“Mau ikut bantu Bulek ngerjain mesin EDC ta?”
Tawaran itu datang suatu ketika dari adik ibu saya yang saya panggil dengan sebutan bulek. Waktu itu bulek memiliki usaha agen sebuah bank. Ia bekerja sama dengan petugas di sebuah daerah PKH atau Program Keluarga Harapan yang tugasnya mencairkan dana bantuan.
Kebetulan, saat itu saya sedang butuh tambahan uang untuk membayar kontrakan. Jadilah tawaran itu saya terima sambil tetap mengerjakan kerjaan bloger dan influencer di media sosial.
Yang namanya bekerja, mau itu sama saudara atau tidak, tentu ada suka dukanya. Sebetulnya intinya sama, kita tetap harus profesional. Nggak boleh gampang ‘baper’ alias terbawa perasaan kalau ada apa-apa yang terasa kurang nyaman.
Tapi dari sekian suka duka yang ada, saya merasa pekerjaan yang hanya saya lakoni sekitar beberapa bulan ini banyak memberikan ilmu kehidupan.
Selama ini saya banyak bekerja dengan kehidupan masyarakat kota. Namun saat itu, selama beberapa bulan saya jadi tahu dan dekat dengan kehidupan masyarakat di desa.
Bertarung dengan Sinyal dan Minimnya Penunjang Teknologi di Desa
Sebagai orang yang setiap hari dan hampir setiap saat berurusan dengan internet, nyatanya dunia saya jadi banyak jungkir baliknya saat jadi operator mesin EDC.
Jadi, tugas yang harus dilakukan saat ikut bulek waktu itu adalah menjalankan mesin EDC atau sebagai operator. Mesin EDC adalah mesin yang dipakai untuk transaksi keuangan dengan menggunakan kartu.
Sebagai agen bank yang bekerja sama dengan PKH dalam pencairan dana, bulek harus membawa banyak uang, hingga pengadaan sembako yang dibagikan ke masyarakat.
Masyarakat yang terdaftar dalam catatan PKH penerima bantuan, akan datang sambil membawa kartu debit khusus untuk penerima bantuan.
Karena harus memecah konsetrasi selama pembagian bantuan itulah, bulek membutuhkan orang lain sebagai operator yang bisa menjalankan mesin EDC. Kebetulan, ia tahu saya paham teknologi sehingga mengajak saya untuk mencairkan bantuan.
Nyatanya, tugas sebagai operator mesin EDC ini tak hanya sekedar menghapal prosedur cara menggesek kartu. Ada beberapa hal yang bisa dibilang tricky untuk dilakukan.
1. Sinyal
Mesin EDC ini sangat tergantung dengan sinyal Telkom. Kalau di kota, sepertinya hal ini minim masalah. Namun tidak demikian di desa.
Tempat bulek mencairkan bantuan PKH ini berada jauh dari pusat kabupaten. Saat pencairan di pusat kecamatannya, sinyal memang aman. Tapi kalau harus ke pelosok desa, saya harus bertarung dengan sinyal yang bisa hanya satu atau dua garis saja.
Jika misal pencairan bantuan PKH awalnya ditempatkan di balai desa, lalu kami datang dan saya kesulitan mendapatkan sinyal untuk mesin EDC, mau tak mau tempat pencairan dana pun harus pindah tempat.
Sampai pernah kejadian, dalam satu kali proses menggesek mesin EDC, kami harus berkali-kali pindah tempat. Pernah juga sedang lancar menggesek kartu di mesin EDC, tiba-tiba ada angin berhembus, eh, sinyalnya hilang.
2. Kecepatan
Mesin EDC ini bisa dibilang harus dipegang orang yang paham teknologi dan terbiasa menekan tombol dengan cepat. Alasannya karena harus bertarung dengan waktu.
Sering terjadi saat tiba di tempat pencairan bantuan dalam kondisi hampir petang, sementara kartu bantuan yang digesek menumpuk begitu banyak. Kasihan melihat warga yang menunggu lama proses pencairan bantuan. Apalagi, orang antri itu ujiannya adalah sabar!
Ada yang antri sambil bawa anak lalu anaknya nangis terus minta pulang. Ada yang buru-buru harus balik ke sawah lagi. Ada yang buru-buru harus cari rumput untuk pakan ternaknya. Ada yang buru-buru karena takut kehujanan sementara rumahnya cukup jauh dari tempat pencairan bantuan.
Alasan lain, jika menekan tombol-tombol mesin EDC secara lambat, sering terjadi kasus proses macet. Kerap terjadi, uang di kartu bantuan saldonya sudah berkurang, tapi saldo di bulek saya tidak. Atau malah sebaliknya.
Saya menyebut kasus ini sebagai transaksi ‘gentayangan’. Biasanya berhubungan juga dengan masalah sinyal. Untungnya saya bisa mengoperasikan mesin dengan cepat.
Sementara, ada petugas mesin EDC yang usianya sudah 50-an tahun dan cukup berhati-hati alias pelan dalam menjalankan mesin EDC. Ia sampai mengalami banyak kasus transaksi gentayangan seperti ini.
3. Menghitung uang dengan teliti
Namanya saja ikut orang dan urusannya uang. Meski itu bulek sendiri, tetap, saya harus bertanggung jawab apabila terjadi kasus selisih uang.
Saat menggesek kartu bantuan PKH, saya harus hati-hati dengan nominal yang diketik di mesin EDC, berikut uang yang diberikan ke penerima bantuan.
Pernah suatu ketika terjadi selisih uang sekitar seratus ribuan. Catatan kartu yang sudah digesek, catatan saldo di rekening bulek, dengan jumlah uang yang dipegangnya terjadi selisih nominal.
Awalnya bulek tidak memermasalahkan hal tersebut. Namun, saya merasa tidak enak hati dan harus bertanggung jawab.
Akhirnya sepanjang perjalanan di mobil, saya menghitung ulang, berapa kartu yang sudah digesek waktu, berapa catatan uang yang tak sesuai dengan nominal pengambilan, serta saldo uang riil di bulek dan saldo di banknya.
Ternyata selisihnya ada di catatan nominal kartu yang digesek tidak sesuai dengan jumlah yang seharusnya. Jadi terkadang, masyarakat yang memegang kartu PKH ini ada yang sudah colong start ambil uang duluan di ATM.
Akhirnya saat pencairan dana, dia menerima uang dengan jumlah beda dengan penerima bantuan lainnya.
Untungnya selama menjadi operator mesin EDC, saya memiliki catatan sendiri selama proses transaksi. Karena ya itu tadi, ini perkaranya bukan uang saya sendiri.
4. Listrik dan cuaca
Mesin EDC ini selain tergantung sinyal, juga tergantung listrik. Kalau listrik padam, sinyalnya hilang. Kalau pas listrik mati sedangkan kapasitas baterai makin menipis, juga merepotkan.
Jadi pernah suatu ketika sewaktu hujan deras, listrik mati, dan saya harus pindah-pindah tempat agar bisa menggesek mesin EDC.
Apalagi posisi desa yang pelosok seperti jauh dari peradaban. Tiap hujan deras, selalu listriknya mati.
Pernah baik saya, bulek, petugas PKH, hingga masyarakat yang ada cuma bisa menunggu hujan reda dan listrik kembali hidup. Sudah berusaha pindah-pindah tempat mencari sinyal, tetap gagal.
Masyarakat Desa dan Banyak Cerita
Terbiasa tinggal bersama masyarakat kota, nyatanya membuat saya sering keheranan dengan ini itu. Mulai dari budaya, cara komunikasi, serta cerita-cerita unik bisa saya temukan saat berinteraksi dengan masyarakat di desa.
1. Buta aksara
Jika terkait tentang masyarakat yang awam teknologi, rasanya di kota juga banyak ceritanya. Tapi untuk urusan buta aksara, cukup membuat saya terkejut.
Saya pikir meski usia tua, masalah buta aksara sepertinya tak akan pernah saya jumpai di masa kini. Nyatanya saat membantu bulek mencairkan dana bantuan, saya sempat menjumpai satu dua orang yang asli buta aksara.
Ada warga desa yang tidak bisa membaca nama di kartu yang mereka miliki sendiri. Jadi sewaktu saya tanya kartunya yang mana di dalam antrian tumpukan kartu, ia menggeleng, tak tahu mana miliknya karena ia tak bisa membaca.
2. Harus menahan bau pesing
Dalam antrian warga yang datang, pernah juga saya menjumpai orang yang hidupnya benar-benar sangat miskin. Awalnya, saya sempat merasakan aroma pesing yang luar biasa. Ternyata saya menjumpai seorang pria tua dengan baju lusuh dan aroma pesing yang makin menguat saat ia berdiri tepat di depan saya untuk mengantri.
Yang saya dengar dari pendamping PKH, pria tua ini hidup sebatang kara dengan kondisi sangat memprihatinkan. Ia biasa mendapat makan dari tetangganya. Tak punya baju bersih yang mencukupi jumlahnya. Selain itu, ia sudah mulai mengalami pikun.
3. Cerita warga yang suntik vitamin C
Selama menggesek kartu di mesin EDC, biasanya memang saya bisa fokus mengerjakan dengan gerak tangan cepat, tapi telinga bisa ke mana-mana. Jadi, ibu-ibu yang antri ini biasanya bisa berkerumun di dekat saya sambil membicarakan banyak hal. Salah satunya urusan gibah!
Pernah suatu ketika saya mendengar cerita seseorang yang katanya putih, tapi karena rajin suntik vitamin C. Kalau badannya kelihatan sedang nggak seberapa putih, berarti waktunya ia harus ke kota untuk suntik.
Mendengar itu, reflek saya berhenti mengoperasikan mesin EDC lalu sontak tertawa terbahak-bahak. Warga yang asyik gibah langsung serentak menoleh ke saya dan menatap keheranan.
Ya habis gimana dong, saya kan takjub. Saya pikir orang tinggal di desa itu jauh dari sentuhan kecanggihan teknologi kecantikan. Nyatanya, ada juga lho yang sampai rajin suntik Vitamin C segala!
4. Politik yang tak bisa diceritakan secara detail
Tak semua dan tak banyak masyarakat yang melek politik. Salah satunya di bagian cerita ini. Namun karena saya tidak bisa menceritakan secara eksplisit, inti ceritanya adalah, masih banyak masyarakat di desa yang melakukan pilihan untuk menentukan pemimpin dalam jangka waktu yang tidak cukup satu dua tahun, tapi dengan pertimbangan balas budi.
Dan itulah yang saya temukan pada banyak masyarakat desa. Bagi mereka, hidup mereka tak bergantung pada siapa pemimpinnya. Di suruh nyoblos A sebagai balas budi, ya sudah, nyoblos saja.
Toh mereka bisa makan atau tidak ya tergantung usaha mereka di sawah, atau hewan-hewan ternak yang mereka pelihara. Berpikir dengan sesimpel itu.
Debat calon pemimpin di televisi, jejak catatan apa yang sudah pernah dilakukan calon pemimpin, janji ke depan saat jadi pemimpin akan melakukan apa, tak ada dalam kamus pikiran mereka dalam memertimbangkan ketika akan masuk bilik pemilihan pemimpin.
Menjadi operator mesin EDC nyatanya memang membuat saya jadi punya banyak cerita. Melihat wajah kebanyakan masyarakat desa itu seperti melihat wajah anak-anak yang tidak usah dilihat dengan banyak persepsi. Yang ada di kepala begitu sedehana, dan itulah yang mereka tunjukkan dalam sikap dan tutur kata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI