Mohon tunggu...
Ika Lailatul Inayah
Ika Lailatul Inayah Mohon Tunggu... Mahasiswi

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Problematika Sosial Budaya dalam Pendidikan Anak Usia Dini

13 Juli 2023   14:22 Diperbarui: 13 Juli 2023   14:27 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perhatian berbagai pihak terhadap pendidikan anak usia dini saat ini begitu antusias. Pemerintah dan masyarakat telah melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan pendidikan anak usia dini di Indonesia. Namun demikian, pendidikan AUD masih banyak menghadapi problematika. Problematika tersebut begitu kompleks dan memiliki keterkaitan.

Beberapa persoalan tersebut, menurut Suyanto, (2005:241-243), antara lain berkaitan dengan : 

(1) perekonomian yang lemah

(2) kualitas asuhan yang rendah

(3) program intervensi orang tua yang rendah

(4) kualitas PAUD yang rendah

(5) kuantitas PAUD yang kurang

(6) kualitas pendidik PAUD rendah

(7) regulasi atau kebijakan pemerintah tentang pengelolaan PAUD.

Pertama, secara kuantitas penduduk Indonesia masih banyak yang hidup dalam taraf kemiskinan. Menurut data BPS sebagai banyak dilansir oleh media masa, pada tahun 2009 kurang lebih 32,7 % rakyat Indonesia miskin. Dengan demikian, lebih dari 32,7 % anak usia dini hidup dalam keluarga miskin. Dalam keadaan ekonomi yang begitu sulit, orang tua si anak tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak. Selain itu, banyak anak usia dini yang seharusnya mendapatkan bantuan mengembangkan potensi yang dimilikinya, terpaksa mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Misalnya, di kota-kota besar terlihat anak usia dini yang berprofesi sebagai pengemis, pemulung, dan lain-lain. Dengan begitu, anak tidak mendapat pelayanan pendidikan yang benar karena tidak memiliki biaya, yang akhirnya sibuk mencari uang untuk membantu ekonomi keluarganya.

Selain itu, begitu banyak anak usia dini yang tidak dapat minum susu yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya. Anak hanya meminum ASI ibunya, itupun mungkin hanya setahun karena banyak anak usia 1 tahun mempunyai adik lagi. Kualitas ASI pun mungkin sangat rendah karena asupan gizi si ibu sendiri pun kurang. Selain itu, kualitas makanannya pun tidak memenuhi kebutuhan gizi hariannya. Hal ini dapat berpengaruh terhadap potensi genetiknya. Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak dapat berkembang secara optimal. Pertumbuhan badan dan kecerdasan anak terhambat. Tak dapat kita bayangkan bagaimana kehidupan bangsa dengan banyak generasi penerus dengan kondisi seperti ini. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengubah kehidupan rakyat miskin. Rakyat kurang mampu atau miskin harus segera dikurangi sehingga anak-anak dapat memenuhi kebutuhan gizinya dengan baik sehingga generasi penerus bangsa adalah generasi yang cerdas & sehat.

Kedua, di media masa masih banyak kasus ibu yang tega membuang anaknya ketika dilahirkan, bahkan tega membunuh anak kandungnya sendiri. Begitu banyak alasan mengapa mereka melakukan tindakan tersebut, mulai dari rasa malu karena bayi tersebut merupakan hasil hubungan gelap sampai kepada rasa khawatir karena tidak akan mampu merawat, mengurus dan membiayainya. Hal ini membuktikan tingkat kualitas asuhan terhadap anak usia dini begitu rendah. Tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi ibu dan calon ibu turut memperparah keadaan ini. Banyak dijumpai Ibu yang tidak tahu bagaimana cara memberi makan, cara mengasuh, cara merawat dan memberikan pendidikan kepada anak. Karena tingkat ekonomi yang rendah, banyak ibu serta calon ibu yang tidak sempat membaca buku tentang merawat dan mendidik anak. Daripada untuk membeli buku, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka harus bekerja keras. 

Ketiga, program intervensi (langkah yang dimaksudkan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik) untuk membantu keluarga dengan anak usia dini masih rendah. Program Pos Pelayanan Terpadu (posyandu) belum bisa memenuhi kebutuhan mereka. Bahkan, program ini di beberapa daerah hampir tidak dilaksanakan. Istilah yang tepat untuk kehidupan Posyandu adalah hidup enggan mati tak mau. Sebagai bukti nyata, terdapat banyak bayi yang kekurangan gizi tidak terdeteksi oleh petugas kesehatan. Keberadaan mereka dapat diketahui setelah tersiarkan di televisi-televisi. Memang, dalam praktiknya Posyandu saat ini tidak seideal dengan tujuan program semula. 

Belakang ini Posyandu, di beberapa tempat, dilaksanakan oleh para pengurus RW dan RT tanpa didampingi oleh para ahli kesehatan yang memadai. Kegiatan Posyandu secara rutin hanya melakukan penimbangan Balita tanpa memberikan penyuluhan dan bimbingan yang memadai kepada mereka. Mereka tidak mendapat bantuan makanan pokok, susu untuk anak-anak ketika anak mengalami kekurangan gizi. Bantuan amat terbatas sehingga tidak menjangkau seluruh rakyat miskin. Akibatnya, banyak ibu hamil yang kekurangan gizi, pemeriksaan dokter. Begitu banyak ibu hamil yang tidak mampu memeriksakan kondisi kandungan-nya, sehingga pertumbuhan dan perkembangan janin kurang terawat dan tidak optimal. Hal ini mengakibatkan tingkat kematian bayi dan ibu sangat tinggi. Hal ini sangat jauh berbeda dengan negara-negara maju di mana keluarga miskin dan keluarga tidak mampu mendapat gaji, bantuan makanan pokok, dan susu untuk anak mereka.

Keempat, kenyataan di masyarakat institusi pendidikan anak usia dini amatlah sedikit yang dikelola oleh pemerintah, hampir sebagian besar institusi pendidikan anak usia dini yang ada dikelola oleh pihak swasta dan masyarakat. Ini berarti biaya PAUD masih ditanggung oleh orang tua dan masyarakat, sementara itu kondisi ekonomi masyarakat kita masih lemah. Bangunan yang digunakan untuk pendidikan anak usia dini yang ala kadarnya, ruangan yang begitu terbatas, tanpa memperhatikan penataan yang maksimal, ditambah kurangnya fasilitas yang mendukung pengembangan berba-gai potensi yang dimiliki anak. Misalnya, arena bermain yang kurang, alat-alat permainan yang kurang. Dengan kata lain, lembaga istitusi PAUD harus menghidupi dirinya sendiri tanpa mendapat bantuan pemerintah yang memadai. Institusi PAUD berjalan dengan dana operasional yang sangat minim, gaji para guru PAUD dapatlah dikatakan kurang memadai, banyak institusi PAUD yang hanya mampu membayar gurunya antara 200.000 sampai dengan 300.000 bahkan masih ada yang di bawah angka tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kualitas layanan PAUD tidak begitu maksimal, terutama di wilayah pedesaaan. Pelayanan PAUD yang berkualitas pada umumnya hanya terdapat di kota kota besar, di mana orang tua sanggup membayar dengan harga tinggi. Sedangkan di pedesaan, terutama anak-anak yang berasal dari keluarga miskin belum memperoleh kesempatan PAUD secara proporsional. 

Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa terdapat kesenjangan akses pendidikan pada pendidikan anak usia dini. Akses anak usia dini terhadap  layanan pendidikan dan perawatan melalui PAUD masih terbatas dan tidak merata. Dari sekitar 28,2 juta anak usia 0-6 tahun yang memperoleh layanan PAUD baru sekitar 7,2 juta (25,3 %). Untuk anak usia 5-6 tahun yang jumlahnya sekitar 8,14 juta anak, baru sekitar 2,63 juta anak (32,36) yang memperoleh layanan pendidikan di TK atau RA (Ali, 2009:241).

Kelima, kuantitas PAUD yang dikelola oleh pemerintah yang kurang, antara lain disebabkan oleh adanya persepsi yang salah tentang PAUD, baik Taman Kanak-Kanak dan pendidikan anak usia dini lainnya. Persepsi bahwa pendidikan anak usia dini dan TK adalah pendidikan prasekolah yang tidak wajib bagi anak, maka pendidikan anak usia dini tidak wajib bagi anak, maka pendidikan anak usia dini tidak perlu dikembangkan sebaik pendidikan dasar dan menengah. Padahal sebaliknya, di negara maju seperti Amerika Serikat perhatian terhadap pendidikan anak usia dini sangatlah tinggi. Hal ini disebabkan mereka menyadari betul bahwa anak usia antara 0-8 tahun, bahkan 0-5 tahun adalah usia emas atau dikenal dengan istilah the golden age, di mana usia yang amat berharga untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki anak tersebut. Oleh karena itu, persepsi masyarakat, terutama pemerintah terhadap anak usia dini harus segera dibenahi kalau pemerintah menginginkan generasi bangsa yang unggul. Selain itu, lembaga penyelenggaraan PAUD terutama di pedesaan harus diperbanyak secara kuantitas.

Keenam, persyaratan minimal yang telah ditetapkan bahwa guru PAUD harus setara dengan program Diploma 2 atau dua tahun di perguruan tinggi. Kondisi di lapangan masih jauh dari harapan. Di lapangan belum tersedia secara memadai tenaga pendidik dan kependidikan yang memiliki kualifikasi akademik yang diperlukan. Guru TK yang sudah S1 PGTK/D II PGTK masih kurang dari 10%. (Suyanto, 2005: 243). Di lapangan, yang penulis amati banyak guru TK berasal dari SPG TK, SPG. Namun, guru TK dari SPG TK dan SPG menurut hemat penulis masih bisa berterima karena mereka memiliki bekal ilmu pendidikan semasa pendidikannya.

Parahnya, banyak guru TK dan pendidikan anak usia dini lainnya yang bukan berasal dari lulusan lembaga keguruan, banyak guru TK dan pendidikan usia dini lainnya lulusan SLTA (SMA, SMEA) bahkan tak jarang dari lulusan SLTP. Di sekitar tempat tinggal penulis, terdapat beberapa TK yang gurunya penulis kenal, ternyata di antara mereka bukan dari lulusan sekolah atau lembaga kependidikan, melainkan dari SMEA dan SMA. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya otonomi daerah, karena ternyata banyak daerah yang tidak mampu untuk mengangkat dan menggaji guru TK. Gaji guru TK kurang memadai, bahkan dapat dikatakan kurang manusiawi. Banyak guru TK yang digaji jauh di bawah kebutuhan hidup minimal, bahkan lebih rendah dari pembantu rumah tangga. Kondisi ini menyebabkan mutu guru TK rendah.

Terakhir, berkaitan dengan regulasi pemerintah dalam pengelolaan pendidikan, di lapangan seolah-olah masih terdapat dualisme pengelolaan. Meskipun sekarang ini TK sudah termasuk ke dalam Dirjen PAUD, yang sebelumnya termasuk ke dalam Dirjen TK/SD.Masyarakat sekarang ini mengenal istilah Taman Kanak-kanak dan PAUD, padahal TK merupakan bagian dari PAUD. Pengelolaan TK termasuk ke dalam pengelolaan formal sedangkan PAUD merupakan pengelolaan nonformal. Adanya anggapan dualisme pengelolaan PAUD yang berkembang di masyarakat harus segera diakhiri dengan mensosialisakan kebijakan pemerintah yang telah menyatukan pengelolaan TK dan PAUD lainnya dibwah naungan Dirjen PAUD.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad. (2009) Pendidikan untuk PembangunanNasional.Jakarta: Imtima.

Hartati, Sofia. (2005) Perkembangan Belajar Pada Anak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas.

Suyanto, Slamet (2005) Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas.

Sumantri, MS. (2005) Model Pengembangan Keterampilan Motorik Anak Usia Dini, Jakarta: Depdiknas.

Sujiono, Yuliani Nurani. (2009) Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks.

Tedjasaputra, Mayke S.(2007) Pendidikan yang Memperhatikan Kesejahteraan Anak. Makalah yang disampaikan pada Festival Seminar Pendidikan yang diselenggarakan Inti pesan di Hotel Kartika Chandra, 21 Juni 2007.

Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun