Mohon tunggu...
Ika Maya Susanti
Ika Maya Susanti Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan pemilik blog https://www.blogimsusanti.com

Lulusan Pendidikan Ekonomi. Pernah menjadi reporter, dosen, dan guru untuk tingkat PAUD, SD, dan SMA. Saat ini menekuni dunia kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Harpitnas Tetap Ada dan Imlek Tidak Dimajukan Saja

31 Januari 2022   11:33 Diperbarui: 31 Januari 2022   11:47 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana perayaan Imlek di sebuah klenteng yang ada di Batam. Foto: dokumen pribadi.

Sebuah status seorang teman di Facebook kali ini benar-benar membuat saya tak tahan untuk tidak berkomentar. Ia menulis, mengapa harpitnas tetap ada kali ini, kok tidak dimajukan saja. Bahkan, kata-kata 'mual terhadap rezim' pun ia sebut sebagai bentuk protesnya.

Sejenak saya menghela napas sambil geleng-geleng kepala. Kali ini saya bukannya mau membela pemerintah atau siapapun. Sebagai orang yang pernah menjadi reporter sewaktu di Batam dan mendapat job desk liputan budaya Tionghoa, saya jadi mengerti makna di balik Imlek.

Yang saya tahu, bagi orang Tionghoa, Imlek itu tak hanya sekedar tahun baru. Ada sebuah permulaan masa yang ditandai dengan perubahan shio. Setiap awal tahun, mau yang ramalan shionya chiong atau hoki, semua berharap mengawalinya untuk mendapat keberuntungan selama menjalani satu tahun tersebut.

Tak heran di saat Imlek, orang Tionghoa akan mulai melakukan beberapa ritual atau kebiasaan yang bahkan dimulai sebelum Imlek. Misalnya bersih-bersih rumah sebelum Imlek, menyalakan petasan atau berbagi angpau saat Imlek. Tujuannya tentu saja, agar mereka bisa selalu beruntung atau hoki selama setahun nantinya.

Sementara bagi orang Konghucu, Imlek dianggap sebagai hari besar. Kalau buat orang Islam, seperti perayaan Idul Fitri. Dan perlu kita ingat, Konghucu sudah diakui sebagai salah satu agama di Indonesia.

Saat Imlek, apakah dia orang Konghucu ataukah orang Tionghoa yang beragama lain, biasanya akan sembahyang di Vihara atau Klenteng. Tak heran, saat malam dan sewaktu hari H Imlek, orang Tionghoa akan pergi ke sana untuk beribadah.

Lantas apa jadinya jika harpitnas yang menjadi singkatan dari hari kejepit nasional ditiadakan? Tentunya, akan janggal jika mereka yang merayakan Imlek disuruh sembahyang di waktu yang bukan waktunya.

Jangankan Imlek yang dimajukan. Hari sebelum Imlek saja biasanya akan dipakai orang Tionghoa untuk menyiapkan diri dan keluarganya. Lalu ndilalah, mereka harus masuk kerja hari ini. Coba bayangkan?

Nah, semua yang saya tulis tadi, secara singkat dan dipadatkan, saya jawab di kolom komentar Facebook teman saya tadi. Seperti dugaan saya sebelumnya, yang namanya orang kalau sudah antipati terhadap pemerintah, mau penjelasan jelas dan logis macam apapun, akan sulit diterima.

Cuma dari hal ini, ada yang jadi harapan saya untuk pemerintah dan bagi masyarakat yang tidak ikut merayakan hari besar agamanya. Yang pertama bagi pemerintah, mohon ke depannya jika itu menyangkut perihal hari besar keagamaan, sebaiknya tidak memajukan atau memundurkan begitu saja hari libur. Karena di balik tanggal merah, ada orang-orang dengan keyakinan tertentu yang harus melaksanakan ibadah tertentu juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun