Pernahkah Anda ikut rapat daring dan menyadari bahwa dari 100 peserta, hanya 10 yang benar-benar aktif, sisanya seperti zombie digital---kamera mati, mikrofon bisu, dan hanya Tuhan yang tahu apakah mereka masih di depan layar atau sudah menyapu halaman?. Nah, fenomena ini juga terjadi dalam dunia kehumasan pemerintah daerah, terutama saat sosialisasi peraturan dilakukan secara online.
Di era pemerintahan modern, komunikasi publik bukan lagi pelengkap, tapi sudah jadi salah satu penopang utama tata kelola pemerintahan yang baik. Pemerintah dituntut tidak hanya bisa bekerja, tapi juga mampu mengabarkan dengan baik apa yang dikerjakan. Di sinilah para petugas kehumasan di OPD (Organisasi Perangkat Daerah) memainkan peran penting. Mereka adalah ujung tombak komunikasi institusi---sayangnya, banyak yang memegang tombak tapi tak diberi pelatihan bertarung.
Sosialisasi Daring: Antara Harapan dan Kenyataan
Beberapa tahun terakhir, metode penyebaran regulasi dan pelatihan komunikasi publik banyak dilakukan melalui pertemuan online. Ini tentu masuk akal---praktis, hemat anggaran, dan bisa menjangkau peserta dari berbagai daerah. Tapi, apakah metode ini cukup efektif untuk membangun kapasitas? Atau jangan-jangan hanya efektif sebagai pelengkap laporan kegiatan?
Dalam beberapa evaluasi tidak formal, muncul pola-pola menarik namun menyedihkan:
- Peserta hadir, tapi tidak hadir. Banyak yang join Zoom, tapi tak tahu apa yang sedang dibahas karena sambil mengecek WhatsApp grup RT atau malah rebahan.
- Materi disampaikan satu arah, formal, dan terlalu normatif. Seringkali, isinya seperti bacaan lembar peraturan yang dibacakan ulang---tanpa konteks, tanpa contoh konkret, dan tentu tanpa gairah.
- Tidak semua peserta punya latar belakang kehumasan. Banyak yang "ditunjuk" jadi humas karena bisa desain Canva, bukan karena menguasai komunikasi publik.
- Dan, yang paling klasik: tidak ada tindak lanjut. Setelah Zoom ditutup, materi pun ikut menguap bersama notifikasi "Leave Meeting".
Efisiensi vs Efektivitas
Harus diakui, sosialisasi online punya keunggulan. Dalam satu klik, ratusan peserta bisa terhubung. Biaya perjalanan, penginapan, dan konsumsi pun hilang dari DPA. Tapi, apakah "murah dan cepat" cukup untuk sebuah proses pembelajaran substantif?
Sayangnya, tidak.
Membangun kapasitas itu butuh lebih dari sekadar hadir dan mendengarkan. Butuh interaksi, diskusi, simulasi, bahkan kesalahan yang dibahas bersama. Dalam hal ini, efektivitas sosialisasi daring sangat ditentukan oleh beberapa faktor penting:
- Kualitas Materi
Materi regulasi seringkali berat dan kaku. Kalau disampaikan seperti baca SK, jangan harap peserta tertarik. Materi harus dikemas seperti cerita---dengan studi kasus, infografis, kuis, bahkan humor receh. - Kemampuan Narasumber
Narasumber jangan hanya pintar teori, tapi juga harus komunikatif dan aplikatif. Mereka perlu bisa menjawab pertanyaan khas lapangan seperti, "Bagaimana kalau akun medsos OPD dikelola oleh admin yang juga merangkap TU dan sopir kepala dinas?" - Interaktivitas
Tidak semua peserta berani bertanya, apalagi kalau suasananya kaku. Perlu ruang diskusi, polling, atau bahkan breakout room untuk mendorong keterlibatan. Jangan sampai Zoom jadi ruang kuliah satu arah yang membosankan. - Tindak Lanjut
Setelah sosialisasi, peserta butuh pegangan. Minimal ada cheat sheet, panduan implementasi, atau grup WA untuk tanya-jawab lanjutan. Jangan sampai semua selesai begitu tombol "End Meeting" ditekan.
Dari Zoom ke Ruang Belajar yang Sebenarnya
Jadi, bagaimana seharusnya sosialisasi regulasi dilakukan agar tidak hanya "terlaksana" tapi juga "bermakna"?
- Blended Learning
Gabungkan pertemuan online dengan diskusi kelompok kecil secara berkala. Bisa via Zoom, bisa juga via grup chat---yang penting intensif dan dua arah. - Modul Pelatihan Tematik
Jangan hanya bahas regulasi secara umum. Buat pelatihan bertema, seperti "Komunikasi Risiko Bencana", "Manajemen Krisis di Media Sosial", atau "Etika Menjawab Pertanyaan Wartawan". Biar humas tidak hanya pintar ngomong, tapi juga cakap bertindak. - Pre-Read dan Post-Learning Kit
Kirim bahan bacaan ringan sebelum pelatihan, lalu berikan toolkit setelahnya. Boleh berupa infografik, video tutorial, atau bahkan meme yang relevan---yang penting mudah dicerna dan aplikatif. - Komunitas Praktisi
Bangun komunitas daring antar petugas humas OPD. Di sana mereka bisa saling curhat, bertanya, berbagi praktik baik, hingga bahas konten kreatif bareng. Karena belajar terbaik sering terjadi di luar kelas. - Libatkan Pimpinan
Kepala OPD jangan hanya titip nama untuk daftar hadir. Mereka harus mendorong penerapan hasil sosialisasi di unit kerja. Karena sebesar apapun pelatihan, kalau hasilnya tidak didukung atasan, ya hanya jadi folder di laptop.
Bukan Sekadar Sosialisasi, tapi Transformasi
Sosialisasi peraturan komunikasi publik secara daring bukan ide buruk. Bahkan, di zaman serba digital, metode ini bisa jadi tulang punggung pelatihan ASN. Tapi, seperti kata pepatah: "Teknologi hanyalah alat---yang menentukan hasilnya tetap manusianya."
Kalau metode daring hanya dimaknai sebagai cara menyampaikan informasi, maka ia hanya akan menghasilkan kehadiran tanpa keterlibatan. Tapi jika diperlakukan sebagai ruang belajar bersama, ia bisa menjadi ladang tumbuhnya kapasitas, kolaborasi, dan inovasi.
Petugas humas tidak hanya butuh tahu aturan, mereka perlu bisa menerjemahkannya dalam kerja nyata---dari bagaimana membuat siaran pers yang menggugah, menyusun narasi kebijakan yang menarik, hingga menghadapi krisis di media sosial dengan kepala dingin.
Dan semua itu, tentu tak cukup disampaikan dalam 1 jam Zoom yang penuh distraksi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI