Mohon tunggu...
Ikal HIdayat Noor
Ikal HIdayat Noor Mohon Tunggu... -

jurnalis yang gemar menulis fiksi...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kematian yang Paling Bahagia

5 Februari 2015   22:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:45 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebelum kau bertanya, “Kematian seperti apa yang paling bahagia?” waktu telah lebih dulu beku, menjadi bongkah-bongkah batu.

Jalanan yang sepi, lengang dan kelabu disamarkan rintik hujan. Pohon-pohon di sisi kanan-kiri merunduk, bagai seorang nenek tua yang merindu hangat peluk. Hanya sesekali kendaraan lewat dengan kecepatan yang tak seberapa, memecah sepi yang hampir saja jadi tembaga. Hujan memang seringkali membuat segala sesuatu melambat. Seolah memberi jeda bagi semua orang untuk menyadari sesuatu yang telah hilang.

Seperti kebanyakan pengunjug di kafe itu, kita pun hanyut dalam kata-kata. Ditemani dua cangkir capucino yang dari sejam yang lalu tak lekas tandas. Sembari pandang sesekali meloncat ke arah jendela, menelisik gerimis dan lelehan air yang merambat pelan di permukaan kaca, yang entah mengapa, selalu mengingatkanmu pada seorang anak kecil yang wajahnya berurai air mata.

Kau tersenyum getir: Anak itu sebenarnya adalah anak yang luar biasa.

Aku menganggukkan kepala, menarik nafas dalam-dalam,mencoba menyelami palung nestapa yang sedang kau rasa.

Aku belum pernah melihat anak yang seriang dan sekaligus menanggung nestapa sepertinya, katamu menuntasi jeda yang sejenak tunda. Dengan sepasang mata kaca dan kalimat yang hampir terbata. Kau memang selalu jadi emosional setiap kali mengenang atau bercerita tentang anak itu.

Aku menggapai tanganmu, mengusapnya lembut. Dan kita larut dalam perasaan masing-masing. Kau dengan bayang-bayang anak kecil itu, sedangkan aku dengan kebimbangan dan ketakberdayaanku untuk membuatmu berhenti mengenang kegetiran di masa lalu. Sementara itu suasana kafe terasa jadi hening. Rintik hujan menajam, mengiring suara halus Jazon Miraz yang mengalir perlahan di tubir dinding.

Kalau sudah begitu aku mulai ciut menatap kedua matamu. Kualihkan pandanganku secara acak ke penjuru kafe. Beberapa pelayan yang lalu lalang mengantarkan pesanan, sepasang pemuda di seberang meja yang tengah asyik merokok sembari sesekali tertawa keras-keras, para pengunjung yang nyaris semuanya berpasang-pasang, rangkaian bunga yang ditaruh di sana-sini, lukisan-lukisan di dinding, kipas angin yang berputar pelan, dan kaca jendela yang masih basah oleh tempias hujan.

Aku mulai mengingat kembali ceritamu tentang anak itu. Cerita yang tidak kusukai karena membuatmu, yang biasanya begitu riang, menjadi bersedih hati.

Bahwasannya, pada suatu malam yang riang, entah pada hari apa, kau duduk-duduk di halaman rumahmu. Alfin, nama anak kecil itu, datang menenteng sebuah kantong plastik hitam. Sampai sekarang aku masih belum khatam membayangkan bagaimana wajah, pakaian dan  sisiran rambutnya.

Alfin menghampirimu sembari bilang:

“Kak Salma, tau nggak, Alfin bawa apa?”

“Nggak tahu. Emangnya kamu bawa apa, Sayang?”

“Yaelah, Kak Salma. Masa gitu aja nggak tahu. Payah, nih!”

“Hehehe... Boleh Kak Salma coba tebak...”

Alfin mengangguk sembari mengurai senyum. Dalam hati, mungkin bocah periang itu bilang, coba saja kalau kau bisa. Kau pun mulai menyebut belasan nama benda yang sekiranya muat dimasukkan ke dalam kantong plastik. Tapi Alfin selalu hanya menggeleng. Tak satu pun tebakanmu beroleh angguk.

“Duhh, apaan sih?” Tanyamu diserta mimik putus asa.

“Ciee, Kak Salma..., nyerah, nih, ceritanya?”

Kau pun mulai menggelitik dan mencubitinya. Lalu, menarik bocah berusia sebelas tahun itu ke pangkuanmu. Kau pandangi wajahnya yang begitu ruah oleh kegembiaraan, seperti baru saja memenangkan sebuah perlombaan.

Alfin menggapai tanganmu. Mencari jari telunjuk. Lalu, perlahan-lahan membimbingnya ke arah langit yang jelaga.

“Kak Salma lihat, di langit ada apa?”

“Langitnya gelap, Sayang! Nggak ada apa-apa di sana.”

“Nah, Kak Salma tahu, kemana perginya bulan dan bintang-bintang itu?”

Kau hanya menggeleng. Menunggu Alfin memberikan jawaban. Pelan-pelan ia menempelkan bibirnya ke telingamu, berbisik.

“Jangan bilang siapa-siapa ya, Kak. Alfin yang mencuri bulan dan bintang-bintang itu...”

Kau mengernyitkan alis dan membelalakkan mata. Wajahmu mengisyaratkan seolah kau begitu takjub. Kau pun bertanya bagaimana Alfin bisa mengambil itu semua. Dengan suara yang masih berbisik ia menjawab.

“Aku manjat langitnya pakai tangga, Kak!”

Dengan penuh antusias, Alfin bercerita bahwa diam-diam ia dibantu para kurcaci membuat tangga yang begitu pajang, sehingga tangga tersebut mampu menjangkau atap langit. Kau mengangguk seolah mengerti.

“Terus, sekarang bulan sama bintang-bintangnya kamu taruh mana?”

Alfin mengangkat kembali kantong kresek yang sedari tadi digenggam tangan kirinya. Mendekatkannya ke wajahmu, sembari jari telunjuk tangan kanannya menuding ke arah kantong itu. Kau langsung mengerti isyarat tersebut. Bibirmu mengeluarkan desis, “Ooo..”

Sampai di situ, sebenarnya aku pun turut mengagumi sosok bocah yang banyak akal itu. Daya imajinasinya sungguh luar biasa. Sesekali aku sempat berhayal, seandainya ia tumbuh dewasa, tentu saja ia akan menjadi seorang penulis memukau yang karya-karyanya dipenuhi dengan cerita-cerita surealis.

Entah sudah berapa lama kita terdiam. Sampai aku tersadar dan kembali mencari-cari tanda dari kedua bola matamu. Kau masih hanyut dalam lamunan. Menghadirkan kembali keceriaan yang telah lama pudar.

Kurasakan dingin seolah menebal berkali-kali lipat di kafe ini. Menggigit kulit dan perasaan kita. Sedangkan, entah siapa yang merencanakan, pemutar suara yang sedari tadi bernyanyi, tiba-tiba merengek, memperdengarkan suara Jason Miras yang dengan penuh nestapa menyanyikan kata demi kata dari lagu “Love For A Child”.

Semuanya seolah berkompromi, bahu-membahu untuk sebuah pentas drama yang paling melankolis.

Aku kembali mengingat-ingat ceritamu tentang Alfin. Cerita yang tentu saja kurekam baik-baik karena aku selalu saja tertarik kepada cerita-cerita yang kaututurkan. Tentang apa saja. Jujur, dalam setiap kesempatan aku selalu mengagumimu. Kau begitu pandai menarik perhatian orang lain. Keriangan dan ketulusan yang kau punyai bagai medan magnet yang dengan otomatis merengkuh hati untuk bersimpati.

“Kak Salma mau lihat bulan sama bintang-bintangnya, nggak?”

“Emang boleh?”

“Apa sih, yang enggak buat Kak Salma!”

Dengat genitnya bocah kecil itu menggodamu. Dalam hatimu, saat itu, mungkin kau juga sedang menumpuk-numpuk kekaguman. Bisa jadi kau mulai bertanya, bagaimana bisa bocah ini selalu mengerti cara untuk membuatku bahagia. Ia mendekatkan kantong kresek itu ke arahmu.

“Tapi, hati-hati lihatnya ya, Kak. Nanti bulan dan bintang-bintangnya terbang, susah nangkapnya.”

Kau pun mengangguk. Lalu dengan sangat hati-hati mendekatkan kepalamu ke arah kantong kresek yang sudah mulai lecek itu. Kau melihat di dalamnya ada sebuah kue bolu yang bundar sempurna, juga beberapa panganan kecil berwarna-warni yang bentuknya menyerupai bintang.

“Gimana Kak Salma,sudah lihat?”

Kau hanya mengangguk.

“Enaknya bulan dan bintangnya kita apain ya, Kak?”

Kau mengernyitkan dahi, pura-pura berpikir.

“Gimana kalau dikembalikan lagi ke tempatnya. Kasihan itu langitnya jadi kesepian,” ucapmu memberi usulan.

Alfin sejenak terdiam, seolah sedang mencerna kata-katamu. Sedangkan kau menunggu reaksi bocah itu dengan sedikit kegelisahan. Jangan-jangan apa yang baru saja kau ucap mengacaukan kegembiraan kanak-kanaknya. Tapi beberapa saat kemudian kau mendapat sebuah jawaban yang tak pernah kau bayangkan.

“Ah, siapa bilang langit akan kesepian kalau nggak ada bulan sama bintang? Orang masih banyak awan dan pesawat terbang ini! Jangan, ah, sayang kalau dikembalikan.”

“Loh. Terus, mau Alfin apain?”

“Emm, gimana kalau kita jual ke pasar, aja! Nanti uangnya buat beli mobil-mobilan... ”  Ujarnya dengan mata penuh binar. Tapi buru-buru ia tarik kembali kata-katanya. “Eh, jangan, deh, hari gini mana ada yang mau beli bulan sama bintang. Gimana, kalau kita makan saja! ”

Kau tertawa geli mendengar kalimat yang berloncatan tak henti-henti dari bibir bocah  yang baru duduk di kelas empat Sekolah Dasar itu.

“Jangan, nanti kalau kita sakit perut gimana?”

Kau masih saja meladeni permainan imajinasi anak kecil itu. Kau pasti sangat iri dengannya yang begitu bebas berkhayal ini-itu. Mungkin saja diam-diam kau menyesal mengapa kau begitu lekas dewasa. Bukankah seharusnya masa kanak-kanak itu abadi.

“Kalau sakit perut, ya minum obat lah. Gitu aja repot!”

Alfin mulai mengeluarkan sebuah bintang dan memasukkan ke dalam mulutnya.

“Rasanya enak banget! Manis. Kayak es krim yang tempo hari Kak Salma bawa. Kakak mau coba?”

Kau mengangguk. Alfin mengambil sebuah bintang lain dan menyuapkannya ke mulutmu.

“Gimana rasanya?” Tanyanya meminta pendapat.

“Yang ini rasanya gurih, kayak tempe goreng.”

Ada tawa yang tak henti berderai dari bibirmu.

Ia kembali memakan sebuah bintang, lalu sontak berteriak.“Wah, yang ini rasanya pedas banget, Kak Salma. Huaa.. Huaa. Kok, ada ya, bintang rasa cabai!”

Kau pun tertawa melihat kelucuan yang nampak begitu natural. Tidak seperti lawakan yang marak di televisi. Candaan-candaan yang dipenuh-sesaki caci-maki, lecehan dan perkataan jorok. Mengorbankan harga diri demi membuat penonton tertawa.

Aku juga pernah berhayal, kalau seandainya bocah itu sempat dewasa mungkin ia juga akan menjadi seorang pemain teater yang berbakat, yang membuat naskah sekaligus membintangi sebuah pementasan drama yang ditonton oleh ribuan pasang mata. Tapi entahlah, aku memang terlalu senang menghayal.

Kulihat sejenak ke luar, hujan telah berhenti. Lampu-lampu sepanjang trotoar telah menyala. Di jalananan ratusan cahaya berlari, saling papas dan melewati. Sedang kita masih saja terdiam. Mengakrabi ingatan yang berputar bersama jarum jam.  Membuka lembar demi lembar hari yang telah jadi silam.

Seharusnya ceritamu tentang Alfin berhenti pada bagian itu saja. Pada episode yang mengisahkan tawa dan keceriaan yang sempurna. Seharusnya tak ada cerita selanjutnya yang membuatmu sesak menumpahkan air mata. Tapi mungkin memang begitu cara Tuhan membuat skenario. Selalu saja ada akhir yang tak tertebak.

Malam itu setelah kenyang memakan semua bintangnya, Alfin pamit pulang dengan menyisakan utuh sebuah bulan. Kau masih ingat apa yang hendak dilakukannya terhadap bulan itu.

“Aku akan menggantung bulan ini di langit-langit kamarku. Biar ibu tak perlu lagi menyalakan lampu.”

Kau hanya mengangguk.

“Kak Salma jangan sedih ya, Kak. Kalau mulai besok Kakak nggak akan bisa lihat bulan dan bintang-bintangdi langit lagi.”

Saat itu kau hanya menganggap kata-katanya sebuah candaan belaka. Bukan isyarat yang bertahun-tahun mengekalkan luka.

Seharusnya memang ibunya tak perlu lagi menyalakan lampu. Apalagi menyiramkan bensin ke tubuh mereka, dan menyalakannya dengan sebatang korek api demi sebuah cahaya. Malam itu kamar Alfin telah benderang oleh bulan yang digantungnya di langit-langit kamar. Entahlah, mungkin hanya penderitaan yang maha saja yang mampu menjelaskan itu semua.

Sampai kau tiba-tiba bertanya, “Kematian seperti apa yang paling bahagia?”  waktu telah lebih dulu beku. Menjadi bongkah-bongkah batu.

Jati Padang, 14 Maret 2014


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun