Di Washington sana, meja perundingan dagang ramai. Indonesia dan Amerika Serikat konon sepakat: tarif bea masuk barang Indonesia ke AS bakal diturunkan dari 32% ke 19%. Sebuah kabar gembira? Tentu. Tapi ada embel-embel kecil di baliknya. Bukan cuma soal barang fisik. Katanya, data pribadi ikut ditawarkan sebagai bagian dari paket dagang.
Sementara itu, di gang-gang sempit Tanah Air, fotokopi Kartu Keluarga masih berserakan di meja warung, siap jadi bungkus gorengan. Ingin tahu isi rumah Pak RT sampai nama mantan pacar dan daftar tanggungan?. Tinggal beli cireng dua ribu.
Jadi, ketika data pribadi kita dibahas di meja dagang internasional, kita justru sibuk menyobek foto copy KTP buat daftar undian, login WiFi gratis, atau sekadar pinjam galon isi ulang. Serius, kita ini siap bernegosiasi global atau baru sampai tahap "asal bisa fotokopi, beres"?
UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sebenarnya sudah disahkan sejak 2022. Namun seperti banyak UU lain, setelah diketok... ya sudah. Sampai hari ini, aturan pelaksananya belum lahir, dan lembaga otoritas pelindung data pun masih sebatas janji. Data kita seperti anak ayam kehilangan induk, dikerubungi elang iklan digital dan pinjol ilegal.
Ironisnya, negara adidaya seperti AS justru memasukkan klausul perlindungan data dalam diplomasi dagang. Kenapa? Karena mereka paham: data adalah minyak baru. Ia menggerakkan algoritma, iklan, kontrol pasar, bahkan konon hasil pemilu. Namun kita? Masih anggap data pribadi sebagai syarat administratif biasa. Butuh KTP? Kasih. Butuh KK? Kirim. Butuh akses mikrofon, kamera, lokasi GPS, dan seluruh kontak? Klik "Setuju".
Data Kementerian Kominfo (sekarang Komdigi) menyebut lebih dari 65% masyarakat Indonesia tidak tahu bedanya data pribadi biasa dan data pribadi sensitif. Itulah sebabnya saat data BPJS Kesehatan 279 juta penduduk bocor, sebagian besar hanya bilang, "Ya sudahlah, saya juga belum sempat klaim."
Lebih lucu lagi, ketika ada yang protes: "Data kita bisa dijual ke Amerika!". Padahal dari dulu kita yang justru jualan data secara sukarela. Gratis pula.
Jadi kalau Anda khawatir soal Amerika mengakses data warga Indonesia karena kerja sama dagang, ingatlah: sering kali bukan mereka yang ambil, tapi kita sendiri yang sodorkan. Lengkap dengan nama ibu kandung dan status vaksin booster.
Maka sebelum marah-marah soal kedaulatan digital di media sosial, coba tanya diri sendiri: kapan terakhir kali Anda memotret KTP untuk giveaway sepatu, atau setor selfie plus NPWP untuk dapat cashback Rp10.000?
Kalau jawabannya belum lama, ya... mungkin Amerika tidak perlu repot minta data kita dalam perjanjian dagang. Kita sendiri sudah pasrah dari awal. Asal bisa login, bisa diskon, dan bisa ikut undian umrah.
Di titik ini, mungkin kita semua perlu belajar kembali: bahwa yang tampak remeh, bisa saja bernilai sangat mahal, terutama jika sudah jatuh ke tangan yang salah.Kita bicara negara yang punya ratusan juta warga digital, dengan penetrasi internet mencapai 80%. Namun upaya literasi data pribadi? Masih kalah gaung dibanding kampanye minyak goreng murah. Tidak heran jika masyarakat belum sadar bahwa data adalah komoditas bernilai tinggi. Mengapa? karena belum pernah benar-benar diajari. Bahwa data pribadi bukan sekadar formalitas. Bahwa sekali bocor, ia bisa dipakai untuk pinjaman fiktif, pemalsuan identitas, bahkan manipulasi opini publik.