Mohon tunggu...
Ika Sunarmi
Ika Sunarmi Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Ketika sebuah karya selesai ditulis, maka pengarang tak mati. Ia baru saja memperpanjang umurnya lagi. (Helvy Tiana Rosa)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Dia, Vanilla

7 November 2020   19:28 Diperbarui: 7 November 2020   19:46 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Nimatnya aroma Vanilla latte takkan menghilangkan nikmatnya secangkir kopi hitam tanpa gula. Karena hidup terkadang manis, terkadang sedih. Seruputlah perlahan. Biarkan aromanya menguar.

Minggu adalah hari di mana aku tak memiliki banyak waktu untuk me time. Tapi hari ini, aku sedang tak memiliki pekerjaan untuk kulakukan. Semua projek telah selesai dan projek selanjutnya baru dimulai dua minggu ke depan. Sebagai CEO sebuah WO yang sedang berkembang, aku hampir tidak memiliki waktu untuk menikmati hari minggu. 

Matahari telah condong ke ufuk barat. Sebentar lagi rona jingga itu akan menghiasi langit. Rona yang pernah begitu kucintai. Rona yang pernah membuat jantungku selalu berdegub kencang. 

Aku kembali melangkahkan kaki ke caf itu. Caf di mana dulu aku terbiasa menghabiskan waktuku denganya. Bukan untuk mengenangnya atau karena aku masih berharap dia kembali. Dia adalah masa lalu. Dan aku harus berdamai dengan masa lalu itu jika ingin terus melangkah. 

Aku tak harus berusaha melupakanya. Yang aku tahu semakin aku berusaha melupakannya, aku semakin mengingatnya dengan jelas. Bayangan itu semakin mengikatku dengan erat. Jadi kuputuskan untuk kembali ke caf ini. Aku tak boleh lagi terus mengurung hatiku pada kenangan itu.

Kuhentikan kakiku tepat di depan pintu masuk. Pintu ini dulu sering kulewati sembari mengenggam tangannya. Kutarik nafas perlahan, kutahan dalam hitungan ketiga kuhembuskan kembali secara perlahan. Aku masih merasakan debaran itu. Debaran setiap kali melangkah pada pintu ini.

Dengan keyakinan penuh kulangkahkan kakiku memasuki ruangan. Kuedarkan pandanganku mencari tempat duduk kosong. Dan aku menemukannya. Di sudut ruangan. Kuingat jelas tempat itu adalah tempat favoritku dengannya. Tak ada meja kosong lainnya selain itu, sembari kembali menghembuskan nafas kuseret kakiku ke arah meja itu.

Rasanya masih sama seperti dua tahun lalu, saat terakhir kali aku bisa menggenggam tangannya. Saat terakhir kali aku bisa menatap matanya yang bersinar. Aku duduk di tempat duduk yang biasa dia duduki. Aku ingin tahu bagaimana rasanya. Ini adalah tempat duduk favoritnya, dari sini, aku bisa melihat ke arah pintu masuk sekaligus aku bisa melihat lalu lalang di luar sana melalui jendela kaca di samping kananku. Dulu aku hanya bisa menatap ke arahnya. Kini aku tahu kenapa dia membiarkanku selalu duduk di seberangnya, supaya aku hanya menatapnya.

Kutarik nafas lagi berharap sisa-sisa aromanya masih tertinggal. Ah.... Aku masih terus bergulat dengan hatiku. Sejauh apa pun aku berusaha menghapusnya, dia tetaplah yang terindah. Aku bahkan tak pernah berniat menggantinya. 

"Mau pesan sekarang atau nanti, Mas?" suara pelayan itu membuyarkan seluruh lamunanku. 

"Vanilla latte panas jangan terlalu manis dan kopi hitam gulanya setengah sendok," jawabku tanpa melihat daftar menu yang disodorkannya. Tanpa kusadari aku memesan dua porsi minuman seperti biasanya dulu aku bersamanya. Tapi kuputuskan untuk membiarkannya. Aku penasaran dengan minuman kesukaannya itu. Biarkan saja ini akan menjadi moment terakhir aku mengingat tentangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun