antagonis yang mempunyai konflik berkepanjangan dengan pemain berbaju “Nol”. Jika ditinjau dari sejarah Minangkabau budaya konflik dan jaringan kekerasan telah menjadi satu catatan yang tidak bisa dilepaskan. Maka dari itu, konsep tentang konflik tidak hanya diakui tetapi juga dikembangkan dalam sistem sosial itu sendiri. Hal ini bertujuan untuk tercapainya integrasi masyarakat melalui proses dialektis. Unsur utama yang penting diperhatikan yakni pepatah Tagak ba kaum mambela kaum, tagak ba suku mambela suku, tagak ba nagari mambela nagari.Pada akhirnya tanah yang menjadi pijakan dan kepemilikan wajib diperjuangkan, sehingga kemerdekaan terasa nyata ditengah-tengah masyarakat. Lantas, pertanyaannya kemudian ialah apakah struktur dramatik pertunjukan randai “Buron Nomor Nol” mencoba menelisik kemungkinan sejarah konflik tersebut? Pada kenyataannya pertunjukan tersebut belum melepaskan anak panah ide-gagasannya ke arah sana. Pertunjukan hanya sebatas mengeksplorasi bentuk teater randai saja tanpa memaknai ruh-nya. Hal ini berdampak pada peristiwa setiap adegan yang terpisah-pisah, artinya penjahitan adegan tidak berjalan secara simultan. Dengan demikian setiap adegan memiliki alur cerita sendiri tanpa mempertimbangkan kesatuan alur cerita yang hendak diusungnya.

Nol secara semiotik menjadi penanda angka berbentuk 0. Ia bermakna kosong atau tiada. Namun, bisa juga ia berarti lingkaran, elips, dan angka itu sendiri dalam terminologi matematika. Pertengahan pertunjukan para pemain melingkari panggung, alunan musik terbangan dan suara botol beradu mengiringi silat-silatan yang diinstruksikan oleh pemain berbaret hitam (Azhar). Dengan suara menggeram ia memerintah para pemain untuk beradu silat, satu persatu mereka beradu silat dengan teknik yang beragam.

Penyutradaraan lingkaran intinya menyutradarai ruang pertemuan, interaksi, konflik, dan kesatuan, sehingga apa yang disutradarai olehnya harus memberikan energi pada ruang melingkar tersebut. Jika kata Nol berarti tiada maka kemudian harus muncul Nol yang ditandakan tersebut sehingga tidak berarti Angka 0 dalam artian bentuk yang tanpa makna, kecuali penonton dapat memaknainya. Hal ini terjadi dikarenakan oleh pemaknanan konflik secara literatur dan diintegrasikan dengan konflik pada struktur dramatik yang dibangun dalam pertunjukan, sehingga lingkaran dalam randai pada pementasan “Buron Nomor Nol” belum tampak mencengkeram pandangan serta perasaan.

Tali gantungan, baret, dan pisau

Tidak ada bunyi tembakan, meriam, roket, senapan laras panjang, atau bom atom dalam pertunjukan semalam. Akhir pertunjukan tampak pemain (Jihan, Ermelia, Dicky, Lala, Sari) menikam-nikam udara dengan pisau di tangan. Kemudian salah seorang pemain merampas baret hitam diatas kepala seorang pemain. Ia menaruh baret tersebut pada tali gantungan yang menjuntai ke bawah. Selain itu para pemain lainnya duduk melingkari aksi seorang pemain yang menaruh baret tersebut, sebagai simbol sebuah ritus kebebasan.

Randai memang pertunjukan tradisional Minangkabau, secara konvensional pertunjukan tersebut tidak pernah menyisipkan alat-alat mutakhir pada setiap pementasannya. Ada kemungkinan hal tersebut merupakan sesuatu yang tabu untuk dilakukan. Bahkan dapat merusak rangkaian dramatik serta pesan yang hendak disampaikan. Namun, pertunjukan “Buron Nomor Nol” yang sedari tadi menampilkan randai dengan format kontemporer tidak juga memasukan unsur mutakhir dalam pementasannya. Tali gantungan dan pisau menjadi benda simbolik untuk menandai tersingkirnya peran “baret” sebagai penguasa dari kancah pertarungan. Seandainya saja tembakan atau suara meriam terdengar diakhir pertunjukan, mungkin rasa randai kontemporer semakin tajam. Akan tetapi, pertunjukan tersebut patut di apresiasi. Mereka ternyata mampu menunjukan bahwa randai dapat juga dibentuk secara kontemporer dengan mempertimbangkan segi artistik dan dramatik. Pertunjukan tersebut menjadi pintu gerbang untuk sekian kalinya membuka kemungkinan dialog antara muatan lokal dengan teater mainstream (barat) sehingga menghasilkan bentuk-bentuk baru.

*Penggiat Seni Pertunjukan (Sutradara, Aktor, dan Scriptwriter) tinggal di Bandung

13953112881142515016
13953112881142515016
1395311462582570430
1395311462582570430

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun