Mohon tunggu...
Ika Kartika
Ika Kartika Mohon Tunggu... Communicating Life

PNS yang percaya bahwa literasi bukan cuma soal bisa baca, tapi soal mau paham. Kadang menulis serius, kadang agak nyeleneh. Yang penting: ada insight, disampaikan dengan cara yang asik, dan selalu dari kacamata ilmu komunikasi—karena di situlah saya belajar dan bekerja. Seperti kata pepatah (yang mungkin baru saja ditemukan): kalau hidup sudah terlalu birokratis, tulisan harus tetap punya nyawa.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Sosialisasi Virtual: Efektif atau Sekedar Absen Online?

2 Mei 2025   11:18 Diperbarui: 2 Mei 2025   11:18 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Anda ikut rapat daring dan menyadari bahwa dari 100 peserta, hanya 10 yang benar-benar aktif, sisanya seperti zombie digital---kamera mati, mikrofon bisu, dan hanya Tuhan yang tahu apakah mereka masih di depan layar atau sudah menyapu halaman?. Nah, fenomena ini juga terjadi dalam dunia kehumasan pemerintah daerah, terutama saat sosialisasi peraturan dilakukan secara online.

Di era pemerintahan modern, komunikasi publik bukan lagi pelengkap, tapi sudah jadi salah satu penopang utama tata kelola pemerintahan yang baik. Pemerintah dituntut tidak hanya bisa bekerja, tapi juga mampu mengabarkan dengan baik apa yang dikerjakan. Di sinilah para petugas kehumasan di OPD (Organisasi Perangkat Daerah) memainkan peran penting. Mereka adalah ujung tombak komunikasi institusi---sayangnya, banyak yang memegang tombak tapi tak diberi pelatihan bertarung.

Sosialisasi Daring: Antara Harapan dan Kenyataan

Beberapa tahun terakhir, metode penyebaran regulasi dan pelatihan komunikasi publik banyak dilakukan melalui pertemuan online. Ini tentu masuk akal---praktis, hemat anggaran, dan bisa menjangkau peserta dari berbagai daerah. Tapi, apakah metode ini cukup efektif untuk membangun kapasitas? Atau jangan-jangan hanya efektif sebagai pelengkap laporan kegiatan?

Dalam beberapa evaluasi tidak formal, muncul pola-pola menarik namun menyedihkan:

  • Peserta hadir, tapi tidak hadir. Banyak yang join Zoom, tapi tak tahu apa yang sedang dibahas karena sambil mengecek WhatsApp grup RT atau malah rebahan.
  • Materi disampaikan satu arah, formal, dan terlalu normatif. Seringkali, isinya seperti bacaan lembar peraturan yang dibacakan ulang---tanpa konteks, tanpa contoh konkret, dan tentu tanpa gairah.
  • Tidak semua peserta punya latar belakang kehumasan. Banyak yang "ditunjuk" jadi humas karena bisa desain Canva, bukan karena menguasai komunikasi publik.
  • Dan, yang paling klasik: tidak ada tindak lanjut. Setelah Zoom ditutup, materi pun ikut menguap bersama notifikasi "Leave Meeting".

Efisiensi vs Efektivitas

Harus diakui, sosialisasi online punya keunggulan. Dalam satu klik, ratusan peserta bisa terhubung. Biaya perjalanan, penginapan, dan konsumsi pun hilang dari DPA. Tapi, apakah "murah dan cepat" cukup untuk sebuah proses pembelajaran substantif?

Sayangnya, tidak.

Membangun kapasitas itu butuh lebih dari sekadar hadir dan mendengarkan. Butuh interaksi, diskusi, simulasi, bahkan kesalahan yang dibahas bersama. Dalam hal ini, efektivitas sosialisasi daring sangat ditentukan oleh beberapa faktor penting:

  1. Kualitas Materi
    Materi regulasi seringkali berat dan kaku. Kalau disampaikan seperti baca SK, jangan harap peserta tertarik. Materi harus dikemas seperti cerita---dengan studi kasus, infografis, kuis, bahkan humor receh.
  2. Kemampuan Narasumber
    Narasumber jangan hanya pintar teori, tapi juga harus komunikatif dan aplikatif. Mereka perlu bisa menjawab pertanyaan khas lapangan seperti, "Bagaimana kalau akun medsos OPD dikelola oleh admin yang juga merangkap TU dan sopir kepala dinas?"
  3. Interaktivitas
    Tidak semua peserta berani bertanya, apalagi kalau suasananya kaku. Perlu ruang diskusi, polling, atau bahkan breakout room untuk mendorong keterlibatan. Jangan sampai Zoom jadi ruang kuliah satu arah yang membosankan.
  4. Tindak Lanjut
    Setelah sosialisasi, peserta butuh pegangan. Minimal ada cheat sheet, panduan implementasi, atau grup WA untuk tanya-jawab lanjutan. Jangan sampai semua selesai begitu tombol "End Meeting" ditekan.

Dari Zoom ke Ruang Belajar yang Sebenarnya

Jadi, bagaimana seharusnya sosialisasi regulasi dilakukan agar tidak hanya "terlaksana" tapi juga "bermakna"?

  1. Blended Learning
    Gabungkan pertemuan online dengan diskusi kelompok kecil secara berkala. Bisa via Zoom, bisa juga via grup chat---yang penting intensif dan dua arah.
  2. Modul Pelatihan Tematik
    Jangan hanya bahas regulasi secara umum. Buat pelatihan bertema, seperti "Komunikasi Risiko Bencana", "Manajemen Krisis di Media Sosial", atau "Etika Menjawab Pertanyaan Wartawan". Biar humas tidak hanya pintar ngomong, tapi juga cakap bertindak.
  3. Pre-Read dan Post-Learning Kit
    Kirim bahan bacaan ringan sebelum pelatihan, lalu berikan toolkit setelahnya. Boleh berupa infografik, video tutorial, atau bahkan meme yang relevan---yang penting mudah dicerna dan aplikatif.
  4. Komunitas Praktisi
    Bangun komunitas daring antar petugas humas OPD. Di sana mereka bisa saling curhat, bertanya, berbagi praktik baik, hingga bahas konten kreatif bareng. Karena belajar terbaik sering terjadi di luar kelas.
  5. Libatkan Pimpinan
    Kepala OPD jangan hanya titip nama untuk daftar hadir. Mereka harus mendorong penerapan hasil sosialisasi di unit kerja. Karena sebesar apapun pelatihan, kalau hasilnya tidak didukung atasan, ya hanya jadi folder di laptop.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun